Pada waktu program konversi minyak tanah masih dalam tahap awal, saya baca di koran lokal, ada seorang ibu pedagang kaki lima yang menolak menggunakan kompor gas, alasannya karena takut meledak. Saya mengira alasan ibu itu hanyalah keluguan masyarakat kecil biasa, ketakutan yang berlebih-lebihan. Kini baru saya mengerti, ternyata pikiran ibu itu sangat cerdas, dan selangkah lebih maju.
Pelajaran apakah yang bisa kita petik dari peristiwa ledakan kompor gas yang terus menerus terjadi di negeri ini, beruntun, seolah-olah tanpa henti, di seluruh pelosok negeri, selain sebuah hikmah dari alih teknologi, sebuah pelajaran betapa alih-teknologi memerlukan persiapan dan pengkajian yang matang.
Klaim Pertamina bahwa tidak ada tabung gas yang meledak, melainkan karena kecerobohan masyarakat penggunanya, yang tidak cermat dalam menyambungkan tabung gas ke kompor, yang memungkinkan terjadinya kebocoran pada katup sambungannya, atau menggunakan selang yang sudah bocor, hanyalah sebuah excuse, sebuah dalih untuk membelokkan masalah, karena bagaimanapun juga, yang meledak adalah tabungnya bukan selangnya.
Alih-teknologi, betapapun sederhananya, tentu memerlukan persiapan yang matang, terutama jika teknologi yang diperkenalkan tersebut berdampak pada keselamatan penggunanya, seperti kompor gas.
Benar, pada waktu terjadi alih teknologi dari telepon rumah dengan kabel ke HP, tidak terjadi dampak negatif yang mengerikan, yang sampai membahayakan jiwa penggunanya. Tetapi alih-teknologi kompor minyak tanah ke kompor gas tentu tidak sesederhana itu.
Struktur masyarakat kita yang agraris, yang terbiasa menggunakan kayu bakar atau kompor minyak tanah, tentu tidak bisa dituntut untuk bijaksana dalam teknologi baru, apalagi secara mendadak. Peralihan teknologi dari kompor minyak tanah ke kompor gas tentu memerlukan waktu, tidak bisa mendadak, dan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Diperlukan waktu lama bagi masyarakat untuk benar-benar memahami prinsip-prinsip penggunaan kompor gas, yang bisa membahayakan jiwa itu. Terbukti, konversi yang dilakukan masyarakat secara swakarsa (atas kesadaran sendiri, bukan mengikuti program pemerintah) aman-aman saja. Ini tentu karena mereka telah melakukan survei terlebih dahulu tentang prinsip-prinsip penggunaan kompor gas dari tetangga, atau dari sanak famili yang telah menggunakan kompor gas terlebih dahulu. Maka maklum ketika ini tidak dilakukan, timbul banyak masalah.
Masalah itu timbul ketika konversi dilakukan secara masif, mendadak, dan serba instant, tanpa survei dan pengkajian yang memadai. Memang sebelum konversi dilakukan, masyarakat sasaran konversi didatangi oleh petugas, tetapi para petugas itu hanya menanyakan apakah masyarakatsudah menggunakan kompor gas atau belum, tidak lebih.
Dalam pikiran yang paling sederhana pun tentu bukanlah hal yang mudah untuk membiasakan diri membongkar pasang gas ke kompor, sebuah pekerjaan yang mengerikan bagi sebagian orang, ditambah lagi dengan imej tabung gas yang menyerupai bentuk bom itu, sehingga memerlukan kecermatan dan kehati-hatian yang tinggi, apalagi jika sebelumnya mereka hanya terbiasa menyulut kompor minyak tanah, atau menggunakan kayu bakar.
Masyarakat sasaran konversi memerlukan pemahaman dan penguasaan mendalam tentang prinsip-prinsip penggunaan gas, resikonya, dan bahaya yang mungkin ditimbulkannya, jika prosedur pemasangannya dan pemeliharaannya tidak benar.
Tentu kita tidak bisa berasumsi bahwa teknologi kompor gas adalah teknologi paling sederhana yang bisa digunakan oleh siapa saja. Kita tidak boleh beranggapan bahwa semua masyarakat niscaya akan berhati-hati menggunakan alat yang bisa menimbulkan bahaya.
Kita tidak bisa pungkiri bahwa sebagian masyarakat kita ceroboh akan keselamatan nyawa mereka sendiri. Tengoklah di jalan raya, ada berapa banyak orang mengemudikan sepedamotor tanpa menggunakan helm, dan mengemudi dengan ugal-ugalan. Tengoklah pekerjaan bangunan, ada berapa yang menggunakan alat keselamatan, dan yang tidak. tengoklah ada berapa orang yang tetap memainkan komputernya, atau berapa orang yang tidak mematikan barang-barang elektroniknya dan mencopot sambungan listriknya ketika badai guntur terjadi.
Kita harus sadar betul bahwa masih banyak masyarakat kita yang, secara sadar atau tidak, masih mengekspos dirinya akan bahaya. Masih banyak masyarakat kita yang memerlukan orang lain untuk mengingatkan keselamatannya. Dan ketika kompor gas masuk ke rumah mereka, tentu ekspos itu bertambah lagi.
Meng-konversi minyak tanah ke gas secara pukul rata, tanpa mengantisipasi bahaya yang mungkin ditimbulkannya, tentu merupakan sebuah kekonyolan. Kiranya diperlukan survei yang lebih mendalam lagi tentang prospek penggunaan kompor gas bagi masyarakat sasaran konversi. Factor human error, atau kecerobohan hendaklah dijadikan pertimbangan utama dalam menentukan sasaran program konversi. Bila perlu, lakukan test mental seperti yang diberikan pada calon pengguna senjata api.
0 comments:
Post a Comment