gynomite.files.wordpress.com |
“ADA emotional rebirth yang berhubungan dengan memperoleh sesuatu yang benar-benar berasal dari resesi ini,” kata Wendy Leibmann, pejabat eksekuitf pada WSL Strategic Retail, sebuah perusahaan konsultasi marketing yang bekerja dengan perusahaan manufaktur dan perusahaan retail. “Kami mendengar orang-orang berbicara tentang keinginan untuk tidak kehilangan hal itu—koneksi, momen, keluarga, pengalaman.
Riset baru-baru ini mengisyaratkan bahwa, tidak seperti konsumsi benda-benda material, berbelanja hiburan dan jasa secara tipikal memperkuat ikatan sosial, yang pada gilirannya akan membantu memperkuat kebahagiaan. (Para akademisi telah bersetuju bahwa ada hubungan kuat antara kualitas hubungan manusia dan kebahagiaan mereka; dengan demikian, segala sesuatu yang membuat ikatan sosial semakin kuat mempunyai peluang yang baik untuk membuat kita merasa hangat dan nyaman.)
Dan penciptaan hubungan yang kompleks, rumit adalah sesuatu yang jarang di dunia ini. sebagaimana yang professor Dunn dan koleganya Daniel T. Gilbert dan Timothy D. Wilson tekankan dalam paper mereka yang akan datang, hanya anai-anai, belatung dan serangga-serangga tertentu seperti semut dan lebah yang membangun jaringan sosial yang sama kompleksnya dengan yang dibuat oleh manusia, manusia adalah satu-satunya makhluk yang berbelanja.
Pada puncak resesi tahun 2008, toko-toko Wal-Mart menyadari bahwa para konsumen sedang melakukan “pengepompongan”—berlibur di halaman rumah mereka, makan lebih banyak di rumah, mengorganisir game keluarga di malam hari. Sehingga Wal-Mart merespon dengan mengelompokkan barang-barang yang ada di tokonya yang akan mengubah setiap lubang yang ada menjadi gedung bioskop keluarga atau menyulap halaman belakang rumah menjadi sebuah Catskill. Wal-Mart tidak hanya menjual barbekiu dan board games. Mereka menjual pengalaman.
“Kami menghabiskan banyak waktu mendengarkan keluhan pelanggan,” kata Amy Lester, seorang jubir wanita Wal-Mart, “dan mengetahui bahwa mereka mempunyai jumlah tertentu untuk dibelanjakan dan perlu bermain sulap untuk menyesuaikan anggaran itu dengan kebutuhan mereka.
Salah satu alasan bahwa berbelanja untuk pengalaman memberi kita kebahagiaan yang lebih panjang adalah bahwa kita bisa mengenang pengalaman-pengalaman itu, kata para peneliti. Hal itu berlaku bahkan untuk pengalaman yang paling sederhana sekalipun. Perjalanan ke Roma di mana Anda harus mengantri dalam barisan yang panjang sekali, merusak kamera Anda dan bertengkar dengan pasangan Anda adalah jenis pengalaman yang akan dikenang dengan manis,” kata Sonja Lyubomisky, seorang professor psikologi di University of California , Riverside .
Professor Lyubomirsky mendapat dana hibah dari the National Institute of Mental Health untuk melakukan penelitian mengenai kemungkinan menambah kebahagiaan secara permanen. “Berpergian tidaklah sempurna,” “tetapi kita mengingatnya sebagai sempurna,” katanya.
Alasan lain mengapa para sarjana berkeyakinan bahwa pengalaman memberi kebahagiaan yang lebih besar daripada harta benda adalah bahwa pengalaman-pengalaman itu tidak bisa diserap hanya dalam satu kali telan—memerlukan waktu lebih banyak untuk beradaptasi dengan pengalaman dan terlibat di dalam sebuah pengalaman daripada memakai sebuah jaket baru atau sekedar menonton TV flat screen yang bergambar terang, misalnya.
“Kita membeli sebuah rumah baru, kemudian kita menjadi terbiasa dengan rumah baru itu,” kata Profesor Lyubomirsky, yang meneliti apa yang disebut psikolog “adaptasi hedonik,” sebuah fenomena di mana orang dengan cepat menjadi terbiasa dengan perubahan, besar atau kecil, dalam rangka untuk mencapai level pokok kebahagiaan.
Seiring waktu, gairah yang ditimbulkan oleh barang baru terdorong ke arah norma emosional
“Kita berhenti mendapat kesenangan dari barang tersebut,” katanya.
Dan kemduian, tentu saja, kita membeli barang-barang baru lagi.
Ketika Ed Diener, seorang professor psikologi di University of Illinois dan seorang bekas presiden International Posititive Psychology Association—yang mempromosikan studi tentang apa-apa yang diutamakan orang dalam hidupnya—sedang berburu rumah dengan istrinya, mereka melihat beberapa rumah dengan potongan yang mereka suka.
Tetapi tidak seperti pasangan yang memilih rumah karena lantainya yang terbuka, dapurnya yang indah, penyinaran yang bagus, atau kamar tidur yang luas, profesor Diener membuat keputusan berdasarkan pertimbangan riset adaptasi hedonik.
“Salah satu rumah berada dekat dengan tempat hiking, sehingga sangat mudah untuk melakukan hiking,” katanya dalam sebuah e-mail. “Berpikir tentang riset tersebut, saya bersikeras bahwa tempat hiking tersebut bisa menjadi sebuah faktor yang berkontribusi terhadap kebahagiaan kami, dan kami tidak perlu khawatir mengenai keindahan lantai dapur atau apakah tempat cuci piringnya indah atau tidak. Kami membeli rumah di dekat tempat hiking tersebut dan sangat menyenangkan, dan kami masih belum bosan dengan keadaan ini karena kami melakukan hiking empat atu lima kali seminggu.
“Kita beradapasti terhadap hal-hal kecil,” katanya, “tetapi karena begitu banyak hal-hal kecil, maka memakan waktu lebih lama.”
Sebelum kartu kredit dan HP memungkinkan para konsumen mendapatkan hampir semua yang mereka inginkan kapan saja mereka mau, pengalaman berbelanja itu lebih kaya, kata Ms. Liebmann dari WSL Strategic Retail. “Dulu Anda menabung untuk berbelanja, dalam hal ini, Anda melakukan antisipasi,” katanya.
Dengan kata lain, menunggu sesuatu dan beklerja keras untuk mendapatkannya membuat sesuatu itu menjadi lebih berharga dan lebih menstimulasi.
Faktanya, para sarjana telah menemukan bahwa anstisipasi dapat meningkatkan kebahagiaan. Berpikir akan membeli sebuah iPad? Anda mungkin perlu memikirkan hal itu selama mungkin sebelum membawa pulang sebuah. Sama hanya dengan sebuah Caribbean escape: Anda akan mendapatkan lebih banyak kesenangan jika Anda memesan sebuah tiket penerbangan terlebih dahulu daripada Anda membelinya di menit-menit akhir. (dari yahoo.com).
Lebih Bahagia dengan sedikit Harta (4-habis)
Lebih Bahagia dengan sedikit Harta (4-habis)
0 comments:
Post a Comment