Rahasia Kangen Band; Rahasia yang Tersisa



Judul : Rahasia Kangen Band
Penulis : Sujana
Penerbit : RMBOOKS, cetakan I, 2009
Tebal : 161 hal.
Ukuran : 13 x 17 cm



Kehadiran Kangen band ke khazanah musik Indonesia mengejutkan banyak orang. Di Lampung sendiri—di mana band itu berasal—banyak orang terkejut dan hampir tidak percaya. Di tengah-tengah euforia band-band indie di daerah perkotaan dan di surat khabar saat itu, tak pernah terselip nama Kangen Band. Surat khabar lokal tidak pernah memberitakannya. Mengherankan, mengingat berita-berita tentang band-band lokal lain begitu marak. Maka ketika nama Kangen Band melejit pada awal tahun 2007 semua orang terperangah. Di antara ribuan band indie lain yang begitu gencar berpromosi, kok nama Kangen Band yang ngetop. Inilah contoh kejelataan Kangen Band; mereka begitu awam dengan dunia industri musik; mereka bahkan tidak tahu kalau promosi adalah bagian terbesar dari industri musik. Kangen Band bisa seperti saat ini tak lain karena lagu-lagu mereka memang dicari oleh masyarakat; bukan karena promosi yang gencar.

Inilah nilai plus Kangen Band. Mereka dikejar major label, bukan mereka yang mengejar. Mereka tidak pernah mendatangi surat khabar untuk berpromosi seperti yang dilakukan oleh umumnya band-band baru untuk mencari nama. Mereka tidak pernah muncul di televisi, tapi berhasil mengumpulkan ribuan penggemar dalam konsernya. Mereka sudah ngetop bahkan sebelum albumnya keluar. CD bajakan mereka sudah beredar nyaris di seanttero jagad Indonesia ini jauh sebelum CD aslinya keluar. Pada waktu itu, banyak orang bertanya-tanya di mana gerangan bisa memndapatkan kaset dan CD aslinya Kangen Band. Permintaan akan kaset dan CD asli Kangen Band datang dari mana-mana di seantero jagad nusantara ini. Maka begitu kaset dan CD aslinya muncul—dengan major label—tak heran langsung meledak diserbu penggemar.

Inilah yang tidak dipunyai oleh band-band lain dan inilah pula yang membuat band-band lain yang lebih senior itu iri. Mengapa Kangen Band meledak, dan mengapa mereka begitu sulit bahkan untuk menjual 50.000 kopi saja, sementara, album pertama Kangen Band sudah terjual lebih dari 300.000 kopi hanya dua bulan setelah diluncurkan. Maka dicari-carilah alasan untuk melecehkan Kangen Band; mulai dari lagu-lagunya yang dianggap kampungan, latar belakang personilnya yang jelata, sampai masalah wajah yang tidak menarik. “Mau di bawa ke mana musik Indonesia?”, kata mereka dengan sinisnya. Sebuah pertanyaan yang justru menjadi boomerang bagi mereka sendiri; mau dibawa ke mana musik Indonesia jika insan musiknya bermental seperti itu.

Perkara caci mencaci ini bukanlah hal baru dan tampaknya akan tetap berlanjut dalam khazanah permusikan kita. Dulu, ketika Rhoma Irama meledak, dia juga mendapat caci maki dari mereka yang antidangdut—sampai-sampai Rhoma Irama menjawab dengan menciptakan lagu yang dia beri judul “musik”—aku ingin bicara soal musik/tentu saja bagi penggemar musik/…/bagi pemusik yang antimelayu boleh benci jangan mengganggu/…. Musik dangdut sampai saat ini memang masih menjadi sasaran empuk caci maki oleh mereka yang menganggap selera musiknya lebih tinggi. Lalu, ketika lagu-lagu Rinto Harahap meledak di tahun 80-an, juga dicaci maki dan dilecehkan—disebut sebagai lagu cengeng. Kemudian, didusul oleh Obie Mesakh yang mendapat cacian serupa karena lagu-lagunya meledak. Di awal tahun 90-an, lagu-lagu Malaysia—dimulai dengan lagu Isabela—juga meledak di Indonesia. Tak ayal, hal ini membuat musisi kita uring-uringan. Mereka berteriak bahwa lagu-lagu Malaysia itu meniru lagu-lagu Indonesia tahun 70-an.

Caci-mencaci seharusnya tidak terjadi jika para musisi itu berjiwa besar dan mau berlapang dada menerima kesuksesan orang lain. Perkara caci-mencaci tidak ada hubungannya dengan mutu musik. Tidak ada musik yang tidak bermutu. Yang ada adalah rasa suka dan tidak suka; Kalau Anda tidak suka dengan sebuah lagu, tinggalkan. Mungkin lagu itu memang diciptakan bukan untuk Anda, tapi untuk orang lain di luar sana.

***

Berbicara tentang Kangen Band seharusnya tidak terlepas dari hal-hal seperti di atas. Tapi sayang, hal itu tidak dijadikan fokus dalam buku ini. Buku ini tampaknya hanya mengejar cerita Andika, dan seperti disiapkan untuk cerita sinetron dengan mengekspos Andika dan permasalahannya seputar persiapan album pertama mereka.

Bagi pembaca yang sama sekali belum tahu kisah Andika, menarik sekali menyimaknya dalam buku ini. Sebagai sebuah kisah nyata, kisah Andika memang sangat dramatis, bahkan jika dibandingkan dengan kisah sinetron sekalipun. Inilah daya pikat buku ini.

Kekurangan buku ini—seperti kata sujana penulisnya—adalah tidak adanya foto-foto menarik seputar perjalanan karir Kangen Band maupun foto-foto riwayat hidup personilnya. Sebagai gantinya, dibuatlah gambar sketsa—semacam karikatur—yang menggambarkan intisari masing-masing bab. Sayangnya, gambar-gambar ini sepertinya tidak berarti apa-apa selain menambah-nambah halaman. Seandainya sujana mengganti gambar-gambar itu dengan foto-foto apa saja yang menyangkut Kangen Band atau kehidupan sehari-hari personilnya, pasti buku ini lebih menarik, dan menguak lebih banyak rahasia Kangen Band.***

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger