Jakarta di mata orang desa adalah , apalagi kalau bukan, gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi hingga mencapai langit. Inilah yang paling menggoda orang desa tentang Jakarta. Sebuah daya tarik yang bagaikan magnet menarik orang-orang desa, dari pelbagai penjuru pertiwi ini untuk mengunjunginya.
Menyaksikan pemandangan yang spektakuler tersebut, orang-orang desa memendam keinginan untuk ke Jakarta, terutama anak-anak muda. Anak-anak ABG, yang masih duduk di bangku sekolah, pasti bercita-cita ingin ke Jakarta. Di kalangan ABG, Jakarta adalah semacam obsesi dan orientasi dalam kehidupan modern. Menurut mereka, kehidupan tak akan modern kalau belum ke Jakarta.
Anak desa yang baru pulang dari Jakarta, membawa kilau sebuah kehidupan metropolis di pundaknya. Sebuah kilau yang kemudian menyilaukan mata orang-orang desa yang melihatnya. Tak heran, ketika lulus sekolah, cita-cita mereka adalah ke Jakarta, bukan melanjutkan ke perguruan tinggi, misalnya.
Tidaklah mengherankan jika gedung pencakar langit adalah pemikat nomer satu bagi orang desa untuk datang ke Jakarta. Gedung pencakar langit adalah sebuah sensasi yang paling mencirikan kehidupan metropolis. Tidak ada yang paling mencirikan dan paling mengesankan dari sebuah kota metropolitan selain gedung tinggi atau pencakar langit. Sebuah kota, berapa pun penduduknya, rasanya, kalau tidak mempunyai gedung pencakar langit, tidaklah layak disebut kota metropolitan.
Bayangkan seorang anak dari desa kecil atau kota kecil yang gedung-gedungnya hanya berlantai dua atau tiga, kemudian dia pergi ke Jakarta. Hal yang paling kontras yang dia temukan pertama kali pastilah gedung-gedung pencakar langit yang terdiri dari berpuluh-puluh lantai itu. Semakin tinggi gedung yang dia lihat, semakin dia merasa berada di sebuah metropolitan, dan semakin dia merasakan vibe-nya sebuah metropoliitan.
Berada di sana, dia merasa seperti sebuah partikel debu yang melayang di udara yang tidak berarti apa-apa. Semakin tinggi sebuah gedung, semakin tinggi sensasi sebuah metropolitan yang dia rasakan, namun, semakin dia merasa rendah diri, karena menyadari betapa kesenjangan antara Jakarta dengan desanya seperti antara bumi dengan langit.
Semakin banyak gedung tinggi yang dia temui, semakin dia merasakan getarnya Jakarta.
Akan tetapi, itu saja tidak cukup, belum bisa membuatnya menjadi manusia ‘modern’, belum membuat dia menjadi orang Jakarta. Untuk merasakan kehidupan Jakarta, dia harus tinggal di sana selama beberapa tahun.
Dari sinilah, saya kira, urbanisasi itu berawal. Dan dengan perkembangan metropolitan Jakarta yang demikian pesat, apalagi dengan rencana pemerintah Jakarta untuk membangun Menara Jakarta, yang akan menjadi salah satu gedung tertinggi di dunia, tentu arus urbanisasi itu akan bertambah dahsyat pula.
***
Jakarta bagi orang desa, apalagi kalau bukan, pusat artis. Faktanya, artis-artis Indonesia, apakah itu artis film, pemain sinetron, penyanyi, model, kebanyakan adanya di Jakarta; membangun karir dan mencapai sukses di Jakarta. Dan Adalah fakta pula bahwa kebanyakan artis-artis itu berasal dari daerah.
Kenyataan bahwa banyak orang daerah, atau orang desa yang berhasil menjadi artis di Jakarta, membuat banyak ABG di daerah, atau di desa, kini menyimpan obsesi serupa.
Namun malang bagi ML. Cewek berwajah pas-pasan asal desa pelosok, murid sebuah SMK, di Lampung Barat, yang menyimpan obsesi menjadi artis pemain sinetron ini, tertipu oleh sebuah lembaga pemandu bakat.
Setelah mengikuti ajang semacam lomba yang diselenggarakan di kota kecamatan, oleh sebuah lembaga pemandu bakat dari Jakarta, ML dinyatakan lulus dan memenuhi syarat untuk menjadi pemain sinetron. Namun, untuk itu, untuk memenuhi ambisinya tersebut, ternyata ML harus membayar sebesar Rp.2.500.000 kepada pemandu bakat tersebut, dan diharuskan ke Jakarta dengan biaya sendiri.
Maka, jadilah ML, dengan diantar ibunya, pergi ke Jakarta untuk mewujudkan cita-citanya, meninggalkan sekolahnya yang masih duduk di bangku kelas 1 SMK.
Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, setelah beberapa bulan kemudian, ML beserta ibunya kembali lagi ke desa; pulang kampung, dengan tangan hampa. Berjuta rupiah sudah uang mereka habis, namun cita-cita menjadi artis tak kesampaian, malah sekolahnya terbuang.
Namun ML tidak sendiri. Di samping ML, ada ribuan orang mengalami kisah serupa; terobsesi menjadi artis dan tertipu. Di tempat lain, pada bulan Juli 2009, puluhan orang yang ingin menjadi model dan artis dari Tondano, Sulawesi Utara tertipu agen pencari bakat. Mereka diminta datang ke Jakarta dan diharuskan membayar Rp15 juta. (selengkapnya lihat di di sini)
Di samping ML dan puluhan gadis dari Tondano tersebut, tentu masih banyak lagi orang yang tertipu karena ingin menjadi artis atau model, yang tidak sempat terekspos media.
***
Jakarta bagi orang desa, apalagi kalau bukan, pusat kemakmuran; gudang uang. Kenyataannya memang, 60% uang Indonesia beredar di Jakarta. Fakta inilah, ditambah dengan pencitraan kehidupan mewah lewat sinetron TV yang sangat intens, yang membuat orang-orang desa tergiur mencoba peruntungan di Jakarta, dengan impian untuk menjadi orang kaya seperti yang di TV.
Sebuah keluarga muda, dengan satu anak balita, yang berasal dari sebuah desa di pelosok Lampung Barat, menjual ladangnya untuk pindah, mengadu nasib, ke Jakarta.
Namun, sama dengan ML, mereka pun tak meraih untung, dan tak mampu menolak malang. Bertahun-tahun mereka mengadu nasib di Jakarta, namun tak kunjung membawa perubahan yang diharapkan. Dan akhirnya, seperti si ABG ML, mereka kembali ke kampung halaman dengan tangan kosong, memulai dari nol kembali. ***
0 comments:
Post a Comment