Pelajaran dari Suku Bugis yang Menganut Lima Jenis Kelamin

Pada tanggal 13 Juni 2016 lalu, ketika seorang hakim di Oregon, AS, mengijinkan seseorang untuk secara sah tidak memilih salah satu jenis kelamin (sex) dan digolongkan sebagai “non-biner”, para aktivis transgender menyambutnya dengan sepenuh suka cita. Keputusan tersebut dianggap merupakan keputusan yang pertama dari yang sejenisnya yang, hingga sekarang, mengharuskan orang memilih jenis kelamin “pria” atau “wanita” pada dokumen identitas mereka.  

Kemenangan kecil ini muncul setelah disyahkannya sebuah undang-undang baru yang kontroversial di North Carolina yang mencegah orang transgender menggunakan WC umum yang tidak sesuai dengan jenis kelamin pada akta kelahiran mereka. 

Konflik yang timbul akibat kebijakan-kebijakan baru ini tidaklah sama sekali baru; selama bertahun-tahun orang telah menanyakan tentang apakah jenis “kelamin” (“sex”)yang kita miliki sejak lahir harus menentukan segala sesuatu seperti fasilitas publik yang mana yang mesti kita gunakan, apa yang mesti di-centang di dalam aplikasi paspor kita dan siapa yang berhak bermain di dalam tim olahraga tertentu.

Tapi bagaimana jika jenis kelamin (gender) itu dipandang dengan cara yang sama dengan pandangan yang terkenal yang digambarkan oleh peneliti jenis kelamin (sex researcher) Alfred Kinsey tentang seksualitas—yaitu sebagai sesuatu yang diukur menurut mistar hitung (something along a sliding scale)?

Nyatanya, ada sekelompok etnik di Sulawesi Selatan, Indonesia—Bugis—yang memandang jenis kelamin (gender) dengan cara ini. Untuk penelitian Ph.D saya, saya telah tinggal di Sulawesi Selatan pada akhir tahun 1990-an untuk mempelajari lebih jauh tentang berbagai cara dalam memahami jenis kelamin (sex) dan gender di dalam suku bangsa Bugis. Saya pada akhirnya merinci konseptualisasi ini di dalam buku saya yang berjudul “Gender Diversity in Indonesia.”

Apakah masyarakat menentukan ‘gender’ kita? 

Bagi banyak pemikir, seperti teoris gender Judith Butler, mengharuskan seseorang memilih antara toilet “wanita” dan “pria” adalah absurd karena tidak ada yang namanya jenis kelamin ketika kita memulai kehidupan ini.

Menurut aliran pemikiran ini, jenis kelamin (sex) tidak berarti apa-apa sampai kita dimunculkan (engendered) dan mulai menunjukkan jenis kelamin melalui pakaian kita, cara kita berjalan, cara kita berbicara. Dengan kata lain, mempunyai penis saja tidak ada artinya sebelum masyarakat mengatakan pada Anda bahwa jika kamu punya penis kamu tidak seharusnya mengenakan rok (kecuali kilt, tentu saja). 

Meski demikian, kebanyakan pembicaraan tentang jenis kelamin (sex) seolah-olah semua orang diplanet ini dilahirkan sebagai pria atau wanita. Teoris gender seperti Butler akan berpendapat bahwa manusia jauh lebih kompleks dan berbeda-beda untuk memungkinkan kita yang jumlahnya tujuh miliar ini dibagi secara merata di dalam kua kamp.

Contoh paling jelas adalah bagaimana para dokter memperlakukan anak-anak yang jenis kelaminnya tidak jelas (seperti mereka yang dilahirkan dengan sindrom sensitivitas androgen, hypospadias atau sindrom Klinefelter).  Dalam hal jenis kelamin seorang anak tidak bisa ditentukan, para dokter biasanya hanya mengukur apendiks untuk mengetahui apakah klitorisnya terlalu panjang—dan dengan demikian harus digolongkan sebagai penis—atau sebaliknya. Tindakan seperti ini akan memaksa seorang anak berada di bawah payung salah satu jenis kelamin, bukannya membiarkan si anak tumbuh secara alami dengan keadaan tubuh mereka.

Gender adalah sebuah spektrum

Mungkin cara yang lebih bermanfaat untuk memahami tentang jenis kelamin adalah dengan memandang jenis kelamin (sex) sebagai sebuah spektrum.

Meski semua masyarakat sangat dan terbagi-bagi secara gender, dengan peran-peran spesifik untuk pria dan wanita, namun ada juga masyarakat-masyarakat tertentu—atau, paling tidak, individual-individual di dalam masyakarat—yang mempunyai nuansa pemahaman yang tersendiri akan hubungan antara jenis kelamin (tubuh-tubuh fisik kita), gender (apa yang dibuat oleh budaya terhadap tubuh-tubuh itu) dan seksualitas (tubuh yang mana yang kita ingini).

Indonesia boleh jadi menjadi sorotan media akan serangan-serangan teror dan hukuman mati, namun sebenarnya Indonesia adalah negara yang sangat toleran. Faktanya, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar keempat dunia, dan lebih dari itu, tidak seperti North Carolina, Indonesia akhir-akhir ini tidak mempunyai masalah kebijakan anti-LGBT. Lebih-lebih lagi, orang Indonesia bisa memilih transgender (waria) pada kartu identitas mereka (meski dengan adanya gelombang kekerasan baru yang menentang LGBT baru-baru ini, hal ini bisa saja berubah).

Suku bangsa Bugis adalah kelompok etnik terbesar di Sulawesi Selatan, dengan jumlah sekitar tiga juta orang. Kebanyakan orang Bugis adalah Muslim, namun masih ada ritual-ritual pra-Islam yang masih terus dihormati di dalam budaya Bugis, termasuk perbedaan pandangan tentang gender dan seksualitas. 

Bahasa mereka menawarkan lima istilah untuk mengacu pada berbagai kombinasi jenis kelamin (sex), gender, dan seksualitas: makkunrai (“wanita asli”), oroani (“pria asli”), calalai (“pria tapi wanita”), calabai (“wanita tapi pria”) and bissu (“pendeta transgender”). Definisi ini tidaklah tepat benar, namun cukup memadai.

Selama masa awal penelitian Ph.D saya, saya telah berbicara dengan seseorang yang, meski tidak memiliki pendidikan formal, merupakan seorang pemikir sosial yang krtitis.

Ketika saya masih bingung tentang cara bagaimana orang Bugis mengonsepsi jenis kelamin (sex), gender dan seksualitas, dia mengatakan pada saya bahwa saya salah jika mengira bahwa hanya ada dua jenis kelamin yang berlainan, wanita dan pria. Melainkan, dia mengatakan bahwa kita semua berada dalam sebuah spektrum.

Bayangkan seseorang sedang berada di sini di ujung barisan ini dan bahwa mereka, adalah orang-orang yang Anda sebut sebagai, XX, dan kemudian Anda berjalan-jalan di sepanjang barisan ini hingga Anda tiba di ujung barisan yang lain, dan itulah YY. Tapi di sepanjang barisan ini adalah semua jenis manusia dengan semua jenis dandanan dan karakter berbeda.

Spektrum jenis kelamin (sex) ini merupakan cara yang baik dalam berpkir tentang kompleksitas dan diversitas manusia. Ketika jenis kelamin (sex) dipandang melalui lensa ini, maka undang-undang North Carolina yang melarang orang memilih toilet yang mana saja yang mereka maui tampaknya secara sewenang-wenang, memaksa orang harus masuk ke ruang yang boleh jadi bertentangan dengan identitas mereka (By Sharyn Graham Davies)

http://theconversation.com/what-we-can-learn-from-an-indonesian-ethnicity-that-recognizes-five-genders-60775

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger