Heboh tentang adanya reaksi penolakan masyarakat Indonesia tentang keiikutsertaan tim sepakbola Israel dalam perhelatan Piala Dunia U-20, yang menurut rencana akan diselenggarakan di Indonesia, akhir Mei mendatang, telah menyebabkan FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah kejuaraan tersebut, dan menggantikannya dengan negara lain. Tak kurang dari Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Gandjar Pranowo—dua tokoh yang dianggap paling santer mendukung penolakan itu—telah mengeluarkan suara tegas menolak kehadiran Tim Israel.
Suara tegas Koster tersebut disampaikannya beberapa hari sebelum dilakukan drawing, atau pengundian peserta, yang menurut rencana akan diselenggarakan di Bali, akhir Maret 2023.
Mungkin Sebagian orang beranggapan bahwa penolakan tim sepakbola Israel semata didasarkan pada sentimen politik dan keagamaan, di mana Israel, yang notabene adalah negara Yahudi, secara de-facto menjajah dan bertindak represif terhadap Palestina, yang merupakan negara Islam, dan suara-suara penolakan yang sejauh ini kita dengar adalah berasal dari mereka yang membenci Israel, dan mendukung Palestina.
Namun jika kita berpikir cermat, latar belakang penolakan ini bersifat ambigu, dan seperti dua sisi mata uang yang berlawanan, dan seperti ular berkepala dua, yang bisa digunakan untuk menggambarkan dua sisi sikap yang berlawanan dari orang yang bersangkutan.
Sekilas I Wayan Koster seperti anti Israel, atau membenci Israel. Namun alasan yang dia berikan atas penolakannya sama sekali tidak menunjukkan sikapnya sebagai pembenci Israel atau anti israel, meski, tentu saja, tidak bisa pula disebut sebagai pendukung Israel.
Dalam hal ini, I Wayan Koster mengaku telah mencermati secara seksama, bahwa kehadiran Timnas Israel pada Piala Dunia U-20 telah menimbulkan pro dan kontra di Indonesia. Hal itu terkait dengan konflik Israel – Palestina, terutama setelah perubahan pemerintahan di Israel oleh sayap kanan yang begitu keras terhadap Palestina. Menurut dia, seperti yang dikutip oleh sebuah media, hal ini sangat berpotensi menjadi ancaman dan gangguan keamanan di Bali, baik ancaman bersifat terbuka, maupun tertutup.
Sikap Wayan Koster ini didukung sepenuhnya oleh masyarakat Bali. "Saya mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Bali yang telah memahami dan mendukung sikap Saya sebagai Gubernur Bali yang menolak kehadiran Tim Israel dalam Kejuaraan Dunia FIFA U-20, serta mengapresiasi para pihak yang tidak sependapat atas sikap Saya," ujar Koster, seperti yang tertulis dalam liputan6.com.
Di sini jelas, penolakan I Wayan Koster, dan masyarakat Bali pada umumnya, bukanlah didasarkaan pada sentimen anti Israel, atau kebencian terhadap Israel, tetapi berdasarkan alasan logis semata.
Ramainya penolakan tim sepakbola Israel masuk ke Indonesia sebagai peserta Kejuaran Sepakbola Dunia U-20 di berbagai media sosial tentu telah menimbulkan kekhawatiran mendalam pada Koster, dan pada kita umumnya, bahwa akan terjadi kerusuhan besar-besaran di mana-mana, bukan hanya di Bali, tempat pengundian peserta dan pertandingan nanti di lakukan, tetapi juga di seluruh wilayah Indonesia.
Dan jika itu terjadi, maka akan timbul kehancuran, baik dalam bidang politik maupun ekonomi, pada Indonesia, khususnya Bali, yang sedang galak-galaknya menjalankan program pemulihan wisata.
Di lain pihak, tentu saja ada yang menolak kedatangan tim Israel ini berdasarkan kebencian pada negara tersebut semata. Mereka boleh jadi adalah orang ambigu, yang di satu sisi mencintai sepakbola, dan bercita-cita meningkatkan mutu persepakbolaan di Indonesia, namun di sisi lain mencampuradukkan politik dengan sepakbola.
Pecinta sepakbola, khususnya yang ingin melihat persepakbolaan Indonesia berkembang, tentu paham bahwa tim sepakbola Indonesia harus banyak-banyak mengikuti berbagai turnamen yang bersifat internasional, dan kesempatan tim sepakbola kita untuk ikut dalam pertandingan internasional sekelas piala dunia tentu sangat terbatas. Sejarah mencatat, Indonesia tidak pernah ambil bagian dalam putaran piala dunia, kecuali pada zaman Belanda, yang notabene bukan atas nama negara Indonesia, melainkan Hindia Belanda, dan itupun pemainnya sebagian besar orang Belanda.
Dan ketika kesempatan itu datang, diberikan oleh FIFA secara gratis—tanpa ikut seleksi—karena kita bertindak sebagai tuan rumah, mestinya jangan disia-siakan, dan dijaga secara ketat.
Kewenangan menentukan jadwal dan peserta pertandingan tentu sepenuhnya di tangan FIFA. Kita dalam hal ini hanya bertindak sebagai tuan rumah. Kita tidak bisa ikut campur dalam menentukan peserta pertandingan. Dan jika kita menolak salah satu peserta karena alasan politik, atau apapun, tentu FIFA berhak mencabut kembali status kita sebagai tuan rumah, dan memindahkannya ke negara lain.
Kita tak usah meniru negara-negara Eropa, yang kompak menolak keikutsertaan Rusia dalam Piala Dunia 2022 kemarin, karena posisi tawar kita tak setinggi negara-negara Eropa. Kita ini negara yang tak diperhitungkan dalam khazanah kejuaraan dunia sepakbola.
0 comments:
Post a Comment