Mengenal Bahasa 'Melayu-Lampung'

PERCAMPURAN bahasa dalam pergaulan sehari-hari menyebabkan sebuah bahasa berkembang ke arah tertentu, dalam kasus tertentu bisa menciptakan bahasa baru, atau menyebabkan sebuah bahasa bermetamorfosis, berubah bentuk.

Kasus yang terjadi dalam bahasa Lampung Krui, Lampung Barat, menarik untuk diamati. Di bawah ini adalah hasil pengamatan kasar terhadap gejala-gejala perubahan tersebut, yang cukup memberi perbedaan yang signifikan terhadap bahasa Lampung yang dikenal sehari-hari. Campuran bahasa Lampung dan bahasa Melayu seperti yang terjadi di Krui cukup untuk membentuk bahasa baru, yang bukan bahasa Lampung, namun bukan pula bahasa Melayu.

Bermula dari rasa enggan kaum pendatang, terutama anak muda, di wilayah Pasar Krui, Lampung Barat, berbicara bahasa Lampung, pada tahun 1970-an (atau boleh jadi lebih awal), dan ketidakberdayaan kaum pribumi menekankan pengaruhnya pada kaum pendatang tersebut, maka terciptalah suatu dialek baru, atau mungkin lebih tepat disebut bahasa baru, yaitu gabungan dari bahasa Melayu dan bahasa Lampung.

***

Ciri bahasa Lampung yang banyak menggunakan partikel ‘do’ (setara ‘lah’ dalam bahasa Indonesia), misalnya dalam kata, ‘nikudo’, ‘yado’, ‘halokdo’ adalah cara utama dalam mengadaptasi bahasa Lampung ke dalam bahasa Melayu ini. Kata ‘niku’ berarti ‘Anda’, ‘ya’ berarti ‘ya’, dan ‘halok’ berarti ‘mungkin’, maka ‘nikudo’ menjadi ‘nikulah’, ‘yado’ menjadi ‘yalah’, dan ‘halokdo’ menjadi ‘haloklah’, dalam hal ini, bahasa Lampung diubah menjadi bahasa Melayu hanya dengan mengganti partikel ‘do’ menjadi ‘lah’. Ini adalah ciri utama yang pertama dalam bahasa baru ini. Contoh lainnya, “walado ….” menjadi “walalah ….”

Ciri utama yang kedua adalah dengan mengganti bunyi ‘gh’ dalam bahasa Lampung yang mirip bunyi ‘r’ dalam bahasa Melayu, menjadi bunyi ‘r’. Kata-kata seperti ‘setangkagh’ (bertengkar) diubah menjadi ‘setangkar’, ‘jujogh’ (nama salah satu adat dalam perkawinan) menjadi ‘jujor’, ‘beghuh’ (semacam ‘tuang’ dalam bahasa Melayu) menjadi ‘beruh’, ‘bagha’ (dalam frasa ‘bulan bagha’ berarti bulan purnama) menjadi ‘bara’, ‘tepogh’ (semacam ‘mengalami masa’) menjadi ‘tepor’, dan lain-lain.

Partikel-partikel dalam bahasa Lampung yang lainnya seperti ‘ngia’, dan ‘kik’ tetap dipertahankan dalam bahasa campuran ini. Kalimat seperti ‘nikudo sai salah’ (kamulah yang bersalah) menjadi ‘nikulah ngia yang salah’. Kalimat ‘Ngapi kik niku …’ (Kenapa sih kamu) menjadi ‘Ngapa kik lu ….’

Kata ‘gila’ yang tidak ada artinya (setara ‘dong’ atau ‘sih’ dalam bahasa Indonesia) juga dipertahankan, contoh, “Ngapi gila bang niku mak aga ….” (Kenapa sih kok kamu nggak mau ….) menjadi, “Ngapa gila bang lu nggak mau ….)

Kata ‘bang’, yang setara dengan ‘gila’, juga tetap dipertahankan dalam bahasa campuran ini. Contohnya seperti dalam kalimat berikut, “Ngapi bang niku sai butong,” (Kenapa kok kamu yang marah) menjadi ‘Ngapa bang lu yang marah’.

Kata ‘mani’ yang berarti ‘sebab’ atau ‘karena’ juga tetap tidak berubah, sehingga kalimat ‘Mani nyak mak aga, ia butong-butong.” (Karena saya nggak mau, dia marah-marah) menjadi “Mani gua nggak mau, dia marah-marah.” Dalam percakapan sehari-hari, kalimat “Mani lulah ngia,” (yang dalam hal ini, bahasa Melayu-nya hanya dindikasikan dengan kata ‘lulah’, sedangkan sisanya tetap dalam bahasa Lampung, tetapi kalimat ini dipandang sebagai kalimat bahasa Melayu), sering kali diucapkan.

Awalan ‘se’ yang dalam bahasa Lampung berarti ‘me-, atau saling me-’ juga tetap dipertahankan. Kata berawalan se dalam bahasa Lampung, seperti ‘setunggaan’ (menemui, atau saling temu) menjadi ‘setemuan,’ ‘sekekuian’ (saling menggaruk) menjadi ‘segaruk’an,’ ‘sekuaghan’ (saling mencari kutu) menjadi ‘sekuaran,’ dan lain-lain.

Kata ‘sekenian’ (memberi, saling memberi) dengan mentah diterjemahkan menjadin ‘sekasihan,’ sehingga kalimat “Kik keti aga mena, sekenian pandai” (Kalau kalian mau (pergi) duluan, beri tahu saya (kami)) menjadi “Kalau keti mau duluan, sekasihan tahu.”

Partikel ‘pai’ (setara ‘dulu’ dalam bahasa Indonesia) juga masih digunakan dalam. Kalimat. Kalimat seperti “Udah dulu ….” Menjadi “Udahpai.”, “Kamu dulu …” menjadi “Lupai.”, “Berhenti dulu ….” Menjadi “Berhentipa.” Kalimat seperti “Adupai, nyak adu mebuya” (Sudah dulu, saya sudah lelah) menjadi “Udahpai, gu udah capek.)    

Bentuk intensifier seperti ‘hakni’ diubah menjadi ‘haknya’ karena ‘ni’ dalam bahasa Lampung menunjukkan kepemilikan untuk orang ke-tiga seperti ‘nya’ dalam bahasa Indinesia (misal, ‘bukuni’ dalam bahasa Lampung berarti ‘bukunya’ dalam bahasa Indonesia. Namun ‘ni’ dalam intensifier ‘hakni’ tidak berarti kepemilikan, tetapi tetap diartikan ‘nya’ seperti kepemilikan, sehingga frasa ‘mawek hakni’ (tidak mungkin) menjadi ‘nggak haknya’, atau ‘dipa hakni’ (manalah mungkin) menjadi ‘mana haknya’.

Kebiasaan orang Lampung menyebutkan angka bilangan di belakang kata ganti (mirip bahasa Indonesia) seperti ‘keti’ (kalian), ‘tian’ (mereka), dan ‘sekam’ (kami) untuk menunjukkan jumlah, juga tetap dipertahankan, namun, kalau dalam bahasa Indonesia kata bilangan itu diawali dengan ber- (berdua, bertiga, dsb), dalam bahasa Lampung tidak, sehingga frasa ‘kalian berdua’ menjadi ‘keti dua’, ‘kami berdua’ menjadi ‘sekam dua,’ ‘mereka berdua’ menjadi ‘tian dua’.

Kesimpulan: Pengubahan bahasa Lampung ke dalam bahasa Melayu dilakukan dengan tetap mempertahankan unsur-unsur seperti kata depan, partikel, dan intensifier, dan dengan mengubah bunyi ‘gh’ menjadi bunyi ‘r’. Kata-kata dalam bahasa Lampung yang sulit dicari padanannya dalam bahasa Melayu tetap dipakai dan dianggap sebagai bahasa Melayu. Uraian di atas hanyalah sebagian kecil dari gejala-gejala perubahan itu.

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger