(photo: Frank Hoensch / Getty Images) |
Kematiannya sekaligus
memupuskan harapan dari para penggemar Bee Gees yang sebelumnya berharap masih
ada sebuah keajaiban setelah sang penyanyi tersebut sempat terbangun dari koma
bulan lalu. Sebelum dia mendapatkan kesadarannya kembali itu, keluarganya
memberi tahu bahwa Robin hanya mempunyai harapan hidup 10 persen dan tampaknya
mereka dalam keadaan siap-siap menyambut kematiannya yang tidak lama lagi.
Meski para penggemar mereka sedang mengalami shock, namun para anggota keluarga
tentu merasa bersyukur mereka masih diberi kesempatan bersama Robin selama satu
bulan setelah kesadarannya tersebut.
Dan para penggemar musik disko
pun kini merasakan kematian mereka pada akhir pekan ini, seiring dengan
kematian salah satu vokal utama dari sebuah grup band yang telah 15 kali
memenangkan platinum untuk album soundtrack
Saturday Night Fever mereka menyusul kematian Donna Summer (juga penyanyi disko) yang hanya berselang
tiga hari.
Sebuah statement berbunyi: “Keluarga Robin Gibb, dari Bee Gees,
mengumumkan dengan duka yang mendalam bahwa Robin telah meninggal dunia hari
ini setelah berjuang keras melawan kanker dan bedah usus (intestinal surgery). Keluarga almarhum meminta agar privasi mereka
dihormati dalam menghadapi keadaan yang teramat sulit ini.”
Kematian Robin mengikuti
jejak kematian Maurice (salah satu anggota Bee Gees) dan Andy (penyanyi solo),
sehingga kini yang tinggal hanya Barry sebagai
satu-satunya yang masih hidup di antara keluarga Gibb Bersaudara. Bee
Gees sebelumnya telah berhenti sebagai sebuah grup pada tahun 2003, setelah
kematian Maurice, meski Barry mengumumkan pada tahun 2009 bahwa ada rencana
tentatif untuk tampil sebagai duo—sebuah reuni yang tidak pernah terwujud
karena Robin jatuh sakit serius pada tahun 2010.
Sebagian dari masalah
kesehatan Robin tampaknya mengingatkan kembali pada penyakit yang sebelumnya
diderita oleh Maurice—saudara kembarnya. Penyebab kematian Maurice Sembilan
tahun lalu adalah karena usus membelit (twisted
intestine). Robin pertama kali melakukan operasi pencernaan (gastro-intestinal surgery) emergensi
pada bulan Agustus 2010. Pada bulan Januari tahun ini, dia mengatakan bahwa dia
terdiagnosa menderita kanker usus besar (colon
cancer), yang telah menyebar ke liver—namun dia mengatakan bahwa “anehnya,
saya tidak pernah merasa seperti sakit serius.” Tapi dia telah melakukan bedah usus
lanjutan pada bulan Maret lalu. Dan kombinasi kemoterafi dan operasi
berulang-ulang yang dia jalani telah menyebabkan timbulnya deplesi (pelemahan)
semua arah (all-around depletion),
kata para dokter yang merawatnya.
Pada awal bulan Februari
lalu, Robin masih melakukan wawancara dan mengatakan bahwa laporan-laporan
mengenai kesehatannya banyak dilebih-lebihkan. “Saya didiagnosa mempunyai sebuah
kanker di usus besar saya,” katanya pada BBC. “kanker itu telah diangkat. Dan
saya dirawat oleh seorang dokter yang brillian, dan menurut mereka ‘hasilnya
spektakuler.” “Kanker tersebut, katanya, “hampir hilang dan saya merasa
fantastis. Mulai sekarang ini, saya merasa operasi tersebut benar-benar seperti
apa yang mereka gambarkan, sebagai
sebuah operasi ‘pembersihan’. Saya kini sangat aktif dan sense saya akan kesehatan sangat baik.”
Namun sedihnya, wawancara itu
tampaknya merupakan wawancara terakhir Robin dengan press. Para penggemarnya pertama
kali menyadari betapa seriusnya penyakit yang dideritanya ketika dia tidak
mampu mengikuti premiere dari karya
musik klasiknya, Titanic
Requiem, di
London, pada tnggal 10 April lalu. Beberapa hari setelah peluncuran karyanya
yang indah namun dalam situasi yang memilukan tersebut, anggota keluarganya
mengatakan bahwa dia telah terkena pneumonia dan ‘kini sedang berjuang untuk bertahan
hidup.”
Lalu, perjuangannya dalam
beberapa minggu terakhir ini dilaporkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan
adanya keajaiban. “Robin telah membingungkan para dokter yang merawatnya dengan
cara terbangun dari koma yang dia alami setelah mendapat serangan pneumonia,”
kata sebuah statement di website-nya. “Dia tetap dirawat secara
intensif namun sekarang berada dalam kesadaran penuh, mampu berbicara kepada
orang-orang yang dicintainya dan bisa bernafas sendiri dengan bantuan masker
oksigen.”
Istri Robin, Dwina mengatakan
pada sebuah surat kabar Irlandia bahwa keluarga mereka baru saja memainkan
musik untuk membantu memancing kesadaran suaminya—dan bahwa si penyanyi yang baru
tersadar tersebut telah menangis demi mendengar lagunya Roy Orbison “Crying.”
Dokternya, Andrew Thillainayagam, mengatakan pada press, “Itu adalah sebuah
bukti dari keinginannya luar biasa, tekadnya yang baja, dan cadangan kekuatan
fisiknya yang besar yang mana telah membuat dia mampu mengatasi segala kesulitan
yang besar hingga bisa bertahan pada keadaannya yang sekarang”—sambil mengingatkan
bahwa bahwa “jalan ke depan masih belum pasti.”
Dan jalan ke depan itu berakhir
pada hari Minggu kemarin, dengan meninggalkan Titanic Requiem sebagai requiem
yang tanpa dia sadari ternyata ditujukan bagi dirinya sendiri. Dia menulis lagu
klasik tersebut dengan bekerja sama dengan anak laki-lakinya, Robin-John, guna
mengenang 100 tahun tenggelamnya kapal Titanic, dengan mengabungkan vokal asli,
musik orkestra (orchestral themes), dan
disertai petikan dari liturgi misa
kematian dalam bahasa latin (Latin Mass for the Dead). Robin
bermaksud menyanyikan sebuah lagu dalam premiere
tersebut, namun akhirnya, “Don’t Cry Alone” ditampilkan melalui rekaman suara,
menurut sebuah ulasan four-star review
di London Telegraph.
Mungkin ini hanya masalah kebetulan,
bahwa lagu “Don’t cry Alone” merupakan lagu terakhir yang dia keluarkan sepanjang
usianya, karena, bagi kebanyakan orang, ketenarannya justru dimulai dengan
sebuah lagu sendu yang berjudul “I started
a Joke.”
Meski Barry yang bisa
bersuara falsetto adalah yang paling utama dan paling banyak diparodikan
belakangan ini (lihat impersonasi komik dari Justin Timberlake pada SNL), namun Robin
sering dianggap sebagai penyanyi utama yang tak resmi di masa-masa awal trio
tersebut pada akhir tahun 60-an, dan suara vibrato-nya yang lembutlah yang
pertama-tama dipandang sebagai ciri khas Bee Gees oleh para penggemarnya, bukan
saja melalui lagu “I started a Joke” tapi juga melalui lagu-lagu lainnya
seperti "I've Gotta Get a Message to You" dan "New York Mining
Disaster 1941."
Suara Robinlah yang pertama
kali membawa lagu Bee Gees menjadi no.1 di Inggris, yaitu lewat lagu
"Massachusetts," yang juga menduduki puncak tangga lagu di sebagian
besar belahan dunia (kecuali di AS, yang hanya menduduki tangga no 11.) Dia masih
berumur 17 tahun ketika itu, dan tentu saja, belum pernah pergi ke
Massachusetts kota yang dia nyanyikan dalam lagu tersebut.
Persaingannya dengan Barry
membuat Robin keluar dari Bee Gees dan berkarier sebagai penyanyi solo pada
tahun 1969, meski kemudian dia kembali ke Bee Gees lagi pada tahun 1971, dan
ambil bagian dalam lagu "How Can
You Mend a Broken Heart," yang merupakan single pertama mereka yang jadi
no.1 di AS. Namun kebangkitan mereka yang sebenarnya, terjadi pada tahun 1975
ketika, pada masa awal kemunculan lagu disko, mereka berhasil menduduki tangga
no. 1 dengan lagu mereka "Jive Talkin', "yang kemudian diikuti oleh
lagu dengan irama serupa "Nights on Broadway" dan"You Should Be
Dancing," yang menjadi template-nya
lagu-lagu Saturday Night Fever pada tahun 1978.
Fever menghidupkan kembali
lagu-lagu model “Jive” dan “Dancing” sekaligus
memperkenalkan lagu-lagu model disko standar yang instan macam
"Stayin' Alive," "Night Fever," "If I Can't Have
You," dan "More Than a Woman," plus sebuah lagu ballad yang lebih mengikuti aliran Bee Gees tradisional,
"How Deep is Your Love." Fever
merupakan sukses komersial mereka yang
terbesar, dan juga, dalam satu hal, kegagalan mereka, karena hanya sedikit
kritikus dan fans yang masih
mengingat lagu-lagu dari album-album awal mereka karena mereka tidak bisa lepas
dari bayang-bayang musik disko hingga musik disko memudar.
Tahun 80-an dan 90-an tidak
terlalu menguntungkan bagi grup pencipta lagu-lagu hit ini, meski angka
penjualan album mereka tetap baik di luar negeri dan mereka terus melakukan
konser. Sebagai bagian dari musik pop klasik abad ke-20, mereka melakukan
konser terakhir mereka pada malam pergantian millennium.
Para kritikus dan penggemar
yang ingin membela kejayaan Bee Gees sebelum era Travolta menunjukkan
album-album landmark mereka seperti
dobel-album Odessa tahun 1969—yang, tentu saja, tidak menghasilkan satupun single utama. Namun album-album mereka
yang lebih berciri R&B yang dirilis belakangan justru merupakan pembelaan
oleh mereka sendiri, meski ada kerinduan yang tak terhindari dari para penggemar
fanatiknya akan hari-hari di mana lagu-lagu mereka tidak mempunyai beat yang berarti kecuali desah suara
vibrato-nya Robin yang inheren. Sebagai penulis lagu utama, boleh jadi
Barry-lah yang pertama-tama start the
jokes (memulai lelucon ini), dan menangis, namun pada masa kejayaan awal
mereka, paling tidak, Robinlah yang menyelesaikan lelucon itu. (By Chris
Willman)
0 comments:
Post a Comment