UN Lagi, Pesta Lagi

Akhirnya UN datang juga. Di tengah-tengah kontroversi dan status hukumnya setelah putusan MA, pemerintah tetap bersikukuh menyelenggarakan pesta pendidikan tahunan yang disinyalir sebagai tolok ukur kemajuan pendididkan ini. Sahkah tindakan pemerintah ini, dan benarkah UN merupakan tolok ukur kemajuan dunia pendidikan, tampaknya harus diteliti kembali karena ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.

Penyelenggaraan UN sah-sah saja karena memang tidak melanggar hukum. Putusan MA kemarin juga tidak secara tersurat melarang UN. Penyelenggaraan UN juga tidak bisa dinilai dari idealisme kurikulum. Taruhlah UN bertentangan dengan idealisme Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), karena kurikulum ini menerapkan pola evaluasi berkesinambungan dan tidak mengenal istilah ujian akhir, tetapi UN sebagai sebuah evaluasi oleh pemerintah yang diselenggarakan untuk mengukur sejauh mana keberhasilan terapan sebuah kurikulum adalah sah dan tidak boleh diganggu gugat.

Masalah yang timbul seputar penyelenggaraan UN adalah validitasnya sebagai tolak ukur kemajuan dunia pendidikan dan kesiapan dunia pendidikan kita untuk menyelenggarakannnya.

Masalah validitas ini penting sekali untuk dibahas. Benarkah hasil UN benar-benar mencerminkan kemajuan dunia pendidikan, atau hanya sebuah data fiktif yang dimanipulasi untuk menyenang-nyenangkan hati pejabat pemerintah. Di mana-mana, di seluruh pelosok negeri, setiap tahunnya, kita mendengar berita-berita soal kecurangan penyelenggaraan UN, baik oleh guru, murid, dan oleh orang lain yang punya andil dalam penyelenggaraan UN. Berita-berita tersebut tentu belum tentu kebenarannya, sehingga terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa hasil UN tidak valid.

Tetapi tidakkah terbetik tanya dalam benak kita mengapa nilai rata-rata UN siswa di sebuah sekolah di pelosok desa yang fasilitasnya serba minimal, yang guru-gurunya relatif kurang wawasan, ternyata lebih tinggi dari nilai rata-rata UN sebuah sekolah unggulan di ibukota provinsi. Untuk diketahui, nilai rata-rata tertinggi UN provinsi Lampung ternyata diraih oleh sebuah sekolah bukan unggulan yang berada di pelosok desa, mengalahkan sekolah unggulan di Bandarlampung.

Kalau itu belum cukup, tidakkah pula kita tergelitik oleh kenyataan betapa perbedaan hasil Latihan Ujian Nasional (LUN) dengan UN di sekolah-sekolah pelosok seperti bumi dengan langit. Kita kerap mendengar, betapa sekolah-sekolah di kecamatan yang pada penyelenggaraan LUN tidak mampu meluluskan satupun siswanya, ternyata berhasil meluluskan siswanya 100% dalam UN. Hal ini menarik untuk dikaji mengingat penyelenggaraan LUN dikondisikan sama dengan UN; soalnya dibuat sama sulit dengan soal UN, dan waktu penyelenggaraannya hanya beberapa hari sebelum UN.

Belum sampaikah berita-berita itu ke telinga pemerintah, atau mereka telah mendengarnya tetapi meragukan kebenarannya, sehingga tetap bersikukuh pada pendapat bahwa hasil UN adalah data yang valid. Kalau hal ini yang terjadi, tampaknya tidak akan ada kemajuan yang nyata dalam dunia pendidikan dalam waktu dekat. Justru yang akan terjadi adalah kehancuran, karena kemajuan diukur dengan kebenaran yang semu; berdasarkan data yang tidak valid. Dampaknya dalam jangka panjang adalah kehancuran dunia pendididikan secara ekstrem.

Penyelenggaraan UN sebagai sebuah evaluasi adalah perlu. Tetapi kalau UN diselenggarakan sebagai salah satu alat untuk menentukan kelulusan, dengan menentukan passing grade, hal itu perlu dikaji kembali. Perlu dikaji terlebih dahulu seberapa jauh kesiapan dunia pendidikan kita dan semua stakeholder yang ada di dalamnya.

Kecurangan-kecurangan yang timbul dalam penyelenggaraan UN menunjukkan bahwa dunia pendidikan kita belum siap untuk menyelenggarakan UN sebagai salah satu komponen kelulusan, juga akibat salah persepsi dengan memandang UN sebagai satu-satunya alat penentu kelulusan.

Pandangan masyarakat, bahkan guru dan siswa, bahwa kelulusan hanya ditentukan oleh mata pelajaran yang di-UN-kan, dan jargon “belajar tiga tahun ditentukan oleh tiga hari” adalah sangat menyesatkan dan menyebabkan pendidikan kita kehilangan arah; Siswa memandang mata pelajaran UN lebih penting dari mata pelajaran lain, dan guru mata pelajaran non-UN lebih kecil sumbangsihnya dalam pendidikan mereka.

Lalu penyelenggaraan pendidikan di sekolah beralih berorientasi ke UN. Segala daya upaya (terutama siswa kelas 3) ditujukan untuk UN. Jam pelajaran mata pelajaran UN ditambah, ditambah pula dengan pelajaran tambahan di sore hari, sehingga siswa harus bertahan di sekolah dari pagi sampai sore. Ini semua karena UN. Dengan segenap daya upaya dan usaha yang sedemikian rupa, tidak ada jaminan siswa akan berhasil. Tentu tidak ada yang bisa menjamin keberhasilan pendidikan. Tetapi usaha untuk meraih keberhasilan itu adalah sebuah nilai pendidikan yang patut dihargai.

Sayangnya UN tidak menghargai hal itu.UN hanya mengukur keberhasilan pendidikan dengan angka-angka. Padahal keberhasilan pendidikan tidak hanya dipandang dari angka-angka. Dalam UN, semua siswa, di manapun, dalam keadaan apapun, dengan fasilitas yang bagaimanapun, harus mencapai nilai tertentu untuk lulus. Siswa yang meraih angka 4,00 dinyatakan lulus ujian, sedangkan siswa yang meraih angka 3, 99 tidak lulus. Tidakkah kita menyadari bahwa ada terjadi proses pendidikan yang sama atau hampir sama di antara keduanya. Perkara siswa yang satu mendapat angka 4,00, sedangkan siswa yang lain mendapat 3,99 bisa jadi disebabkan oleh faktor lain, seperti pemahaman guru terhadap kurikulum yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya, misalnya. Kenyataan bahwa telah terjadi perkembangan pada diri siswa yang tidak tercermin dalam angka-angka, tidak boleh diabaikan.

Maka tidak heran, kalau kemudian pendidikan kita hanya berorientasi pada angka-angka itu. Semua pihak pendidikan menempuh segala cara untuk mencapai angka kelulusan, dan penyelenggaraan UN bukan lagi sebagai alat ukur pendidikan yang valid, melainkan hanya sebuah kegiatan rutin tahunan yang menyenangkan, seperti sebuah pesta.

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger