RBT dan Budaya Dukung Mendukung

RBT atau Ring Back Tone adalah nada tunggu pada waktu kita menelepon. Biasanya, kalau kita sedang menunggu panggilan telepon kita diangkat, terdengat bunyi tut tut tut di pesawat telepon kita. Kini, oleh sebagian orang, bunyi tut tut tut dianggap membosankan dan membuat penungguan terasa lebih lama, maka dicarilah pengganti nada tut tut tut.

Temuan pertama pengganti nada tut tut tut adalah jingle. Jingle adalah semacam nyanyian pendek, biasanya mengenai sebuah produk atau profil sebuah perusahaan, misalnya. Jingle sering digunakan dalam iklan baik di radio maupun di TV. Dahulu, para penelepon telkomsel sering disajikan jingle telkomsel sebagai nada tunggu. Tapi sekarang, jingle dianggap tidak menarik lagi, apalagi, jingle adalah merupakan bentuk promosi perusahaan, sehingga para pengguna telepon seluler menganggap tidak perlu menggunakannya, malah, terkesan dirugikan.

Kemudian, dari jingle berganti menjadi lagu-lagu hit top forty. Pada mulanya, RBT lagu yang ditawarkan adalah lagu-lagu terpilih yang benar-benar sudah menjadi hit. Sehingga para pengguna RBT lagu benar-benar ekslusif karena dia bisa mengindentikkan diri dengan lagu kesayangannya; sama sekali tidak ada unsur promosi dari artis penyanyi dalam hal ini; pemakaian RBT lagu benar-benar atas keinginan pelanggan agar merasa ekslusif.

Kini tidak ada lagi ekslusifitas itu. RBT lagu sudah berkembang menjadi sebuah industri yang masif; RBT sudah menjadi sarana utama untuk menjual lagu. Jutaan pemilik HP sudah menggunakan RBT lagu. Keberadaan RBT lagu tidak istimewa lagi; HP yang menggunakan RBT lagu tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang bernilai lebih. Hampir setiap kali kita menelepon, kita mendengar RBT lagu , mulai dari lagu dangdut sampai lagu rock terbaru. Keberadaan RBT lagu kini merupakan sebuah industri yang menguntungkan yang melibatkan pemilik modal dalam skala besar. Di dalamnya, terdapat para musisi; penyanyi atau grup band, produser dan pemilik label. Perkembangan industri RBT lagu dewasa ini sudah mencapai titik yang mencengangkan. Grup band Hijau Daun khabarnya sudah berhasil menjual RBT lebih dari 6 juta aktifasi. Kangen Band dalam album ke 2-nya membukukan tidak kurang dari 4 juta aktifasi. Grup band Wali dan beberapa lainnya juga sudah mencapai angka lebih dari 2 juta aktifasi. Khabarnya pula, grup band Ungu sudah membukukan angka aktifasi lebih dari satu juta dalam tempo hanya satu minggu setelah peluncuran single-nya yang berjudul “Hampa Hatiku”.

Maraknya industri RBT lagu dewasa ini karena ditunjang pula oleh industri video-klip. Kalau dahulu promosi sebuah lagu sebagian besar dilakukan melalui radio, kini peranan televisi sudah mengambil bagian terbesar. Hampir semua stasiun televisi menayangkan video-klip. Tidak bisa dipungkiri betapa dahsyatnya aspek promosi dari tayangan sebuah lagu di televisi. Sekali saja sebuah lagu ditayangkan dalam bentuk video-klip, jutaan orang mendengarnya. Banyak penyanyi dan grup band yang ngetop setelah video klip-nya ditayangkan di televisi. Di sinilah industri video klip berperan strategis; di samping sebagai promosi lagu juga sebagai sarana untuk mengajak orang mengaktifasi RBT lagu tersebut. Maraknya industri video-klip di mana industri RBT lagu mendompleng di dalamnya seperti saat ini telah menempatkan musik Indonesia menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Inilah energi positif yang diharapkan dan ditunggu-tunggu oleh pemerintah dan insan musik Indonesia di tengah-tengah hembusan angin krisis global saat ini; sebuah pemberdayaan dalam sektor ekonomi kreatif.

Jumlah penjualan RBT lagu yang mencengangkan saat ini menunjukkan bahwa RBT adalah sebuah primadona baru bisnis hiburan yang menggiurkan bagi produser dan insan musik. Hal ini terjadi karena sampai saat ini, RBT adalah satu-satunya produk industri musik yang tidak bisa dibajak. Sehingga para produser berlomba-lomba menjual produknya dalam bentuk RBT. Sementara produk musik dalam bentuk album dalam bentuk kaset dan CD tidak lagi dipandang menguntungkan karena masih terpuruk dalam ketidakberdayaan menghadapi pembajak. Sekarang yang penting bukan lagi album; bukan lagi kaset; bukan lagi CD, tapi single alias lagu tunggal. Maka lagu-lagu yang terdapat di dalam satu album dijual satu persatu dalam bentuk RBT. Hal ini tentu saja lebih menguntungkan karena dalam satu album biasanya terdapat sepuluh lagu; jika satu lagu dijual 7 ribu rupiah, maka satu album sepuluh lagu (satu album) berharga 70 ribu rupiah. Bandingkan jika dijual dalam bentuk kaset atau CD yang harganya hanya 20 atau 30 ribu rupiah saja. Istimewanya pula, dalam bisnis RBT, seorang artis penyanyi atau grup band tidak perlu memproduksi banyak lagu atau album, tapi cukup satu lagu atau single sehingga penggrapannya lebih sederhana. Ke depan, kemungkinan, artis penyanyi atau grup band tidak akan memproduksi album melainkan cukup sebuah single.

Mengapa RBT bisa berkembang menjadi industri yang masif, hal ini mungkin ada kaitannya dengan budaya dukung mendukung di negeri kita Indonesia ini. Betapa tidak, pemakaian RBT oleh pemilik HP adalah sesuatu yang unik dan sulit dijelaskan dengan akal sehat. Dapatkan kita memahami mengapa seseorang rela membeli sebuah atau beberapa lagu kesayangannya untuk, kemudian, didengarkan oleh orang lain, sedangkan dia sendiri tidak bisa mendengarkan lagu tersebut selama aktifitas menelepon. Sementara, belum tentu orang yang menelepon kita itu menyukai lagu yang kita pilih. Keberadaan RBT memungkinkan orang enggan menelepon seseorang apabila dia tidak menyukai lagu yang dijadikan RBT tersebut. Sebaliknya, jika seseorang sangat menyukai sebuah lagu, dia akan me-missed call HP yang memiliki RBT lagu tersebut berulang-ulang hingga menjengkelkan si pemilik HP. Di samping itu, RBT berbentuk lagu terkesan tidak memperhatikan sisi urgensi sebuah panggilan telepon. Bayangkan, jika seseorang menelepon dalam keadaan berduka misalnya, atau dia menelepon untuk menyampaikan berita duka, dan RBT yang terdengar adalah sebuah lagu rock yang hingar bingar, kemungkinan besar orang tersebut akan merasa jengkel dan keki.

RBT mungkin hanya bisa dipahami dengan pendekatan psikologi penggemar. Menurut psikologi penggemar, seseorang sangat terikat secara emosional dengan orang yang digemarinya. Seorang penggemar akan rela berkorban apa saja untuk mendukung seseorang atau sekelompok orang yang digemarinya. Semakin sukses idolanya, semakin puas dan bahagia sang penggemar. Tidak peduli meskipun dia harus berkorban harta benda untuk memberi dukungan tersebut. Itulah sebabnya seseorang rela menempuh jarak ribuan kilometer demi untuk menemui idolanya di Jakarta. Itulah sebabnya pula seseorang rela menghabiskan uang jutaan rupiah hanya untuk membeli pernak-pernik yang berhubungan dengan artis kegemarannya. Itulah pula sebabnya seseorang rela membeli barang bekas yang pernah dipakai idolanya dengan harga yang tinggi. Dan itulah sebabnya pula seorang penggemar rela membela mati-matian apabila idolanya dicaci atau dilecehkan. Pembelian RBT hanyalah hal terkecil yang bisa dilakukan seorang penggemar untuk mendukung idolanya.

Dan sesungguhnya, budaya dukung mendukung adalah sebuah energi positif yang sangat diperlukan dalam menggerakkan ekonomi kreatif seperti industri musik, misalnya. Dengan memberikan dukungan konkret berupa pembelian hasil karya, seorang artis dan industri yang mendukungnya bisa bertahan. Dengan membeli lukisan, seorang pelukis bisa bertahan. Dengan membeli busana, seorang desainer bisa meneruskan usahanya. Rasa iri dengki dan membenci karya orang lain adalah energi negatif yang bisa merugikan diri sendiri dan, dalam skala yang lebih luas, perekonomian bangsa.***

Penulis
Nama : Muhamad Hasim
Pekerjaan : Guru SMKN Pesisir Tengah, Lampung Barat

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger