Jamur Majik Mempunyai Manfaat Medis, Kata Para Peneliti

Halusinogen yang terdapat dalam jamur majik boleh jadi tidak lagi lagi hanya bermanfaat bagi kaum hippies yang suka mencar-cari cara untuk mabuk.

Para peneliti di Johns Hopkins University School of Medicine telah mempelajari efek dari psilocybin, zat kimia yang ditemukan terdapat dalam beberapa jamur jenis psychedelic, yang dianggap mampu menimbulkan keadaan transendental. Sekarang ini, kata mereka, mereka tengah memfokuskan penelitian mereka untuk mengetahui seberapa banyak dosis yang tepat bagi psilocybin untuk dapat menciptakan pengalaman-pengalaman spiritual dan mistis yang transformatif yang bermanfaat mengubah kehidupan dalam jangka panjang, dengan hanya sedikit resiko menimbulkan reaksi yang negatif.

Terobosan ini bisa mempercepat datangnya hari di mana para dokter menggunakan psilocybin—yang dahulu dipandang secara skeptis karena sering dihubung-hubungkan dengan para pencari sensasi kontrakultural pada tahun 1960-an—untuk pelbagai manfaat klinis, seperti meredakan ketegangan pada pasien yang dalam tahap terminal, meredakan depresi dan gangguan stress pasca trauma, dan membantu menghentikan merokok. Telah terbukti, menurut beberapa studi, para pasien kanker yang mengalami depresi yang diberi obat psilocybin memunjukkan hasil yang positif. “”Sekarang saya tidak lagi takut akan mati,” kata salah satu partisipan kepada The Lookout.

Penelitian John Hopkins—yang hasilnya akan diumumkan minggu ini dalam jurnal Psychopharmacology—melibatkan pemberian psilocybin dengan berbagai dosis pada para partisipan yang sehat dalam setting yang terkontrol dan supportif, dalam empat sesi yang terpisah. Lebih dari setahun sbelumnya, 94 persen partisipan menempatkan pemakaian psilocybin sebagai salah satu dari lima pengalaman yang paling signifikan secara spiritual dalam hidup mereka.

Yang lebih penting, 89 persen dari mereka mengalami perubahan tingkah laku yang positif yang bertahan lama—menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang lain, misalnya, atau meningkatnya perhatian akan perawatan fisik dan mental mereka sendiri. Penilaian mereka itu diperkuat oleh anggota keluarga mereka dan orang lain.

“Saya kira hati saya sekarang lebih terbuka terhadap semua interaksi dengan orang lain,” kata salah seorang relawan dalam penelitian tersebut dalam sebuah kuesioner yang diberikan 14 bulan setelah sesi penelitian dilakukan.

“Saya merasa bahwa hubungan saya dalam perkawinan menjadi lebih baik,” tulis relawan lainnya. “Timbul lebih banyak empati—pemahaman akan sesama yang lebih baik, dan memahami kesulitan-kesulitan mereka, dan syak wasangka jadi berkurang.”

Menentukan dosis yang tepat untuk obat-obatan halusinogen adalah krusial, Roland Griffith, seorang profesor psikiatri di John Hopkins yang mempimpin penelitian tersebut, menjelaskan pada The Lookout. Ini terjadi karena pengalaman halusinasi yang buruk (“bad trip”) bisa menimbulkan bencana, dan tingkah laku yang membahayakan diri sendiri (self destructive), tapi dosis yang rrendah tidak pula mampu menimbulkan pengalaman transformatif yang bisa bermanfaat secara jangka panjang. Dengan mencoba berbagai dosis, kata Grifftith, para peneliti bisa menemukan sweet spot,” “di mana dosis yang tinggi atau menengah bisa menimbulkan, dalam jumlah cukup, pengalaman-pengalaman mistis seperti ini, dengan reaksi takut signifikan yang rendah.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, para ilmuwan tertarik dengan efek potensial dari halusinogen seperti psilocybin, mescaline, dan lysergic acid diethylamide (LSD) pada orang sehat maupun orang yang sakit dalam stadium terminal. Indian Meksiko telah, sejak jaman purbakala, menggunakan jamur psychedelic dengan struktur kimia yang serupa untuk menciptakan pengalaman spiritual yang intens. Tapi pada pertengahan tahun 1960-an, para guru kontrakultur seperti Dr. Timothy Leary dan Aldous Huxley mengemukakan obat-obatan yang bisa mengubah perasaan sebagai salah satu cara memperluas jangkauan kesadaran dan menolak tatanan masyarakat yang mainstream. Pelbagai cerita, yang mungkin diragukan kebenarannya, beredar tentang orang-orang yang melompat dari jendela ketika sedang mengkonsumsi LSD, dan sebagian pemakai yang berat dilaporkan mengalami kerusakan psikologis yang permanen. Pada awal tahun 70-an, pemerintah AS melarang penggunaan obat-obatan halusinogen secara esensial.

Tapi beberapa tahun belakangan merupakan awal kembalinya ketertarikan ilmiah akan obat-obatan pengubah pikiran, dan khususnya dalam hal kemungkinan menggunakan obat-obatan tersebut secara klinis untuk meringankan depresi dan kecemasan. Sebuah studi oleh pemerintah Belanda pada tahun 2004 (study by the government of Holland (pdf)) menemukan bahwa psilocybin tidak mempunyai efek negatif yang signifikan.

Di AS, juga, iklimnya mungkin berubah. Dalam sebuah pernyataan menyusul pengumuman dari Universitas Johns Hopkins, Jerome Jaffe, seorang bekas raja obat-obatan Gedung Putih yang sekarang bekerja di Jurusan Obat-obatan, Universitas Maryland, mengatakan hasil temuan tersebut menimbulkan pertanyaan apakah psilocybin memang terbukti bermanfaat “dalam mengatasi penderitaaan psikologis pada pasien-pasien stadium terminal?”

Harapannya adalah bahwa pengalaman-pengalaman transendental dan spiritual yang bertahan lama tersebut, yang berhubungan dengan psilocybin bisa—jika dilakukan secara terkontrol dan supportif, dan dengan dosis yang cukup—membantu meredakan ketegangan dan rasa takut pada pasien, memungkinkan mereka menghadapi kematian dengan perasaan yang jauh lebih tenang. (Anda bisa menyaksikan salah seorang pasien kanker stadium terminal berbicara secara menyentuh mengenai efek positif penggunaan psilocybin di sini (here).)

Menurut Griffith, obat tersebut boleh jadi mempunyai potensi untuk meringankan penderitaan pasien yang dalam stadium terminal. Dia baru-baru ini memimpin sebuah penelitian terpisah tentang psilocybin di Johns Hopkins, melibatkan para relawan yang mengalami depresi setelah didiagnosa mengalami penyakit kanker. “Sejauh ini kami telah mendapatkan—hanya secara anekdotal—hasil yang sangat positif,” Comparable dengan  studi yang dilaksanakan terhadap para relawan yang sehat. Sebuah studi dari Universitas California, Los Angeles tahun lalu melaporkan hasil positif yang serupa.

Namun Griffith mengatakan studinya, yang berlangsung selama tiga tahun, hanya menggunakan 20 orang pasien, sebagian karena para onkolog lebih tertarik pada penyembuhan kanker daripada membantu para pasien menghadapi efek obat tersebut, sehingga mereka tidak bermaksud memberi banyak rujukan. “Kebanyakan para onkolog1 tidak paham masalahnya,” katanya. “Itu bukan fokus dari penelitian mereka, dan mereka adalah orang-orang yang sibuk.”

Tapi pengalaman seorang relawan dalam penelitian Griffith memberi titik terang akan  manfaat potensial dari psilocybin ini. Lauri Reamer, 47, mengatakan pada The Lookout bahwa dia ikut berpartisipasi dalam dua penelitian psilocybin di Johns Hopkins pada bulan September tahun lalu, tidak lama setelah dia mengakhiri kemoterafi intensif dan radiasi untuk mengobati penyakit leukemia langka yang dideritanya yang, beberapa kali dalam beberapa tahun terakhir ini, hampir-hampir merenggut nyawanya.  

Reamer, seorang anestesiolog dari Ruxton, Md., yang mempunyai tiga anak perempuan, mengatakan bahwa meskipun penyakitnya sudah jauh brkurang pada waktu itu, dia masih menderita secara psikologis akibat trauma dari penyakit tersebut dan perawatan yang diterimanya. Dia pernah mengucilkan diri secara emosional, katanya, dan dia tidak mampu menunjukkan empati bagi orang lain, bahkan bagi dirinya sendiri.

Psilocybin mempunyai dampak langsung. “Pada akhir sesi penelitian tersebut, saya berada dalam keadaan gembira, bahagia, dan rileks,” katanya. “Obatnya sudah habis—yang tinggal adalah ketenangan yang damai.”

Ketenangan tersebut mempunyai manfaat jangka panjang. Reamer mengatakan bahwa pengalaman tersebut—yang dia sebut sebagai “sebuah epifani”—memberi dia dorongan untuk keluar dari keadaan perkawinannya yang gagal. Sejak mendapat obat tersebut, katanya, baik dia maupun ketiga puterinya menjadi jauh lebih bahagia.

“Saya tidak berpikir bahwa ini akibat dari obat tersebut,” katanya. “Obat tersebutlah yang membantu saya menemukan titik terang.”

Dan itu bukanlah satu-satunya perbaikan. “Tidur saya sekarang jadi lebih baik. Hubungan saya dengan orang lain juga menjadi lebih baik,” katanya. “Mendung itu telah berlalu.”

“Dan yang terbaik adalah bahwa obat tersebut telah menyembuhkan saya secara psikologis dan emosional dan memungkinkan saya membina kehidupan anak-anak saya kembali, kembali menjadi seorang ibu bagi anak-anak saya,” katanya menyimpulkan. Ketika diwawancarai, dia sedang membawa ketiga puterinya—dua puteri kembar berusia 15 tahun, dan seorang puteri berumur 6 tahun—dalam sebuah perjalanan menuju Hershey Park
.
Dan meski para dokter mengatakan padanya bahwa, akibat efek dari penyakit dan perawatan yang dia terima, dia tampaknya hanya mempunyai sisa usia 10 hingga 15 tahun lagi, namun dia mampu menerima tantangan tersebut dengan tenang.

“Ketakutan saya akan kematian sepertinya sudah hilang,” katanya. “Sekarang saya tidak lagi takut mati.”

Griffiths, dari Johns Hopkins, mengatakan pengalaman Reamer tersebut tidaklah asing bagi para relawan lainnya, baik relawan yang sehat maupun yang sakit, yang telah mencoba psilocybin. “Orang-orang merasa gembira, dan pada satu tingkat, sangat sering mempunyai perasaan bahwa segalanya baik-baik saja,” katanya. “Bahwa ada sense yang akan tercipta dari adanya chaos.”  

“Ketika Anda menyaksikan orang mengalami transformasi serupa itu,” katanya menambahkan, “itu benar-benar menyentuh perasaan.” (By Zachary Roth)

1. Spesialis penyakit tumor

(Magic mushrooms at a farm in Hazerswoude, Netherlands, August, 2007: AP Photo/Peter Dejong)


comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger