Wartawan Yang Mengintip, Dari Manakah Mereka?

Miris melihat wartawan kita yang mengintip-intip sumber beritanya, sambil membidikkan kameranya melalui kisi-kisi jendela kaca atau lubang ventilasi, seperti yang sering kita saksikan di layar televisi kita. Layakkah wartawan bertindak seperti itu. Benarkah ruang gerak wartawan tidak terbatas. Apakah hak masyarakat untuk mengetahui sebuah peristiwa tidak ada yang bisa menghalanginya, sekalipun oleh hak azazi. Apakah si sumber berita juga tidak mempunyai hak untuk tidak diberitakan. Apakah wartawan, karena profesinya, berhak mengejar sumber berita sampai ke ruang pribadi sekalipun. Lalu bagaimana dengan konsep privasi. Pertanyaan-pertanyaan di atas pasti mengusik ruang hati kita ketika kita meyaksikan aksi wartawan yang sedang mengintip, sebelum kita menyatakan setuju atau tidak setuju dengan perbuatan mereka.

Konon, dasar kerja wartawan adalah hak masyarakat untuk mengetahui sebuah peristiwa atau isu. Namun, sejauh ini, tidak ada mandat hitam di atas putih dari masyarakat kepada wartawan yang menghendaki wartawan mengejar berita sampai ke ruang pribadi, sampai mengintip. Saya kira, masyarakat memahami bahwa privasi seseorang harus dihormati. Masyarakat maklum dan bisa mengerti ketika si sumber berita menolak diwawancara.

Dalam konteks ruang publik, memang tidak ada yang berhak melarang, karena ruang publik adalah untuk publik. Tapi hendaklah dipahami bahwa ruang publik juga bukan untuk wartawan semata, dan bukan milik wartawan, sehingga, tentu saja, wartawan tidak berhak melakukan apa saja yang dia suka di sana, sebagaimana orang lain pun tidak berhak. Konsep ruang publik sebenarnya adalah merujuk pada ruang itu secara fisik. Pengertian ‘ruang’ di sini adalah harfiah; bahwa ruangan itu diperuntukkan untuk publik. Misalnya bandara, stasiun KA, pasar, dll adalah ruang di mana semua orang boleh berada, berbeda dengan rumah, misalnya, di mana tidak semua orang boleh berada di sana. Tetapi bukan berarti bahwa ketika sedang berada di bandara, di stasiun KA, atau di pasar, misalnya, orang boleh melakukan apa saja. Memotret kegiatan pribadi seseorang di bandara tidaklah sama dengan memotret sebuah keramaian di bandara karena tujuannya memang berbeda. Seseorang yang kegiatan pribadinya disusik tentu saja berhak komplain, meskipun dia sedang berada di ruang publik. Apalagi kalau kegiatan itu dilakukan di dalam ruang yang memang diperuntukkan secara pribadi, seperti toilet misalnya. Seseorang yang sedang berada di toilet, berarti dia sedang berada di ruang pribadi, meskipun toilet itu berada di ruang publik seperti bandara.

Satu hal lagi yang membatasi ruang pribadi dan ruang publik adalah pintu. Sebuah ruang yang ada pintunya tidak bisa disebut sebagai ruang publik, kecuali pintunya dibuka, dan dinyatakan sebagai ruang publik, tapi ketika pintu itu ditutup, ruang itu berubah menjadi ruang pribadi. Saya kira semua orang paham konsep ini. Tidak perlu sekolah tinggi untuk memahami konsep pintu tertutup ini. Saya kira semua orang memahami, ketika seseorang menutup pintu, berarti dia sedang ingin berada di ruang pribadinya; dia sedang tidak ingin diganggu. Ketika ada yang mengintip ketika pintu sedang tertutup, itu adalah pelanggaran privasi.

Konsep pintu tertutup ini tidak hanya berlaku di ruang pribadi seperti rumah atau hotel, misalnya, tetapi juga di kantor, baik kantor pemerintah maupun kantor swasta. Ketika sebuah kantor pintunya tertutup, itu berarti kita harus meminta ijin untuk memasukinya. Dan kalau kita tidak diberi ijin masuk, itu berarti mereka tidak ingin kegiatannya di dalam ruangan itu diketahui publik. Kalau mereka tidak ingin kegiatannya diketahui publik, tentu mereka tidak akan mengijinkan kita mengintip. Kalau kita berpendapat tidak ada satu pun kegiatan di dunia ini yang tidak boleh diketahui publik, kita harus mempunyai landasan hukum untuk itu, tunjukkan bahwa ada Undang-Undang atau peraturan yang melarang orang menutup pintu, misalnya.

Konsep pintu tertutup ini dinyatakan dengan tegas di ruang sidang pengadilan. Dalam sidang pengadilan ada istilah sidang terbuka dan sidang tertutup. Sidang terbuka boleh diikuti oleh siapa saja, sedangkan sidang terttutp tidak. Masyarakat sudah memaklumi hal ini. Begitu sebuah sidang dinyatakan tertutup, tidak ada masyarakat yang bertanya mengapa, dan tidak ada yang nekad hendak mengikutinya, kecuali kalau memang diijinkan untuk itu. Dengan demikian, wartawan tidak perlu datang dan mengintip lewat jendela dan lubang angin, dengan alasan untuk memenuhi rasa ingin tahu masyarakat. Saya kira masyarakat kita sudah cukup beradab dan berpendidikan untuk memahami mengapa orang membuka dan menutup pintu. Mau jadi apa kita jika menutup pintu tidak lagi cukup untuk menjaga privasi kita.***

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger