“Menjinakkan” Siswa

DALAM sebuah diklat guru , seorang peserta mengeluh betapa sulit dan tidak mungkinnya menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di sekolahnya, mengingat kondisi kesiapan murid mereka yang masih jauh dari cukup. “Terus terang, di sekolah kami KBK belum memungkinkan untuk diterapkan karena kami baru sampai pada tahap ‘menjinakkan murid’,” begitu kata rekan guru tersebut dengan gamblang. Tutor yang mendengar keluhan ini menanggapi, “Jangan-jangan gurunya juga perlu dijinakkan.”

Entah guru atau siswa yang perlu dijinakkan, yang jelas, apa yang dikatakan rekan guru dari Lampung Timur tersebut—meski terlalu ekstrim—adalah benar dan berlaku di beberapa sekolah—betapa kesiapan siswa adalah sebuah faktor dalam keberhasilan pendidikan. Di beberapa sekolah—khususnya di wilayah pelosok, kegiatan “menjinakkan siswa” adalah porsi terbesar dari pekerjaan guru; guru terpaksa mengalokasikan waktu untuk marah-marah dalam RPP-nya, karena, kalau tidak, maka guru bisa kebablasan menggunakan waktu sepenuhnya untuk marah-marah. Dan hal ini berlangsung terus menerus, sehingga alokasi waktu yang ada dalam kurikulum tidak akan pernah tercapai, pun tujuan kurikulum itu sendiri. Sayang, hal ini seperti tidak pernah terpikirkan oleh mereka yang merancang kurikulum; kurikulum saat ini dirancang berdasarkan asumsi bahwa semua siswa siap belajar—seperti pada sekolah-sekolah unggulan—dengan standar nasional; berlaku sama untuk seluruh Indonesia. Kenyataannya, tidak semua siswa siap belajar.

Kurikulum saat ini tidak pernah berpikir bahwa, nun di sana, ada siswa yang bangun tidur pukul tujuh tigapuluh pagi sedangkan dia harus menempuh jarak puluhan kilometer dengan kendaraan umum, bahwa ada pula siswa yang hanya berangkat sekolah seminggu sekali, bahwa ada siswa yang menulis surat ijin tidak masuk sekolah dari meja biliar, bahwa ada siswa yang tidak bisa bertahan di dalam kelas sampai pukul duabelas siang, bahwa ada siswa tidak punya apa-apa selain sebuah buku tulis kumal yang diselipkan di saku celana, bahwa ada siswa yang nyambi jadi maling, bahwa ada siswa yang selalu mencar-cari alasan untuk meninggalkan pelajaran, bahwa ada siswa yang bersorak gembira jika gurunya sakit, dan lain-lain. Mungkin perancang kurikulum berpendapat bahwa adalah tugas pendidik (guru) untuk membuat siswa siap belajar. Tapi jangan lupa, ada pula siswa yang tidak mempan dinasehati, tidak jera dimarahi, dan tidak mengerti diajari. Siswa seperti ini selamanya tidak akan pernah siap belajar. Siswa seperti ini, di beberapa sekolah, jumlahnya tidak sedikit.

***

PAIKEM

PAIKEM adalah sebuah model pembelajaran; sebuah pendekatan dalam KBM—sebuah filosofi—yang diharapkan dapat menunjang pencapaian kompetensi individual sesuai dengan tujuan kurikulum saat ini. PAIKEM adalah singkatan dari pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Konon, untuk mencapai kompetensi individual menurut kurikulum, KBM haruslah berpendekatan seperti itu.

Adapun ciri-ciri KBM yang menunjang pencapaian kompetensi individual adalah: a) Pembalikan Makna Belajar; Kegiatan mengajar bukanlah transfer informasi dari guru ke siswa melainkan sebuah proses membangun makna/pemahaman terhadap informasi dan/atau pengalaman. Dengan demikian fungsi guru dalam KBM adalah membantu siswa dalam membangun pemahaman, misalnya dengan bertanya secara kritis, meminta kejelasan, atau menyajikan situasi yang mendorong siswa untuk memperbaiki pemahamannya.

b) Berpusat Pada Siswa; Siswa memiliki perbedaan satu sama lain. Oleh karena itu kegiatan pembelajaran , organisasi kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, dan cara penilaian perlu beragam sesuai dengan karakteristik siswa.

c) Belajar dengan Mengalami; KBM perlu menyediakan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari dan atau dengan dunia kerja yang terkait dengan penerapan konsep, kaidah dan prinsip ilmu yang dipelajari.

d) Mengembangkan Keterampilan Sosial, Kognitif, dan Emosional; Membangun pemahaman akan lebih mudah melalui interaksi dengan lingkungan sosial siswa yang bersangkutan. Interaksi dapat dilakukan melalui diskusi, saling bertanya, dan saling menjelaskan baik sesama siswa melalui kelompok maupun dengan guru.

e) Mengembangkan Keingintahuan, Imajinasi, dan Fitrah Ber-Tuhan; KBM perlu mempertimbangkan rasa ingin tahu, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan yang ada pada diri setiap siswa agar setiap sesi kegiatan pembelajaran menjadi wahana untuk memberdayakan ketiga jenis potensi ini.

f) Belajar sepanjang Hayat; KBM perlu membekali siswa dengan kemampuan belajar, yang meliputi pengembangan rasa percaya diri, keingintahuan, kemampuan memahami orang lain, kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama supaya mendorong dirinya untuk senantiasa belajar, baik secara formal di sekolah maupun secara informal di luar kelas.

g) Perpaduan Kemandirian dan Kerjasama; siswa perlu berkompetisi, bekerjasama, dan mengembangkan solidaritasnya. KBM perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan semangat berkompetisi sehat untuk memperoleh penghargaan, bekerjasama, dan solidaritas. KBM perlu menyediakan tugas-tugas yang memungkinkan siswa bekerja secara mandiri.

Ciri-ciri KBM yang seperti di atas adalah sangat ideal untuk mencapai kompetensi individual. Tetapi jika dikaitkan dengan kondisi kesiapan siswa, KBM seperti ini adalah seperti sebuah utopia dalam dunia politik. KBM seperti ini tidak mencoba berdamai dengan siswa yang tidak siap belajar. KBM seperti ini terlalu banyak berasumsi bahwa semua siswa adalah subjek belajar yang ideal. KBM seperti ini sangat menekankan kata “aktif”, sedangkan kenyataan, banyak siswa yang tidak memahami arti kata “aktif” mengingat budaya belajar yang sudah tertanam di benak mereka sejak dini tidak mengenal kata “aktif”.

Mungkin PAIKEM diciptakan sebagai upaya berdamai dengan siswa yang tidak siap belajar mengingat ada kata “menyenangkan” di dalamnya—siswa yang tidak siap belajar sangat menyukai kata ini. Tetapi “menyenangkan” adalah relatif. Menyenangkan bagi seseorang belum tentu menyenangkan bagi orang lain. Menyenangkan bagi siswa yang siap belajar belum tentu menyenangkan bagi siswa yang tidak siap belajar. Taruhlah guru bisa merancang KBM yang menyenangkan baik bagi siswa yang siap belajar maupun siswa yang tidak siap belajar sehingga siswa yang tidak siap belajar tertarik masuk kelas. Tetapi, selain hal itu sangat sulit dilakukan, rancangan KBM seperti ini pasti akan mengabaikan unsur-unsur yang lain seperti, “aktif”, “inovatif”, “kreatif”, dan “efektif”—kalaupun unsur-unsur itu tetap ada, paling-paling menurut penafsiran siswa itu sendiri. Kalau demikian, maka KBM berubah menjadi sarana untuk bersenang-senang, sedangkan kompetensi individual tidak akan tercapai. Lalu bagaimana pendekatan untuk siswa yang tidak siap belajar? Disamping “PAIKEM”, mungkin perlu ada ”PAIKEMS”—Pengajaran “Aktif”,”Inovatif”, “Kreatif”,”Efektif”,dan”Menjinakkan Siswa”.

Sumber PAIKEM: Model Pembelajaran PAIKEM, Agus Suyatna, Universitas Lampung, 2008

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger