Mengenang Robin Gibb


(photo: Frank Hoensch / Getty Images)
Apakah ada nama seorang penyanyi yang begitu profetik dan pas seperti nama Robin, salah seorang penyanyi pria yang terbesar dari jaman keemasan musik rock? Robin Gibb dari kelompok musik Bee Gees akhirnya menyerah setelah berjuang keras dan panjang melawan kanker pada hari Minggu kemarin, 20 April, 2012, menurut seorang juru bicara. Bintang The Rock & Roll Hall of Fame itu meninggal dunia pada usia 62 tahun.
Kematiannya sekaligus memupuskan harapan dari para penggemar Bee Gees yang sebelumnya berharap masih ada sebuah keajaiban setelah sang penyanyi tersebut sempat terbangun dari koma bulan lalu. Sebelum dia mendapatkan kesadarannya kembali itu, keluarganya memberi tahu bahwa Robin hanya mempunyai harapan hidup 10 persen dan tampaknya mereka dalam keadaan siap-siap menyambut kematiannya yang tidak lama lagi. Meski para penggemar mereka sedang mengalami shock, namun para anggota keluarga tentu merasa bersyukur mereka masih diberi kesempatan bersama Robin selama satu bulan setelah kesadarannya tersebut.
Dan para penggemar musik disko pun kini merasakan kematian mereka pada akhir pekan ini, seiring dengan kematian salah satu vokal utama dari sebuah grup band yang telah 15 kali memenangkan platinum untuk album soundtrack Saturday Night Fever mereka menyusul kematian Donna Summer  (juga penyanyi disko) yang hanya berselang tiga hari.
Sebuah statement berbunyi: “Keluarga Robin Gibb, dari Bee Gees, mengumumkan dengan duka yang mendalam bahwa Robin telah meninggal dunia hari ini setelah berjuang keras melawan kanker dan bedah usus (intestinal surgery). Keluarga almarhum meminta agar privasi mereka dihormati dalam menghadapi keadaan yang teramat sulit ini.”
Kematian Robin mengikuti jejak kematian Maurice (salah satu anggota Bee Gees) dan Andy (penyanyi solo), sehingga kini yang tinggal hanya Barry sebagai  satu-satunya yang masih hidup di antara keluarga Gibb Bersaudara. Bee Gees sebelumnya telah berhenti sebagai sebuah grup pada tahun 2003, setelah kematian Maurice, meski Barry mengumumkan pada tahun 2009 bahwa ada rencana tentatif untuk tampil sebagai duo—sebuah reuni yang tidak pernah terwujud karena Robin jatuh sakit serius pada tahun 2010.
Sebagian dari masalah kesehatan Robin tampaknya mengingatkan kembali pada penyakit yang sebelumnya diderita oleh Maurice—saudara kembarnya. Penyebab kematian Maurice Sembilan tahun lalu adalah karena usus membelit (twisted intestine). Robin pertama kali melakukan operasi pencernaan (gastro-intestinal surgery) emergensi pada bulan Agustus 2010. Pada bulan Januari tahun ini, dia mengatakan bahwa dia terdiagnosa menderita kanker usus besar (colon cancer), yang telah menyebar ke liver—namun dia mengatakan bahwa “anehnya, saya tidak pernah merasa seperti sakit serius.” Tapi dia telah melakukan bedah usus lanjutan pada bulan Maret lalu. Dan kombinasi kemoterafi dan operasi berulang-ulang yang dia jalani telah menyebabkan timbulnya deplesi (pelemahan) semua arah (all-around depletion), kata para dokter yang merawatnya.
Pada awal bulan Februari lalu, Robin masih melakukan wawancara dan mengatakan bahwa laporan-laporan mengenai kesehatannya banyak dilebih-lebihkan. “Saya didiagnosa mempunyai sebuah kanker di usus besar saya,” katanya pada BBC. “kanker itu telah diangkat. Dan saya dirawat oleh seorang dokter yang brillian, dan menurut mereka ‘hasilnya spektakuler.” “Kanker tersebut, katanya, “hampir hilang dan saya merasa fantastis. Mulai sekarang ini, saya merasa operasi tersebut benar-benar seperti  apa yang mereka gambarkan, sebagai sebuah operasi ‘pembersihan’. Saya kini sangat aktif dan sense saya akan kesehatan sangat baik.”
Namun sedihnya, wawancara itu tampaknya merupakan wawancara terakhir Robin dengan press. Para penggemarnya pertama kali menyadari betapa seriusnya penyakit yang dideritanya ketika dia tidak mampu mengikuti premiere dari karya musik klasiknya, Titanic Requiem, di London, pada tnggal 10 April lalu. Beberapa hari setelah peluncuran karyanya yang indah namun dalam situasi yang memilukan tersebut, anggota keluarganya mengatakan bahwa dia telah terkena pneumonia dan ‘kini sedang berjuang untuk bertahan hidup.”
Lalu, perjuangannya dalam beberapa minggu terakhir ini dilaporkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan adanya keajaiban. “Robin telah membingungkan para dokter yang merawatnya dengan cara terbangun dari koma yang dia alami setelah mendapat serangan pneumonia,” kata sebuah statement di website-nya. “Dia tetap dirawat secara intensif namun sekarang berada dalam kesadaran penuh, mampu berbicara kepada orang-orang yang dicintainya dan bisa bernafas sendiri dengan bantuan masker oksigen.”
Istri Robin, Dwina mengatakan pada sebuah surat kabar Irlandia bahwa keluarga mereka baru saja memainkan musik untuk membantu memancing kesadaran suaminya—dan bahwa si penyanyi yang baru tersadar tersebut telah menangis demi mendengar lagunya Roy Orbison “Crying.” Dokternya, Andrew Thillainayagam, mengatakan pada press, “Itu adalah sebuah bukti dari keinginannya luar biasa, tekadnya yang baja, dan cadangan kekuatan fisiknya yang besar yang mana telah membuat dia mampu mengatasi segala kesulitan yang besar hingga bisa bertahan pada keadaannya yang sekarang”—sambil mengingatkan bahwa bahwa “jalan ke depan masih belum pasti.”
Dan jalan ke depan itu berakhir pada hari Minggu kemarin, dengan meninggalkan Titanic Requiem sebagai requiem yang tanpa dia sadari ternyata ditujukan bagi dirinya sendiri. Dia menulis lagu klasik tersebut dengan bekerja sama dengan anak laki-lakinya, Robin-John, guna mengenang 100 tahun tenggelamnya kapal Titanic, dengan mengabungkan vokal asli, musik orkestra (orchestral themes), dan disertai  petikan dari liturgi misa kematian dalam bahasa latin  (Latin Mass for the Dead). Robin bermaksud menyanyikan sebuah lagu dalam premiere tersebut, namun akhirnya, “Don’t Cry Alone” ditampilkan melalui rekaman suara, menurut sebuah ulasan four-star review di London Telegraph.
Mungkin ini hanya masalah kebetulan, bahwa lagu “Don’t cry Alone” merupakan lagu terakhir yang dia keluarkan sepanjang usianya, karena, bagi kebanyakan orang, ketenarannya justru dimulai dengan sebuah lagu sendu yang berjudul  “I started a Joke.”

Meski Barry yang bisa bersuara falsetto adalah yang paling utama dan paling banyak diparodikan belakangan ini (lihat impersonasi komik  dari Justin Timberlake pada SNL), namun Robin sering dianggap sebagai penyanyi utama yang tak resmi di masa-masa awal trio tersebut pada akhir tahun 60-an, dan suara vibrato-nya yang lembutlah yang pertama-tama dipandang sebagai ciri khas Bee Gees oleh para penggemarnya, bukan saja melalui lagu “I started a Joke” tapi juga melalui lagu-lagu lainnya seperti "I've Gotta Get a Message to You" dan "New York Mining Disaster 1941."
Suara Robinlah yang pertama kali membawa lagu Bee Gees menjadi no.1 di Inggris, yaitu lewat lagu "Massachusetts," yang juga menduduki puncak tangga lagu di sebagian besar belahan dunia (kecuali di AS, yang hanya menduduki tangga no 11.) Dia masih berumur 17 tahun ketika itu, dan tentu saja, belum pernah pergi ke Massachusetts kota yang dia nyanyikan dalam lagu tersebut.
Persaingannya dengan Barry membuat Robin keluar dari Bee Gees dan berkarier sebagai penyanyi solo pada tahun 1969, meski kemudian dia kembali ke Bee Gees lagi pada tahun 1971, dan ambil bagian dalam lagu  "How Can You Mend a Broken Heart," yang merupakan single pertama mereka yang jadi no.1 di AS. Namun kebangkitan mereka yang sebenarnya, terjadi pada tahun 1975 ketika, pada masa awal kemunculan lagu disko, mereka berhasil menduduki tangga no. 1 dengan lagu mereka "Jive Talkin', "yang kemudian diikuti oleh lagu dengan irama serupa "Nights on Broadway" dan"You Should Be Dancing," yang menjadi template-nya lagu-lagu  Saturday Night Fever pada tahun 1978.
Fever menghidupkan kembali lagu-lagu model “Jive” dan “Dancing” sekaligus  memperkenalkan lagu-lagu model disko standar yang instan macam "Stayin' Alive," "Night Fever," "If I Can't Have You," dan "More Than a Woman," plus sebuah lagu ballad  yang lebih mengikuti aliran Bee Gees tradisional, "How Deep is Your Love." Fever  merupakan sukses komersial mereka yang terbesar, dan juga, dalam satu hal, kegagalan mereka, karena hanya sedikit kritikus dan fans yang masih mengingat lagu-lagu dari album-album awal mereka karena mereka tidak bisa lepas dari bayang-bayang musik disko hingga musik disko memudar.
Tahun 80-an dan 90-an tidak terlalu menguntungkan bagi grup pencipta lagu-lagu hit ini, meski angka penjualan album mereka tetap baik di luar negeri dan mereka terus melakukan konser. Sebagai bagian dari musik pop klasik abad ke-20, mereka melakukan konser terakhir mereka pada malam pergantian millennium.
Para kritikus dan penggemar yang ingin membela kejayaan Bee Gees sebelum era Travolta menunjukkan album-album landmark mereka seperti dobel-album Odessa tahun 1969—yang, tentu saja, tidak menghasilkan satupun single utama. Namun album-album mereka yang lebih berciri R&B yang dirilis belakangan justru merupakan pembelaan oleh mereka sendiri, meski ada kerinduan yang tak terhindari dari para penggemar fanatiknya akan hari-hari di mana lagu-lagu mereka tidak mempunyai beat yang berarti kecuali desah suara vibrato-nya Robin yang inheren. Sebagai penulis lagu utama, boleh jadi Barry-lah yang pertama-tama start the jokes (memulai lelucon ini), dan menangis, namun pada masa kejayaan awal mereka, paling tidak, Robinlah yang menyelesaikan lelucon itu. (By Chris Willman)

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger