"mati", "meninggal dunia", dan "tewas"

“Mati”, “meninggal dunia”, dan “tewas” bermakna kurang lebih sama yaitu “keadaan tidak hidup” atau “berhenti hidup”. Namun, pemakaiannya sehari-hari, baik oleh masyarakat maupun media massa, seringkali mengalami distorsi. Pemakaian ketiga istilah ini ternyata mengandung beban psikologis yang tidak ringan bagi pemakainya. Pada umumnya orang enggan menggunakan istilah “mati” untuk manusia, terlebih-lebih, manusia itu adalah orang yang dihormati.

Istilah “mati” secara konvensional mendegradasi derajat manusia karena istilah ini dipandang hanya pantas untuk binatang. Jarang sekali kita mendengar seseorang berkata, “Mertua saya mati dua minggu yang lalu.”

Penggunaan kata “mati” untuk manusia hanya ada dalam istilah-istilah dan slogan-slogan tertentu seperti “hukuman mati”, “tembak mati”, “hidup nekat mati muda”, “sekali berarti sesudah itu mati” dll. Apakah dalam hal ini istilah “mati” mendegradasi derajat manusia? Ternyata tidak. “Mati” dalam istilah dan slogan seperti di atas ternyata bermakna netral; semata hanya sebagai lawan kata “hidup”. Jadi, tidak benar istilah “mati” mendegradasi derajat manusia.

Contoh lain adalah penggunaan istilah “mati suri”, dalam hal ini, kata “mati” benar-benar netral; siapapun orangnya, seberapa tinggipun kedudukannya, apapun hubungan kekerabatannya dengan dengan kita, kita tidak sungkan-sungkan menyebutnya “mati suri”; tidak perlu kita menyebutnya “meninggal dunia suri”. Begitu juga istilah “mati kelaparan”, “mati kedinginan”, “mati mendadak” dll tidak perlu kita ganti dengan “meninggal dunia kelaparan”, “meninggal dunia kedinginan”, atau “meninggal dunia mendadak”. Dan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi adalah istilah “sehidup semati”; tidak mungkin istilah ini diubah menjadi “sehidup semeninggal dunia”. Dari contoh-contoh di atas, jelas bahwa “mati” adalah sebuah istilah yang netral. Jadi, mengapa sungkan menggunakan kata mati?

Istilah “tewas” juga maknanya diselewengkan. Kata yang seharusnya berarti “mati sebagai korban setelah sebelumnya mengalami deraan secara fisik” ini seringkali dihindari penggunaannya oleh media cetak dan audio visual karena dianggap tidak memiliki bobot “penghormatan” yang memadai. Dalam berita-berita televisi kita sering mendengar kalimat seperti “Banjir itu menyebabkan empat orang meninggal dunia”. Penggunaan istilah “meninggal dunia” dalam hal ini tidaklah tepat karena istilah ini tidak memiliki kekuatan makna informatif. Penggunaan istilah ini masih menyisakan tanya; apakah keempat orang itu mati (maaf, saya tidak bisa menghindari kata “mati” dalam hal ini) oleh banjir (terseret arus atau tenggelam, misalnya) ataukah mati karena mendengar berita adanya banjir. Jika keempat orang itu mati oleh banjir (ada deraan fisik), maka kata “tewas” adalah istilah yang paling tepat dan paling informatif; penggunaan kata “tewas” memberi informasi bahwa ada korban mati dalam peristiwa banjir itu. Jadi, kata “tewas” adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan sebuah kematian sebagai korban.

Dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya “mati”, kata “tewas” juga sering dihindari. Banyak orang enggan menggunakan kata ini karena akan dinilai “kasar” oleh orang yang mendengarnya. Sehubungan dengan peristiwa kerusuhan sepakbola bulan lalu seorang pejabat Polri berkata dalam sebuah wawancara, “Kemarin ada kerusuhan dan ada yang meninggal sehingga kami tidak memperkenankan digelar di Jakarta.” (Lampung Post, 9 Februari, hal 1). Perkataan seorang pejabat Polri ini merujuk pada sebuah peristiwa kerusuhan antarsuporter yang menewaskan seorang suporter sebuah kesebelasan beberapa hari sebelumnya. Peristiwa tawuran antarsuporter sepakbola ini menyebabkan beberapa orang luka terkena lemparan batu dan pukulan baik bersenjata maupun tidak bersenjata. Akibat hebatnya deraan fisik yang dideritanya akibat lemparan dan pukulan itu, seseorang mati. Jadi, dalam hal ini, jelas, orang tersebut mati sebagai korban setelah sebelumnya mengalami deraan fisik. Oleh karena itu, kata “tewas” adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan orang itu menggantikan kata “meninggal” seperti yang dikatakan oleh pejabat Polri di atas.

Penggunaan kata “meninggal” dalam kutipan di atas juga tidak informatif; kata ini menyiratkan seolah-olah ada dua kejadian yang terpisah (kerusuhan dan seseorang meninggal dunia) yang tidak berhubungan sebab-akibat. Kata “meninggal” dalam hal ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa orang itu mati sebagai korban kerusuhan. Kata “meninggal” dalam konteks ini semata menyiratkan bahwa dengan adanya peristiwa kerusuhan dan peristiwa kematian seseorang (mungkin orang itu sangat berpengaruh, atau mungkin kerabat ketua panitia, atau mungkin juga rumahnya di dekat stadion) menyebabkan mereka tidak memperkenankan pertandingan digelar di Jakarta.***

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger