Guru Honorer Pantaskah Mengeluh?

Setiap kali mendengar tentang guru honorer menuntut, guru honorer melakukan demo, guru honorer merasa dianaktirikan, dan menganggap pemerintah telah memperlakukan mereka secara  tidak adil, sisi jahat dalam diri saya berkata, emangnya siapa yang suruh Anda jadi guru honorer. Anda jadi guru honorer kan karena kemauan Anda sendiri, tidak ada paksaan. Waktu melamar pekerjaan sebagai guru honorer di sekolah, Anda kan sudah tahu konsekuensi yang akan Anda dapat. Anda melamar pekerjaan tersebut karena Anda membutuhkannya, Tidak ada perjanjian tentang gaji dan tunjangan gaji di sana. Dan kalau ada perjanjian tentang gaji, maka itulah rejeki Anda. Anda tak berhak menyamakannya dengan yang didapat guru PNS.

Kalau Anda dipanggil oleh pihak sekolah untuk menjadi guru, bukannya melamar, kenapa Anda tidak menuntut bayaran yang layak, apalagi kalau di waktu itu Anda sedang memiliki pekerjaan lain yang gajinya lebih besar.

Tapi, di sisi lain, di sisi baik dalam diriku, memaklumi. Betapa kecilnya pendapatan guru honorer dibandingkan dengan guru PNS, karyawan swasta. Guru honorer, kecuali guru tetap yayasan, umumnya mendapat gaji di bawah UMR, sedangkan beban kerja dan kompetensi yang mereka miliki tidak kalah dengan guru PNS. Wajar kalau mereka mengeluh.

Tapi yang saya sayangkan adalah betapa demo-demo, tuntutan-tuntutan tersebut telah disertai dengan jargon-jargon politis, seperti perasaan dianaktirikan, diperlakukan tidak adil, dan yang lebih keras, dizalimi, yang terkesan mengadili pemerintah, dan bahkan mengarah pada tuntutan ganti presiden.

Ini penting dikemukakan untuk menghindari fitnah atau atau dugaan bahwa demo-demo guru itu ditunggangi.

Duh, adil tidak adil itu kan ada normanya sendiri. Anda tidak bisa mengatakan tidak adil jika gaji guru PNS lebih besar dari guru honorer sedangkan beban kerja mereka sama. Juga jika guru PNS dapat THR dan gaji ke-13 sedangkan guru honorer tidak, atau mendapat THR tapi jumlahnya lebih kecil. Guru PNS memegang SK yang memuat jumlah gaji, yang dinaikkan secara berkala setiap dua tahun sekali, di samping kenaikan menurut jenjang kepangkatan dan golongan, dari pemerintah, sedangkan guru honorer tidak, terutama guru honorer yang diangkat oleh kepala sekolah. SK guru honorer yang diangkat oleh sekolah biasanya tidak memuat jumlah gaji.

Jadi kalau guru honorer merasa diperlakukan tidak adil, hal itu tidak ada dasarnya. Pemerintah tidak mungkin memberi pendapatan guru honorer sama dengan guru PNS.

Dalam hal ini, saya bukannya tidak bersimpati pada guru honorer, tapi begitulah logika yang semestinya. 

Saya sendiri pernah menjadi guru honorer, selama 5 tahun, sebelum saya diangkat jadi PNS pada tahun 1999, melalui test, bukan diangkat secara gratis. Waktu itu pendapatan saya, dan guru honorer lainnya kurang dari Rp.200.000, tapi kami tidak pernah mengeluh, apalagi menuntut pendapatan lebih pada pemerintah, atau menuntut diangkat jadi PNS.

Guru honorer sekarang sebenarnya enak. Perhatian pemerintah terhadap mereka kian hari kian besar. Di beberapa provinsi ada yang mendapat tunjangan setiap bulan dari pemerintah, meski jumlahnya kecil. Ada pula yang terikat kontrak dengan pemerintah, dengan gaji yang cukup besar. Kini mereka bahkan diberi kesempatan mengikuti sertifikasi guru, sama dengan guru PNS. Dulu, di tahun 90-an ke bawah, hal sepert itu tidak ada.

Tulisan ini tak hendak mengecam guru honorer, sama sekali tidak, karena saya juga pernah menjadi guru honorer, melainkan hanya ingin mengingatkan konsekuensi dari langkah yang telah mereka ambil. Sekali mereka memutuskan menjadi guru honorer, maka mereka harus siap menanggung resikonya, apapun itu, bukannya mengeluh berkepanjangan, karena itu merupakan kemauan mereka sendiri.

Tabik pun.

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger