Si Jantan Putih, Si Belang, dan 'Survival of The Fittest'

Kucing jantan putih itu terluka lagi, di belakang lehernya. Padahal lukanya yang kemarin belum lagi sembuh. Kini sudah ada luka baru lagi, di tempat yang nyaris sama, berdekatan. Ini pasti perbuatan si belang itu lagi, pikirku. Selama ini si belang itulah yang sering terlihat berkelahi dengan si jantan putih ini, mentang-mentang badannya lebih besar. Karena kasihan, saya sering mengobati lukanya dengan solusi antiseptik.

Si Jantan Putih/ dok. pribadi
Si Jantan Putih/ dok. pribadi
Sesama kucing memang tidak harmonis. Setiap hari pasti ribut. Pepatah ‘seperti anjing dan kucing’ yang sering digunakan untuk merujuk pada orang yang tidak pernah akur, rasanya kurang tepat, karena saya tidak pernah melihat anjing ribut dengan kucing—mungkin karena anjing malu hati, takut dikatakan ‘beraninya sama yang kecil’—tapi kalau kucing sama kucing, hampir setiap hari.

Entah apa yang mereka ributkan. Menurut pengamatan saya, tidak ada sebab pasti mengapa kucing-kucing jantan itu berkelahi, setiap kali bertemu; berebut makanan, atau perempuan, misalnya. Dan sering kali perkelahian itu menyebabkan salah satunya luka-luka, seperti si jantan putih ini. Si jantan putih ini memang takluk di hadapan si belang yang badannya lebih besar dan tegap, makanya dia sering luka, sedangkan si belang tetap mulus, tanpa luka sedikit pun.

Kasihan si jantan putih itu. Dia selalu ketakutan setiap kali berjumpa si belang. Jika melihat si belang, dia
Si Belang/ dok. pribadi
Si Belang/ dok. pribadi
bersembunyi. Dia selalu kalah bersaing—dengan kekuatan tenaga—dengan si belang. Dia nggakkebagian makan gara-gara si belang. Dia juganggak pernah kebagian perempuan gara-gara si belang itu. Dia, mungkin, harus menahan libidonya, dalam hal ini. Wajahnya selalu tampak kusut, akibat menahan nafsu, mungkin. Dalam hal seperti ini, tentu, saya tidak bisa membantu. Dari sorot matanya, jelas dia menaruh dendam pada si belang

Untuk melampiaskan kekesalannya, dia sering menyerang si jantan hitam yang badannya lebih kecil, sehingga si hitam pun terluka.

Di antara kucing-kucing lain yang sering bertandang ke rumahku, si jantan putih ini adalah kucing yang paling jinak, dan pandai membawa diri. Beda dengan kucing-kucing lain yang selalu lari sembunyi setiap melihat manusia, si jantan putih ini cuek saja. Kalau orang sedang makan, dia selalu mendekat, minta bagian. Bahkan, kalau dia lapar, dia mengeong-ngeong sendiri di dapur. Selain si jantan putih ini, tidak ada kucing yang berani mengeong-ngeong minta makan.

Si Jantan Hitam/ dok. pribadi
Si Jantan Hitam/ dok. pribadi
Si belang yang mukanya selalu cemberut itu menjadi raja di raja di kalangan kucing di sekitar rumahku. Setiap berjumpa si putih, surainya naik, siap menerkam, mengerikan, bahkan untuk menusia sekali pun. Cakarnya yang tajam seperti jenawi yang siap merobek-robek apa pun yang diserangnya. Kalau sudah demikian, si putih jadi ciut ketakutan, terdesak, mengerang, seperti minta dikasihani. Kalau saya ada, saya pasti mengusir si belang itu. Sayang, saya jarang memergoki mereka berhadap-hadapan seperti itu, makanya luka si putih selalu bertambah, dan bertambah.

Beruntung kita dilahirkan sebagai manusia, yang tatanan kehidupannya lebih beradab. Bayangkan bila kita harus berkelahi setiap hari, misalnya, sampai luka-luka lagi.

Mungkin kita harus berterima kasih pada mereka yang telah menciptakan hukum dan sistem, sehingga tatanan kehidupan kita relatif lebih baik, lebih beradab, lebih nyaman, daripada binatang.

Bayangkan jika kita harus hidup seperti binatang, di mana kekerasan menjadi menu sehari-hari. Dalam kondisi seperti ini hanya yang terkuat secara fisik yang bisa bertahan. Sedangkan yang lemah fisik, harus nrimo, menjalani kehidupan sehari-harinya dengan tertekan, menderita, dan stres, dan tidak bahagia.

Namun benarkah kita tidak seperti binatang. Benarkah tidak hanya manusia yang terkuat secara fisik yang bisa bertahan.

Survival of The Fittest

Survival of the fittest adalah sebuah istilah yang sering kali digunakan dalam konteks yang berbeda dari yang dimaksudkan oleh dua orang penemunya: ilmuwan polymath Inggris Herbert Spencer (yang menemukan istilah ini) dan Charles Darwin.

Herbert Spencer pertama kali menggunakan istilah ini—setelah membaca karya Darwin On the Origin of Species—dalam bukunya Principles of Biology (1864), di mana dia (Spencer) mensejajarkan antara teori-teori ekonomi miliknya dengan teori-teori biologi milik Darwin. Dalam bukunya, Spencer menulis, “Istilah survival of the fittest yang saya coba ekspresikan di sini adalah istilah mekanis untuk apa yang disebut Darwin natural selection, atau kemenangan dalam mempertahankan hidup berpihak pada ras-ras yang lebih mampu menyesuaikan diri. (Wikipedia)

Jaya Suprana dalam tulisannya “Survival of The Fittest” (Kompas, 27 Desember 2008), menyatakan, makna istilah kata fit yang digunakan Spencer sebenarnya bukan dalam makna bugar, perkasa, kuat, atau superior secara ragawi, tetapi fit dalam makna be the right size, be appropriate, be compatible alias serasi, selaras, sesuai, cocok, pas.

Spencer tidak keliru menafsirkan teori evolusi Darwin berkat sadar bahwa mahluk yang mampu bertahan hidup bukan yang paling kuat ragawinya, melainkan yang paling mampu menyelaraskan diri dengan lingkungan hidupnya. Secara empiris memang terbukti mahluk hidup yang paling mampu berjaya bertahan hidup bukan yang paling kuat atau ganas secara ragawi, seperti Tyrannosaurus rex atau Velociraptor, tetapi yang paling mampu lentur menyesuaikan, menyelaraskan, dan menyerasikan diri dengan perubahan lingkungan hidupnya, seperti kecoak dan berbagai jenis bakteri yang terkesan relatif tidak perkasa. (Jaya Sprana, Kompas, 27 Desember 2008)


Namun, kenyataan sehari-hari yang kita temui, menunjukkan bahwa makhluk yang paling kuat ragawinya lebih mampu bertahan hidup daripada yang lemah, bahkan makhluk yang lebih kuat mematikan yang lemah. Dalam kasus si jantan putih di atas, terbukti betapa makhluk yang lebih kuat ragawinya yang akan bertahan hidup, sedangkan yang lemah, seperti si jantan putih akan mati—jika luka-lukanya menimbulkan infeksi, misalnya.

Saya kira, pada manusia, istilah survival of the fittest justru lebih merujuk pada keunggulan fisik ragawi. Sejarah membuktikan, pembunuhan manusia oleh manusia berlangsung sama buasnya dengan binatang. Pada abad ke-18, para samurai di Jepang tidak segan-segan membunuh manusia, dan mencincang tubuhnya, hanya untuk menguji ketajaman pedangnya. Begitu pula suku pedalaman di Madagaskar yang membunuh setiap orang asing—yang lebih lemah tentu saja—yang mereka temui, dan memakannya.

Dalam kehidupan modern seperti saat ini pun, saling bunuh antarmanusia masih terus berlangsung.

Istilah survival of the fittest pada manusia ternyata lebih kompleks—lebih dari sekedar merujuk pada keunggulan fisik ragawi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menyaksikan manusia yang kuat menindas manusia yang lemah, sehingga manusia yang lemah tersebut mati, atau terhambat kemajuannya.

Dalam lingkungan sosial, manusia yang kuat mengintimidasi manusia yang lemah, sehingga manusia yang lemah tersebut ketakutan, merasa tidak nyaman, dan terbatas ruang geraknya, dan akhirnya, terhambat kemajuannya.

Dalam lingkungan kerja demikian juga. Saling sikut, saling tindas, saling menjatuhkan, saling intimidasi, menjilat atasan, menendang bawahan baik secara fisik maupun secara mental spiritual untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi, adalah contoh nyata survival of the fittest. Dalam kondisi seperti ini, hanya mereka yang mahir melakukan teknik-teknik saling sikat, saling tindas, saling menjatuhkan seperi di atas yang akan mampu bertahan, dan keluar sebagai pemenang.***

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger