COBA amati di sekitar Anda; tetangga-tetangga Anda, atau lingkungan sekitar tempat kerja Anda, atau tempat-tempat di mana saja yang memungkinkan Anda amati. Ada berapa banyak anak usia 0-10 tahun yang memiliki nama-nama seperti nama-nama yang berbau “Islam” seperti “Muzakki”, “Zikrullah”, “Ibnu”, “Abdullah”, “Rajalulhaq”, “Latif” atau nama-nama profetik seperti “Ismail”, “Musa”, “Yahya” atau nama-nama “khas” Indonesia seperti “Samsudin”, “Budiman”, “Rodiah”, “Rokayah”, “Saniah”, “Habibah” atau nama-nama dengan bau etnis yang kental seperti “Poniran”, “Ponimin”, “Juminten”, “Karnikem”, “Ponidi”, dll. Jumlahnya pasti sedikit sekali. Kalah jauh dibandingkan dengan nama-nama “ngetop” yang berbau “Barat” seperti “David”, “Steve”, “Alex”, “Laura”, “Tio”, “Marcel”, dll.
Begitulah keadaan sebagian masyarakat kita sekarang. Nama-nama “tradisonal” sudah dianggap ketinggalan jaman; berganti menjadi nama-nama “modern” khas pemain sinetron. Kalau anak yang baru lahir diberi nama “tradisional”, orang tuanya dianggap ketinggalan jaman, dan kalau diberi nama “modern”, keluarganya akan menjadi “modern” pula. Di pihak lain, sang anak pun bangga dengan nama “modern”-nya dan malu jika menyandang nama yang “tradisonal”. Berada di tengah-tengah lingkungan yang seperti ini, kita seperti berada di negeri asing.
Oleh sebagian orang, nama-nama “tradisional” dianggap bertentangan dengan kemajuan jaman. Padahal, di negara-negara yang lebih maju dari kita, orang-orangnya tetap menggunakan nama-nama “tradisional” mereka. Di negara-negara maju, penduduknya masih tetap menggunakan nama-nama yang sama dengan nama-nama nenek moyang mereka dahulu. Lalu, apakah dengan mengimpor nama-nama dari negara maju (seperti nama-nama “Barat”) akan membuat negara kita “maju” pula?. Pandangan ini tampaknya keliru.
Konon, nama memberikan sugesti pada yang menyandangnya. Orang jaman dulu yang beragama Islam mengambil nama-nama dari Al Qur’an untuk anaknya, dengan harapan nama itu akan memberi sugesti baik untuk yang yang bersangkutan. Orang-orang terpelajar memberi nama anaknya dengan mengambil dari berbagai sumber dan bahasa. Seniman memberi nama anaknya seperti membuat puisi.
Konon, juga, nama menunjukkan kedudukan sosial keluarga; ada nama-nama khusus bagi kaum bangsawan, dan ada nama-nama khusus bagi rakyat jelata. Dahulu, kebanyakan orang percaya nama harus disesuaikan dengan status sosial. Nama yang tidak cocok dengan status sosial orang yang menyandangnya akan membawa dampak buruk bagi perkembangan orang yang bersangkutan, sehingga, banyak orang tua yang memilih mengganti nama anaknya jika si anak terus menerus mengalami penyakit yang tak kunjung sembuh; nama anak itu dipandang tidak cocok dengan status sosial mereka, sehingga, menimbulkan penyakit. Dan, konon, pula, nama menunjukkan tingkat perkembangan jiwa; sebagian masyarakat etnis tertentu mengganti namanya dari nama kecil menjadi nama dewasa ketika mereka beranjak dewasa.
Di samping itu, nama adalah juga identitas religi dan etnik seseorang. Orang Batak memiliki nama-nama marga yang khas, yang tidak boleh digunakan oleh orang yang bukan Batak. Orang Islam menggunakan nama-nama khas Islam; orang Kristen begitu juga. Nama-nama Ketut, Wayan, Putu, seharusnya hanya digunakan oleh orang Bali. Nama-nama berakhiran “o” seperti “Sukarno”, “Suharto”, “Sujarwo” identik dengan orang Jawa.
Tapi, kini, sebagian orang tidak lagi percaya nama memberi sugesti, atau merupakan identitas religi atau etnik, atau tidak peduli akan hal itu. Di Lampung Barat (mungkin juga di daerah lain), ada orang tua yang memberi nama belakang anaknya dengan nama marga orang Batak, padahal, mereka bukan orang Batak. Ada juga yang memberi nama anaknya dengan nama yang seharusnya menjadi identitas orang Kristen, padahal, mereka Islam.
Serbuan budaya luar yang tak terbendung, ditambah dengan kaum selebriti kita yang tidak memberi contoh yang baik, membuat orang tidak percaya lagi mitos mengenai nama. Sudah saatnya beralih dari mitos, this is the age of reason, kata mereka. Maka timbullah nama-nama “Barat” untuk orang Indonesia seperti yang disebutkan di atas.Tindakan mengambil nama-nama "Barat" untuk digunakan oleh orang Indonesia seperti ini adalah sebuah ironi di tengah-tengah kegusaran kita ketika identitas kita "dicuri" oleh negara tetangga, sementara, kita sendiri "mencuri" identitas negara lain.
Orang Indonesia, tampaknya, tidak pede dengan akar budayanya, maka mereka meniru-niru apa saja yang datang dari “Barat”. Hal ini dipelopori oleh kaum selebriti yang secara sengaja mengubah nama mereka begitu mereka terjun ke dunia selebriti, karena pertimbangan “komersial”; nama mereka kurang “menjual” dan tidak “cocok” untuk dunia showbiz. Maka timbullah nama-nama eksotis dan “keren” yang berorientasi “Barat” atau luar negeri. Hal ini sungguh sangat disayangkan; mengapa kita tercerabut dari akar budaya kita sendiri hanya karena orientasi komersial yang semu. Semu, karena belum tentu nama-nama eksotis dan “keren” itu benar-benar sebagai pembawa keuntungan komersial, dan semu, karena hal ini dipercaya begitu saja tanpa nalar yang masuk akal.
Tengoklah Malaysia. Mereka bersikukuh mempertahankan akar budaya mereka. Nama Siti Nurhaliza tetap Siti Nurhaliza meski dia sudah menjadi artis besar. Dan, dengan tetap menyandang nama Siti Nurhaliza dia mampu meraih sukses komersial yang luar biasa. Nama-nama seperti “Zainal”, “Zakaria”, “Said” tetap dipertahankan oleh orang Malaysia meskipun mereka sudah menjadi artis.
Orang asing (luar negeri) akan respek kepada kita apabila kita tetap mempertahankan akar budaya kita. Mereka tidak akan menghargai kita jika kita terus-menerus meniru; mereka hanya akan memandang kita sebagai bangsa peniru; ini sungguh memalukan. Selama ini kita sudah cukup banyak meniru budaya asing; musik; pop, hiphop, rap, jazz; film; film kita banyak bergaya Hollywood, cara berpakaian (fashion); you can see, tank top, mini skirts, jeans. Belumkah cukup sehingga nama pun harus kita tiru?
Indonesia diberkahi dengan keberagaman etnik, agama, budaya, dan adat istiadat, yang masing-masing mempunyai ciri khas; salah satu ciri khas ini tercermin dari nama. Inilah yang membuat negeri kita unik jika dibandingkan dengan negeri luar. Orang luar negeri memandang orang Indonesia dari persfektif keberagaman ini. Sebagian orang luar negeri berkunjung ke Indonesia karena tertarik dengan keberagaman ini. Sebagian lagi, bahkan, tertarik mempelajarinya. Ketika mereka menginjakkan kakinya di bumi Indonesia, mereka berharap memperkaya pengetahuan mereka tentang keberagaman ini. Dan, jika ini mereka temukan, mereka akan merasakan manfaat sebuah kunjungan yang lebih dari sekadar wisata. Apa jadinya jika yang mereka temui adalah “David”, “Steve”, “Michael”, “Laura”, dll.
Ketika pertama kali kita bertegur sapa dengan orang asing, yang mereka tanya pertama kali adalah nama kita. Nama yang “tradisional” akan memberi kesan tentang ketinggian integritas kita terhadap akar budaya kita, dan akan menimbulkan respek yang mendalam dari mereka. Sebaliknya, nama “modern” yang sama dengan nama mereka akan menimbulkan kesan betapa rendahnya integritas kita terhadap akar budaya kita sendiri, dan ini akan menimbulkan respek yang dangkal dari mereka.
Mungkin benar, nama tidak memberi sugesti apa-apa pada orang yang menyandangnya. Tapi, sebaiknya, nama harus tetap dipertahankan sebagai identitas etnik dan religi. Memberi nama anak dengan tidak mempertimbangkan latar belakang etnik dan religi, berarti mengajari anak untuk tidak menghargai akar budayanya .
***
0 comments:
Post a Comment