Lalu, hasil belajar di sekolah selama 12 tahun hanyalah bisa membaca dan menulis. Perbedaan anak-anak yang sekolah dan yang tidak sekolah hanyalah pada membaca dan menulis. Sedangkan kedudukan dan martabat mereka di masyarakat sama saja. Lulusan SLTA banyak yang menjadi pelaku kriminal. Sedangkan anak yang tidak makan sekolahan, menjadi guru mengaji, misalnya. Atau anak yang tidak sekolah bisa mendapat kedudukan yang lebih tinggi dengan menjadi anggota DPRD dengan menggunakan ijazah palsu, sedangkan anak lulusan SLTA hanya menjadi warganegara biasa dengan perekomian berada di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, stigmatisasi bahwa pendidikan hanya buang-buang uang dan waktu dan tidak memberi martabat yang lebih tinggi pada pesertanya, mendapatkan pembenarannya.
***
Angka ketidakpercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan membengkak. Di mana-mana; di wilayah yang di mana akses menuju pendidikan minim, banyak sekali siswa putus sekolah. Menghadapi masalah serupa ini, pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa; pemerintah tidak bisa membujuk siswa kembali ke bangku sekolah karena memang tidak ada alasan yang bisa meyakinkan masyarakat bahwa pendidikan itu penting.
Tindakan pragmatis masyarakat yang menganggap sekolah hanya buang-buang waktu tidaklah salah sepenuhnya; daripada berlama-lama di sekolah hanya menghabiskan waktu dan biaya, lebih baik bekerja yang bisa menghasilkan uang; karena, toh, sekolah atau tidak sekolah, pada akhirnya akan mendapatkan pekerjaan yang sama, atau lebih buruk dari itu, setelah lulus sekolah justru akan menganggur.
Keadaan yang terus menerus seperti ini pada akhirnya akan menggeser pandangan masyarakat bahwa pendidikan adalah sesuatu yang sia-sia. Tidak mustahil, di masa yang akan datang, akan semakin sedikit orang yang bersekolah; gedung-gedung sekolah akan banyak yang tutup, guru-guru dan dosen akan kehilangan pekerjaan, dinas pendidikan akan dilikuidasi, dan anggaran pendidikan akan dialihkan untuk menggaji para anggota DPR dan DPRD.
***
Mengapa pendidikan kita terpuruk dan mengapa lulusan sekolah tidak berharga, karena pendidikan kita tidak aktual dan tidak mampu menjawab tantangan jaman yang semakin berkembang. Pendidikan kita tidak mampu mengimbangi perkembangan jaman. Pendidikan kita stagnan. Pendidikan kita tidak bersinergi dengan lapangan kerja. Hal ini terbukti dengan tingginya angka lulusan sekolah yang menganggur; tidak mendapatkan pekerjaan yang memerlukan kualifikasi, dan juga tidak mampu menciptakan lapangan kerja.
Kenyataan ini kemudian berimbas pada rendahnya motivasi belajar siswa sekolah menengah. Hal ini bisa dimengerti; untuk apa belajar serius di sekolah karena, toh, akhirnya setelah lulus, akan menganggur juga. Maka, di setiap sekolah dibentuklah tim sukses untuk menghadapi Ujian Nasional (UN). Setiap UN datang, siswa tenang-tenang saja. Malah, kepala sekolah dan guru-gurulah yang sibuk kasak-kusuk mematangkan trik untuk membantu siswa. Maka tak heran jika kemudian bermunculan berita dalam surat khabar nasional maupun lokal tentang guru-guru yang berbuat curang membantu siswa dalam menjawab soal UN, tentang sekelompok kepala sekolah yang tertangkap basah sedang berembuk merencanakan kecurangan, tentang siswa yang membocorkan rahasia kepada media massa bahwa mereka dibantu guru dalam menjawab soal-soal test UN. Dan lain-lain.
Dan ketika hasil UN diumumkan, guru dan siswa sama-sama tersenyum, puas atas hasil kelulusan siswa. Lalu, setelah ijazah diterima, ijazah tersebut hanya disimpan sebagai pertanda bahwa yang bersangkutan pernah bersekolah di sekolah anu. Ijazah tidak pernah digunakan karena pemiliknya memang tidak mampu menggunakannya. Ijazah hanyalah sebuah dokumen; sebuah portofolio, yang paling banter, hanya menunjukkan bahwa si pemilik ijazah tidak buta huruf. (mirisnya lagi, ada pula penyandang ijazah sekolah menengah atas yang tidak bisa membaca alias buta huruf).
Sampai kapan kita akan menipu diri sendiri. Sampai kapan kita akan menjadikan sekolah hanyalah sebagai sebuah kegiatan rutin pengisi waktu luang. Sampai kapan kita hanya menghabiskan anggaran untuk sesuatu yang sia-sia yang hanya menguntungkan sekelompok orang. Sampai kapan kita menjadikan pendidikan hanya sebagai proyek untuk mencari keuntungan bagi pelaksananya saja. Mungkin tidak ada yang mampu menjawabnya, karena pertanyaan ini memang tidak mudah dijawab.
Keterpurukan pendidikan kita adalah sebuah masalah yang kompleks, yang berstruktur berjenjang mulai dari permasalahan kemiskinan rakyat jelata, masalah stakeholders yang tidak berorientasi pada dunia pendidikan, sampai masalah mental pejabat pendidikan yang korup. Semua masalah itu bersinergi negatif memperburuk kualitas pendidikan kita, dan keberadaan UN hanyalah sebagai sesuatu yang membuat keadaan bertambah buruk.***
0 comments:
Post a Comment