I have but two arms, sans tentacles. My wife? Well, that's another story... Image: PD |
Saya
tidak bisa melakukan banyak pekerjaan sekaligus. Atau, saya bisa melakukannya
tetapi semuanya akan berakhir berantakan dan saya terbengong-bengong di
tengah-tengahnya. Hal ini membuat istri saya frustrasi tiada akhir. Istri saya
bisa memainkan bola pantai sambil sebelah tangannya menulis sesuatu di
kalender, mendengarkan Radio Lab,
menulis SMS, dan men-juggle (lempar sambut) gergaji mesin (permainan yang
memerlukan trik yang rapi—dan juga mengasyikkan). Saya percaya bahwa monotasking (hanya melakukan satu
pekerjaan sekali waktu) memungkinkan saya menyelesaikan beberapa pekerjaan,
satu demi satu. Kristi berpikir bahwa multitasking
merupakan prasyarat agar Anda bisa digolongkan sebagai manusia pasca-Jaman Es
dan para monotaksers (mereka yang hanya bisa melakukan satu pekerjaan sekali waktu) harus dikumpulkan di suatu
tempat dan diprogram ulang.
Pertanyaannya adalah, adakah harapan bagi kita
para monotaskers? Apakah seorang monotasker seperti saya harus mencoba melakukan
beberapa pekerjaan yang mudah-mudah saja sekaligus untuk mencoba menjadi monotaskers, atau karuskah kami menyerah
sama sekali?
Untuk
buku saya, Brain Trust, saya mengajukan
pertanyaan pada David Strayer, direktur laboratorium ilmu terapan di
Universitas Utah ,
yang mempelajari multitasking dalam realm yang subur yaitu melakukan
sesuatu sambil mengemudi (distracted
driving). Penelitiannya menemukan bahwa “sembilan puluh delapan persen
orang tidak bisa melakukan multitask (banyak
pekerjaan sekaligus)—mereka tidak bisa melakukan dua pekerjaan sekaligus dengan hasil yang sama baiknya.” Hal ini tentu saja tidak mengejutkan bagi saya, berada dalam
golongan 98 persen.
Tapi
inilah bagian menariknya: 2 persen orang bisa melakukan juggling (lempar sambut) tanpa menjatuhkan bola sama sekali,
dan pula, tidak ada satu bola pun yang dilempar tidak sama tinggi—mereka tidak
menunjukkan kekurangan dari melakukan multitasking
sama sekali. Strayer menyebut orang-orang seperti ini supertaskers. “Pertanyaan kita,” kata Strayer, “adalah, siapakah
orang-orang ini?”
Untuk
menemukannya, dia melakukan battery test
pada orang-orang yang tergolong supertaskers,
termasuk neuroimaging dan evaluasi
genetik. Dan dia menemukan bahwa, cukup meyakinkan, struktur otak orang yang supertaskers tampak berbeda dengan 98
persen dari kita. “Wilayah otak yang membedakan supertaskers dengan sebagian besar orang adalah wilayah yang sama
yang paling berbeda antara otak manusia dengan otak primata non-manusia,” kata
Strayer. Dengan kata lain, otak dari para supertaskers
tersebut adalah bentuk otak yang jauh berbeda dari otak primata non-manusia (apes), “ini adalah bentuk evolusi yang
paling mutakhir,” kata Strayer. Secara spesifik: “bagian-bagian tertentu dari
korteks depan (frontal cortex) dalam
otak mereka dikerahkan dengan cara yang menarik,” kata Strayer. Faktanya,
area-area ini menunjukkan keadaan kurang aktif ketika mereka melakukan multitasking dibandingkan dengan area
yang sama pada manusia normal, hewan mamalia, dan manusia non-alien seperti
saya ketika melakukan multitasking.
Dan kiranya jelas—masalahnya Anda bisa
mengerahkan wilayah ini atau tidak. Apakah Anda seorang supertasker atau bukan. Apakah Anda seorang manusia seperti saya,
ataukah seorang hewan reptil dari luar angkasa yang supertasking, suka meminum darah, dan berubah-ubah bentuk seperti
istri saya.
Jika Anda adalah seorang supertasker, Anda tentu mengetahuinya. Silakan lanjutkan membaca artikel
ini di HP Anda atau di komputer tablet sambil sebelah tangan Anda menyetir dan
sebelah mata Anda mengawasi jalan raya. Tapi jika Anda bukanlah seorang supertasker, maka pesan penting dari
ilmu sains ini adalah: lupakanlah itu! dengan multitasking berarti Anda melakukan pekerjaan Anda secara kurang
sempurna. Sebaliknya, jika Anda sangat menginginkan pekerjaan Anda sempurna,
lakukan pekerjaan-pekerjaan Anda secara monotasking.
Otak Anda akan berterima kasih atas semua itu.
“Para penulis
dari Muir to Abbey telah berbicara
tentang manfaat dari kembali ke alam (getting
into nature).” Kata Strayer, “tetapi hingga saat ini kami belum mengkaji
hal itu hingga ke level neurosains.”
Teori restorasi atensi ini, sebagian
berdasarkan ide bahwa menahan dari melakukan multitasking dalam sebuah lingkungan yang kaya teks (text-rich environment) bisa men-detoksifikasi,
mengistirahatkan, dan mengembalikan neuron-neuron yang panas (fried) di wilayah cuping (lobe) depan otak.
Meski Strayer tegas mengatakan bahwa diperlukan
lebih banyak penelitian lagi, namun dia menunjukkan ada bukti-bukti anekdotal
yang bejibun jumlahnya, “Setelah tiga hari, Anda mulai mengalami
pikiran-pikiran yang berbeda secara radikal.” ((Sebagai contoh, video search
“double rainbow.”)
Mungkin masih ada harapan bagi saya, dan bagi
semua manusia. Jika Anda menemukan lobe
depan (frontal lobe) pada otak Anda
mengalami panik, larilah ke gunung secepat mungkin. Di sana Anda akan bertemu saya. Dan jika Anda
bertemu saya, berhati-hatilah karena mungkin saya sedang menulis SMS sambil
memainkan jurus yang berbahaya.
· By Garth Sundem
· February
24, 2012 |
· 6:30
am |
· Categories: Science and Education
0 comments:
Post a Comment