Bolehkah Cerpen Tidak 'Bercerita?"

Menurut Ann Charters dan Samuel Charters dalam bukunya Literature and Its Writers, cerita pendek (cerpen) adalah, sebuah prosa naratif yang biasanya melibatkan sebuah episode yang terpadu atau sederet peristiwa yang berhubungan (plot), plot adalah basis dari cerita pendek. Plot adalah sederet peristiwa dalam sebuah cerita dan hubungan peristiwa-peristiwa itu satu sama lain. Penulis cerpen biasanya menghadirkan peristiwa-peristiwa dalam plot tersebut dalam sebuah kerangka waktu yang koheren, sehingga, pembaca bisa mengikutinya dengan mudah. Ketika kita membaca sebuah cerita, kita merasakan bahwa peristiwa-peristiwa itu dihubungkan oleh sebuah kausalitas, dan maknanya terletak dalam hubungan tersebut.

Menurut Sunaryono Basuki Koesnosoebroto (1988) cerita pendek adalah sebuah cerita yang mempunyai esensi ekonomi (untuk kepentingan ekonomis), terdiri dari hampir 2000 kata. Secara struktural, sebuah cerita pendek harus terdiri dari beberapa karakter, beberapa insiden, beberapa setting, beberapa adegan atau episode. Cerita pendek terjadi dalam sebuah jangka waktu yang singkat, dan bisa hanya terdiri dari satu atau dua karakter yang dikembangkan.

Dari uraian di atas, jelas, bahwa cerpen adalah sebuah “cerita”. Seorang pembaca cerpen, ketika dia mulai membaca kata pertama, pastilah mengekspektasi sebuah “cerita” (plot). Artinya, seorang pembaca mencoba menangkap bagaimana sebuah hubungan kausalitas dari sebuah rangkaian peristiwa diorganisasikan oleh seorang penulis, baik secara literal maupun figuratif. Makin baik penulis mengorganisasikan hubungan-hubungan itu, makin baiklah sebuah cerpen, dan makin menarik untuk dibaca. Seorang penulis cerpen yang “matang” mengungkapkan hubungan kausalitas dalam sebuah plot dengan kemahirannya menggunakan elemen-elemen sebuah fiksi, misalnya dalam hal pengkarakteran (karakterisasi). Inilah yang dicari oleh pembaca cerpen; kemahiran penulis mengorganisasikan hubungan kausalitas dari peristiwa-peristiwa yang dia tulis dengan menggunakan elemen-elemen sebuah fiksi.

Selain itu, tujuan seseorang membaca cerpen, adalah untuk mendapatkan pandangan pribadi penulis terhadap sebuah peristiwa yang terdapat dalam bentuk dan isi cerita yang dia tulis, untuk dibandingkan dengan pandangan pribadi si pembaca menurut pengalaman hidupnya, dengan demikian, akan memperkaya pengalaman bathin si pembaca dan memperluas wawasannya mengenai pandangan hidup. Dengan demikian pula, si pembaca mendapatkan manfaat dari membaca, selain mendapatkan kesenangan. Hal ini tidak mungkin didapat dari cerpen yang tidak ada plot. Itulah pentingnya sebuah plot dalam cerpen.

Cerpen, pada hakikatnya, adalah sebuah “cerita”. Cerpen mempunyai elemen-elemen yang sama dengan cerita panjang (novel); plot, karakter, seting, sudut pandang, gaya bahasa, dan tema, cuma, bedanya, cerpen dibatasi hanya sekitar 2000 kata. Dengan hanya sekitar 2000 kata, sebuah cerpen tidak perlu memuat rangkaian peristiwa terlalu banyak.Yang terpenting adalah, pengembangan peristiwa-peristiwa itu dengan bahasa yang modern kontemporer. Rangkaian peristiwa yang banyak dengan hanya sedikit pengembangan, dengan bahasa yang “kuno”, lebih pantas disebut “hikayat”.

Mengapa cerita itu “pendek”, menurut kritikus Norman Friedman, bukan karena aksinya sedikit, tetapi karena penulisnya memilih—dalam mengerjakan sebuah episode atau plot—membuang bagian-bagian tertentu. Dengan kata lain, aksinya mungkin saja luas menurut ukuran, tetapi pendek dalam penceritaan, karena tidak semuanya ditulis. Sebuah cerpen bisa menggambarkan sebuah peristiwa yang terjadi dalam beberapa menit atau beberapa tahun. Kalau peristiwa itu ditulis semua, maka cerita itu tak akan berujung; untuk itu, seorang penulis mungkin saja menghilangkan atau memadatkan beberapa episode yang kompleks untuk mendapatkan efek yang lebih dramatis, atau mengembangkan sebuah insiden tunggal untuk membuat sebuah cerita yang relatif panjang.

Dengan adanya plot, sebuah cerpen mampu mengakomodasi semua lapisan pembaca. Pembaca yang “dangkal’ menikmati cerpen dari aksi-aksi dramatis yang ada dalam plot (hanya menikmati plot). Sedangkan pembaca yang “dalam”, selain menikmati aksi-aksi dramatis tersebut, juga menangkap adanya hakekat kemanusiaan yang tergambar dari plot, dan elemen-elemen cerita lainnya.

Sebuah plot yang baik, menggugah rasa ingin tahu pembaca, memberikan surprise kepada pembaca, dan menjebak pembaca ke dalam sebuah suspense. Sebagaimana diungkapkan oleh Eudora Welty seorang penulis kontemporer Amerika, “Sebuah cerita dalam pengertian yang lebih dalam adalah, tentu saja, merupakan sebuah penelusuran makna, dan kontinuitas nyata dari sebuah cerita terletak pada bagaimana penelusuran itu dilakukan oleh penulis cerita itu. Seorang penulis cerita (storyteller) harus mempertahankan ilusi dari sebuah realitas sampai di akhir cerita, sembari memaparkan peristiwa-peristiwa secara kontinu, sebagaimana seorang pesulap menarik sepucuk sapu tangan sutera yang tak berujung dari lengan mantelnya.

Seorang pembaca cerpen berhak menuntut adanya plot dalam setiap cerita yang dia baca. Sebuah cerita tanpa plot hanyalah sebuah jebakan ke dalam permainan kata-kata bergaya figuratif. Permainan kata-kata bergaya figuratif bisa saja memberikan kenikmatan tersendiri bagi pembacanya. Tapi, ini bukan hakekat sebuah cerpen. Dan tidak semua pembaca mampu menikmati teks sepanjang 2000 kata yang hanya berisi permainan kata-kata figuratif. Lain halnya dengan plot, pembaca, dari kalangan mana pun, mampu menikmati, walaupun hanya plot semata.

Di Lampung Post, banyak ditemui cerpen yang tidak mempunyai plot. Isinya adalah sebuah renungan si penulis, atau analisisnya mengenai sebuah peristiwa, atau pandangan penulis mengenai kehidupan sosial masyarakat dewasa ini, sehingga lebih pantas disebut “esai”. Ada juga cerpen yang isinya tidak lebih dari sebuah eksplorasi bahasa bergaya figuratif; penuh ironi dan perumpamaan, sehingga lebih pantas disebut “puisi”.

Cerpen seperti ini seolah-olah hanya menawarkan bahan renungan untuk pembaca, tanpa ada unsur hiburan. Membaca cerpen seperti ini hanya menambah beban pikiran bagi yang tidak menyukai permainan bahasa. Orang yang menyukai cerpen seperti ini, hanya mereka yang tertarik dan mengerti sastra; mereka terhibur dengan permainan kata-kata. Sedangkan, kita tidak bisa mengekspektasi semua orang untuk tertarik dan mengerti sastra. Banyak orang yang membaca cerpen hanya untuk mencari hiburan semata. Cerpen, seyogyanya, bukan hanya permainan kata-kata, tetapi juga hiburan. Cerpen, seyogyanya, tidak segmented—untuk kalangan tertentu—tapi untuk semua orang yang membacanya.***

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger