(NaturalNews) lebih dari 30 persen hasil studi tentang
obat-obatan antidepresan tidak diterbitkan, tampaknya hasil studi tersebut
tidak bisa menunjukkan bahwa obat yang diteliti berkhasiat sebagaimana yang
diiklankan, menurut sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam New England Journal of
Medicine.
Sebagai tambahan, studi-studi yang diterbitkan sering kali menginterpretasikan data dengan tujuan yang cenderung membela obat yang diteliti daripada menyatakan keadaan yang sebenarnya.
“Bukan hanya hasil yang positif lebih besar kemungkinan diterbitkan, namun studi-studi yang tidak menunjukkan hasil yang positif, menurut pendapat kami, sering kali diterbitkan dengan cara yang seolah-olah menunjukkan hasil yang positif,” tulis para peneliti.
Meski FDA meminta agar perusahaan farmasi menunjukkan hasil dari semua studi tentang obat baru yang akan mereka produksi sebelum obat tersebut disetujui, namun tidak ada syarat bahwa hasil studi tersebut harus diterbitkan di sebuah tempat di mana dokter, peneliti kesehatan dan masyarakat bisa membacanya. Sebuah tim peneliti dari beberapa institusi termasuk Universitas Kesehatan dan Sains Oregon, Pusat Urusan Medis Veteran Portland, Universitas Kent State dan Universitas California di Riverside membandingkan hasil-hasil studi yang dilaporkan dalam database FDA dengan apakah dan bagaimana studi-studi tersebut dilaporkan dalam literatur publik.
“Laporan-laporan hasil studi tersebut menunjukkan di mana mereka menempatkan taruhan mereka sebelum mereka menunjukkan data-datanya,” kata peneliti kepala Erick Turner.
Sebagai tambahan, studi-studi yang diterbitkan sering kali menginterpretasikan data dengan tujuan yang cenderung membela obat yang diteliti daripada menyatakan keadaan yang sebenarnya.
“Bukan hanya hasil yang positif lebih besar kemungkinan diterbitkan, namun studi-studi yang tidak menunjukkan hasil yang positif, menurut pendapat kami, sering kali diterbitkan dengan cara yang seolah-olah menunjukkan hasil yang positif,” tulis para peneliti.
Meski FDA meminta agar perusahaan farmasi menunjukkan hasil dari semua studi tentang obat baru yang akan mereka produksi sebelum obat tersebut disetujui, namun tidak ada syarat bahwa hasil studi tersebut harus diterbitkan di sebuah tempat di mana dokter, peneliti kesehatan dan masyarakat bisa membacanya. Sebuah tim peneliti dari beberapa institusi termasuk Universitas Kesehatan dan Sains Oregon, Pusat Urusan Medis Veteran Portland, Universitas Kent State dan Universitas California di Riverside membandingkan hasil-hasil studi yang dilaporkan dalam database FDA dengan apakah dan bagaimana studi-studi tersebut dilaporkan dalam literatur publik.
“Laporan-laporan hasil studi tersebut menunjukkan di mana mereka menempatkan taruhan mereka sebelum mereka menunjukkan data-datanya,” kata peneliti kepala Erick Turner.
Para peneliti menguji 74 studi yang dilaksanakan pada 12 obat antidepresan antara tahun 1981 dan 2004, yang melibatkan total 12.564 orang pasien. Hanya 38 dari studi-studi tersebut (51 persen) yang menunjukkan hasil yang menguntungkan bagi obat yang diuji. Hampir semua hasil studi tersebut—atau 94 persen—diterbitkan kecuali satu.
Kebalikannya, 22 dari 36 studi yang tidak berhasil menunjukkan hasil yang positif (61 persen) tidak diterbitkan. Dari 14 studi yang diterbitkan, hanya tiga yang menginterpretasikan data secara negatif. 11 studi yang lain, bertentangan dengan interpretasi FDA terhadap data yang sama, menggambarkan obat-obatan yang mereka teliti sebagai lebih efektif daripada kenyataan yang sebenarnya.
Sebagai contoh, dari tiga studi yang dilaksanakan terhadap Wellbutrin milik Glaxo SmithKline, hanya satu yaitu yang menunjukkan hasil yang positif yang diterbitkan. Dari lima studi yang dilaksanakan terhadap Pfizer's Zoloft, satu yang menunjukkan hasil yang positif diterbitkan; satu yang menunjukkan hasil yang dipertanyakan dipelintir seolah-olah obat tersebut efektif, dan tiga studi yang menunjukkan hasil yang tidak menguntungkan tidak pernah diterbitkan.
Menurut para peneliti, bias publikasi tersebut membesar-besarkan khasiat dari obat-obatan anti-depresan yang dilaporkan dengan rata-rata 32 persen. Hasil yang sebenarnya berbeda-beda mulai dari yang serendah 11 persen bagi penelitian tentang Paxil milik Glaxo SmithKline hingga yang setinggi 69 persen bagi penelitian tentang Serzone milik Bristol-Myers-Squibb.
Turner mengatakan bahwa khasiat obat yang dilebih-lebihkan ini bisa menyebabkan para dokter meresepkan obat-obatan tersebut sebagai obat-obatan yang belum diketahui dengan pasti khasiatnya (borderline cases) yang dengan demikian bisa menimbulkan salah obat.
“Publikasi yang selektif bisa menyebabkan para dokter membuat resep yang tidak semestinya yang boleh jadi bukan merupakan resep yang paling tepat bagi para pasien dan, dengan demikian, bagi kesehatan masyarakat,” kata para peneliti.
Para peneliti mengatakan bahwa bias publikasi tersebut tidak melulu terjadi karena perusahaan-perusahaan farmasi secara aktif menyembunyikan data. Salah satu penjelasan tantang hal tersebut boleh jadi karena para peneliti menganggap hasil-hasil yang negatif tersebut tidak menarik, dan tidak tertarik untuk menuliskannya.
“Ada ekspektasi bahwa jika Anda mendapatkan hasil yang positif, itulah hasil yang semestinya, dan jika Anda mendapatkan hasil yang negatif berarti Anda gagal,” kataTurner. “Impuls yang pertama adalah mengatakan bahwa, ‘Saya salah. Mungkin saya harus beralih pada sesuatu yang lain yang lebih penting.’”
Bias tersebut bisa berasal dari jurnal-jurnal medis yang lebih tertarik pada studi-studi yang menunjukkan hasil yang positif, kata Turner, dan bukan dari para peneliti sama sekali.
Kolomnis Newsweek Sharon Begley mengemukakan skeptisisme-nya terhadap pandangan ini.
“Saya kira dia menjadi terlalu baik,” kata Begley. “Dengan adanya proliferasi jurnal, semuanya bisa diterbitkan di suatu tempat—mungkin bukan di dalam New England Journal of Medicine, tapi di dalam jurnal kelas gurem, yang masih bisa diperhitungkan sebagai ‘diterbitkan.’”
Apapun alasan di balik itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa bias publikasi telah meluas bercabang-cabang. Bias tersebut telah membelokkan hasil-hasil meta-analisis, di mana para peneliti mengumpulkan jadi satu hasil-hasil dari banyak studi yang diterbitkan untuk mendapatkan penggambaran yang lebih baik tentang efektifitas sebuah obat atau therapi. Dalam kasus-kasus yang ekstrem, hal itu bisa menimbulkan kesan yang sama sekali keliru: Karena studi-studi tersebut biasanya diaksanakan dengan interval kepercayaan 5 persen, maka diperkirakan satu dari 20 studi tersebut akan menunjukkan hasil yang keliru karena variasinya yang acak. Jika saja satu studi dengan hasil yang keliru tersebut diterbitkan dan 19 studi lainnya yang tidak menunjukkan hasil apa-apa tidak pernah diterbitkan, maka hal ini memberi kesan yang berlawanan tentang apa yang sebenarnya ditemukan dalam riset tersebut.
Meski studi terbaru tersebut adalah yang paling tuntas yang meneliti tentang bias publikasi dalam industri obat-obatan, namun para profesional kesehatan telah lama mengetahui bahwa bias tersebut merupakan masalah. Pada tahun 2004, negara bagian New York menuntut Glaxo SmithKline karena secara sengaja menyembunyikan hasil-hasil studi tentang Pixil guna untuk menimbulkan kesan seolah-olah obat tersebut lebih efektif bagi anak-anak dan adolessen. Perusahaan tersebut juga berusaha menyembunyikan bukti-bukti tentang efek samping yang berbahaya, kata tuntutan tersebut, seperti meningkatnya insiden kecenderungan ingin bunuh diri.
Meski tuntutan tersebut akhirnya berakhir damai, namun paling tidak ada 12 pengadilan oleh juri (jury trials) yang dijadwalkan pada tahun 2008 yang menuduh Glaxo SmithKline menyembunyikan efek samping ingin bunuh diri panak anak muda.
Sebagai bagian dari penyelesaian damai tahun 2004, Glaxo SmithKline setuju untuk menerbitkan hasil-hasil dari semua persidangan atas obat-obatan yang mereka produksi di Internet, dan perusahaan-perusahaan besar lainnya mengikuti. Sebagai respon terhadap studi dari England Journal of Medicine juru bicara dari beberapa perusahaan obat menyebut praktik ini sebagai bukti bahwa sistem telah diperbaiki.
Namun Turner mengatakan bahwa menerbitkan hasil-hasil studi secara online tidaklah sama dengan menerbitkannya dalam literatur medis. Dia tidak mengetahui seorang dokter-pun, katanya, yang secara reguler membaca database online dari perusahaan-perusahaan tersebut.
“Kita sudah menganggap literatur medis sebagai Holy Grail-nya jurnal medis,” katanya.
Wednesday, August 20, 2008
by Mike Adams, the Health Ranger
Editor of NaturalNews.com (See all articles...)
by Mike Adams, the Health Ranger
Editor of NaturalNews.com (See all articles...)
Stay
informed! FREE subscription to the Health Ranger's email newsletter
Get breaking health news + a LIFETIME 7% discount on everything at the NaturalNews Store
|
||
Join two million monthly readers.
Email privacy 100% protected. Unsubscribe at any time.
|
0 comments:
Post a Comment