Bahasa Global Masa Depan, Inggris atau Mandarin?


Bahasa Inggris telah menjadi bahasa dunia yang dominan selama satu abad, tapi bagaimana dengan masa depan? Jika bahasa China Mandarin ingin menggantikan kedudukan bahasa Inggris sebagai bahasa dunia, maka bahasa tersebut harus bisa berjaya terlebih dahulu di belakang rumahnya, di Asia Tenggara.
Di kota paling selatan Malaysia, Johor Bahru, keinginan untuk berbicara bahasa Inggris dengan baik telah menggerakkan sebagian anak-anak melakukan perjalanan penting selama dua jam ke sekolah setiap hari.
Aw Yee Han yang berusia sembilan tahun melompat ke sebuah mobil mini van pada pukul 04.30. Paspornya terselip di dalam sebuah tas kecil yang dia dikalungkan ke leher.
Hal ini membuatnya lebih mudah menunjukkan paspor tersebut ke petugas imigrasi ketika mereka memasuki perbatasan Malaysia.
Sekolahnya berlokasi di seberang sana, di Singapura, di mana tidak seperti di Malaysia, bahasa Inggris merupakan bahasa utama.
Ini bukanlah cara umum anak Malaysia bersekolah, tapi ibunya, Shirly Chua berpikir ini perlu bagi anaknya.
“Sains dan matematika semuanya ditulis dalam bahasa Inggris jadi penting bagi anak saya untuk menguasai bahasa tersebut dengan lancar,” katanya.
Diperkirakan 15.000 murid dari bagian selatan negara bagian Johor menempuh perjalanan dengan bis yang sama melintasi perbatasan setiap hari. Kedengarannya cukup menggugah, 15.000 bukanlah jumlah yang sedikit, namun sebagian orang tua tidak mempercayai sistem pendidikan di Malaysia—mereka mencemaskan menurunnya penggunaan bahasa Inggris di negeri tersebut.
Semenjak kemerdekaan Malaysia dari Inggris tahun 1967, negara tersebut telah kehilangan sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Inggris, sebagian besar murid di sana belajar menggunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Melayu.
Sebagai hasilnya, para analis mengatakan para lulusan sekolah dari Malaysia kurang bisa diterima di sektor IT.
“Kami telah menyaksikan penurunan secara drastis dalam hal penguasaan bahasa Inggris di negara kami, bukan hanya di antara murid-murid, tapi saya kira di kalangan guru pun demikian pula,” kata pengamat politik Ong Kian Ming.
Mereka yang percaya bahwa bahasa Inggris adalah penting untuk masa depan anak-anak mereka mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah swasta yang mahal atau ke Singapura, di mana pemerintahnya dianggap lebih berpandangan luas dalam mengadopsi bahasa yang diwariskan dari negara bekas penjajah mereka itu.
Hampir tiga perempat dari penduduk Singapura adalah etnis China namun bahasa Inggris merupakan bahasa nasional di negara tersebut.
Banyak yang percaya bahwa bahasa Inggris banyak membantu negara kota tersebut dalam memenangkan predikat sebagai tempat yang paling mudah melakukan bisnis, oleh Bank Dunia.
Akan tetapi, dominasi bahasa Inggris kini mendapat tantangan dari kebangkitan China di Singapura.
Institute Bisnis milik China di Singapura (The Singapore Chinese Chamber Institute of Business) telah memasukkan mata kuliah bahasa China untuk bisnis dalam beberapa tahun terakhir ini.
Di sana para mahasiswa diajar dalam bahasa Mandarin bukannya dalam bahasa dialek Hokkien seperti yang digunakan oleh generasi tua imigran China di sana.
Mata kuliah ini terbukti populer, semenjak pemerintah mulai menyediakan subsidi bagi orang Singapura yang ingin belajar bahasa China pada tahun 2009 ketika terjadi krisis keuangan global.
“Pemerintah berusaha keras memfasilitasi para mahasiswa mereka dengan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan mereka seolah mereka sedang mempersiapkan diri untuk melakukan lompatan ekonomi,” kata juru bicara dari chamber tersebut Alwyn Chia.
Beberapa kelompok bisnis kini benar-benar membutuhkan mereka yang bisa berbahasa China.
Lee Han Shih, yang menjalankan usaha bidang multimedia, mengatakan bahasa Inggris kini menjadi semakin kurang penting baginya dalam arti finansial karena dia akan mengajak para klien dari negara barat untuk melakukan usaha di China.
“Jelas Anda perlu mempelajari bahasa Inggris tapi Anda juga perlu bisa berbahasa China,” kata Mr. Lee.
Seiring dengan pertumbuhan kekuatan ekonomi China, Mr Lee percaya bahwa bahasa Mandarin akan mengambil alih bahasa Inggris. Faktanya, dia sudah melihat tanda-tanda ke arah ini.
“Penurunan penggunaan bahasa Inggris kemungkinan akan terjadi seiring dengan penurunan nilai dolar AS.
“Jika renminbi akan menjadi mata uang cadangan masa depan, maka Anda harus mempelajari bahasa China.”
Lebih lebih lagi, katanya, tempat-tempat seperti Brazil dan China kini melakukan bisnis dengan menggunakan renminbi, bukan dolar AS, jadi bahasa Inggris tidak begitu dibutuhkan. 
Bilingualisme

Sebenarnyalah, kekuatan China sedang tumbuh di Asia Tenggara, dan menjadi partner utama wilayah tersebut dalam perdagangan.
Tapi mengatakan bahwa bahasa Mandarin akan menyaingi bahasa Inggris adalah sebuah “terlalu dilebih-lebihkan”, kata Manoj Vohra, direktur Asia pada Unit Intelijen para ahli ekonomi (Economist Intelligence Unit).
Bahkan perusahaan-perusahaan di China, yang lebih suka beroperasi di China, kini mencari para manajer yang bisa berbahasa Mandarin dan bahasa Inggris jika mereka ingin berekspansi ke luar negeri, katanya.
Para manajer tersebut berfungsi sebagai jembatan dari perusahaan-perusahaan tersebut.”
Jadi masa depan bahasa Inggris bukanlah soal kedudukan bahasa tersebut akan diambilalih oleh bahasa Mandarin, tetapi apakah bahasa tersebut akan hidup secara berdampingan dengan bahasa China, kata Vohra.
Dia percaya bilingualisme akan berjaya di Asia Tenggara.
Kedengarannya seperti sebuah argumen ekonomi yang masuk akal, namun pada kasus Vietnam, ada penolakan mempelajari bahasa Mandarin.
Negara tersebut boleh jadi berbatasan dengan China, namun pilihan pemerintah Vietnam untuk tidak menekankan pelajaran bahasa Mandarin adalah tindakan yang emosional, kata ahli ekonomi terkemuka Le Dang Doanh.
Banyak orang Vietnam yang kehilangan anggota keluarga mereka selama masa perang sekarang memilih belajar di Amerika, katanya.
 “Kami tidak akan melupakan para korban perang di masa lampau demi untuk menngindustrialisasi dan menormalisasi negera ini, Vietnam perlu menguasai bahasa Inggris.”
Pemerintah Vietnam berambisi akan membuat semua anak sekolah yang lulus pada tahun 2010 menguasai bahasa Inggris dengan baik.
Namun tidak sulit bagi generasi muda Vietnam untuk menerima bahasa Inggris. Bagi sebagian dari mereka, bahasa tersebut menawarkan sense kemerdekaan di Vietnam, di mana negara komunis yang hanya mempunyai satu partai tersebut masih tetap mengawasi media secara ketat.
Di alun-alun umum di pusat kota Hanoi, sekelompok anak muda melakukan tarian  breakdance mengikuti hentakan irama musik hip hop. Ngoc Tu, 20, mengatakan dia hanya mendengarkan lagu-lagu berbahasa Inggris.
“Menteri Kebudayaan melarang banyak lagu (berbahasa Vietnam) dan segala jenis penerbitan kebudayaan yang berisikan isu-isu seputar kemerdekaan dan pemberontakan, tapi … lagu-lagu berbahasa Inggris tidak disensor.
Meski masih bisa diperdebatkan apakah bahasa Inggris ataukah bahasa Mandarin yang akan mendominasi wilayah Asia Tenggara di masa yang akan datang. Masing-masing mempunyai argumen dari sisi ekonomi.
Tapi dari sisi budaya, tidak ada masalah.
Bahkan mereka yang antusias dengan bahasa Mandarin seperti para pelaku bisnis Singapura Mr Lee, mengatakan bahasa Inggris akan tetap populer selama masih ada film-film Hollywood.
Kesuksesan film-film seperti Kung Fu Panda, sebuah film produksi Amerika tentang hewan China, telah menyebabkan banyak kekhawatiran di China, katanya.
Telah ada banyak kartun di China tentang panda sebelumnya, tetapi tidak ada yang bisa mencapai sukses secara komersial, kata Mr Lee.
“Ketika film Kung Fu Panda diputar di gedung bioskop semua orang menontonnya. Mereka membeli merchandise tentang hewan tersebut dan mempelajari bahasa Inggris.


Asumsi bahwa bahasa Mandarin akan berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi China boleh jadi tidak tepat. Ingat Jepang yang, setelah mengalami pertumbuhan ekonomi pasca perang yang spektakuler, menjadi kekuatan ekonomi nomer dua di dunia. Bahasa Jepang tidak menunjukkan peningkatan baik dari segi kekuatan maupun gengsinya. 
Hal yang sama bisa pula terjadi pada bahasa Mandarin. Sistem penulisan yang berdasarkan karakter seperti bahasa Mandarin memerlukan kerja keras selama bertahun-tahun bagi kita untuk mempelajarinya, bahkan bagi orang China itu sendiri, dan menjadi momok bagi orang asing untuk mempelajarinya. Di Asia, di mana pengaruh China sudah berlangusng selama ribuan tahun, boleh jadi hal ini bukan masalah besar. Tapi di dunia Barat, bahkan murid yang paling rajin sekalipun memerlukan kerja keras selama bertahun-tahun untuk bisa membaca teks dalam bahasa Mandarin dengan tingkat kesulitan normal yang diambil secara acak.
Akhirnya, banyak bahasa-bahasa di Asia, Afrika, dan Amazon menggunakan “nada” (tekanan naik, turun, datar, atau tenggelam dalam pengucapan kata) untuk membedakan kata yang satu dengan kata yang lain. Bagi para penutur bahasa nada (tonal language) (seperti bahasa Vietnam) mempelajari nada bahasa Mandarin mungkin tidak sulit. Tapi penutur bahasa non-nada akan mengalami kesulitan ketika mempelajari sebuah bahasa nada di usia dewasa mereka—seperti cerita-cerita tentang orang China yang belepotan mengucapkan kata-kata dalam bahasa asing yang mereka pelajari.

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger