Tak pelak, televisi telah menguasai ruang jeda sebagian besar masyarakat kita, Indonesia. Setiap waktu jeda, setiap ada waktu luang, kita selalu menonton televisi, di rumah. Televisi adalah pelarian dari penat segala kesibukan sehari-hari, tempat melupakan sejenak segala beban yang menghimpit, dan derita yang melanda, tempat berinteraksi dalam keluarga, dan tempat hiburan. Namun, salah-salah, televisi juga bisa jadi pangkal bencana, jika kita tidak bijak dalam bertindak.
Televisi bersama-sama dengan media audio visual lainnya, seperti Internet dan HP adalah media yang menuntut kebijaksanaan kita, para orang tua, dalam mengantisipasi perkembangan teknologi.
Televisi telah menjadi barang yang harus ada dalam setiap rumah tangga. Tanpa televisi, rumah belum lengkap. Televisi juga telah menjadi lambang status sosial. Semakin besar ukuran pesawat TV sebuah keluarga, dan semakin mahal harganya, semakin keluarga itu terpandang di tengah-tengah masyarakat.
Itu dari segi hardware-nya. Dari segi software-nya, TV juga melambangkan status keluarga. Apa yang Anda tonton menunjukkan siapa diri Anda. Dan bagaimana cara Anda menonton menunjukkan sikap Anda. Maka jangan heran jika ada teman Anda yang berkata, “Lebai lu,” demi melihat Anda menonton siaran musik yang mendayu-dayu, misalnya, apalagi kalau Anda sampai meneteskan air mata.
Ada orang yang berani ribut gara-gara berebut chanel siaran TV. Ada pula yang pasrah; nrimo saja siaran apa pun yang dipilih oleh temannya. Ada orang yang melengos dan berlalu demi menyaksikan siaran yang tidak dia suka. Ada yang tidak perduli dan menonton apa saja yang lagi on, bersama teman-temannya. Ada yang meledek dan merendahkan selera tontonan orang lain. Ada yang berusaha memahami perbedaan selera. Pendek kata, sikap seseorang di depan TV cukup menunjukkan siapa orang itu.
Ada orang tua yang membiarkan saja anak-anak mereka menonton apa pun di TV, tanpa pengawasan dan bimbingan. Sebaliknya, ada pula orang tua yang mengawasi tontonan anak-anaknya dengan ketat.
Sebuah keluarga yang membiarkan anak-anak mereka menonton TV tanpa pengawasan menunjukkan bahwa keluarga tersebut tidak cukup matang dalam urusan pendidikan anak-anak mereka. Sebaliknya, keluarga yang mengawasi anak-anaknya ketika menonton TV menunjukkan bahwa keluarga tersebut memahami hakekat siaran TV, dan dampaknya terhadap perkembangan anak-anak mereka.
Ada orang tua yang membebaskan anak-anak mereka melakukan apa saja di dengan pesawat TV sehingga anak-anak mereka bebas menonton siaran yang seharusnya tidak mereka tonton. Yang lebih parah lagi, ada pula orang tua yang membiarkan anak-anaknya menyetel CD player sendiri, bahkan membiarkan anak-anak mereka membeli CD video yang dijual bebas di pasaran, tanpa pernah memperhatikan, atau bertanya.
Orang tua yang bijak tentu tidak akan melakukan itu. Orang tua yang bijak akan mengawasi setiap gerak-gerik anak-anak mereka di depan TV, atau mengontrolnya., karena setiap tontonan yang ditonton oleh anak-anak, pastilah ada dampaknya, positif atau negatif.
Kiranya apa-apa yang telah kita dengar dan saksikan akhir-akhir ini sudah cukup untuk menggambarkan betapa siaran TV atau video yang tidak layak mempunyai dampak buruk terhadap perkembangan anak-anak.
Dulu ada berita seorang murid SD men-smack down seorang temannya setelah menonton acara smack downdi TV. Ada pula cerita tentang siswa SD dan SMP yang memperkosa teman sekolahnya, atau balita tetangga mereka, setelah menonton video porno. Berita-berita seperti itu bukan hanya satu kali dua kali, tapi sering kali, sehingga kita tampak sudah terbiasa.
Kejadian terbaru adalah apa yang kemarin diceritakan oleh rekan Kompasianer Moona Mohamed dalam tulisannya yang berjudul Anak SD Berbuat Mesum, di mana dua anak SD di Surabaya, Jatim, mencabuli teman sekolah mereka.
Akankah kita terbiasa. Akankah kita membiasakan diri dengan hal-hal serupa itu dan bersikap tak acuh, sampai akhirnya keluarga kita sendiri yang menjadi korban.
Perkembangan teknologi yang demikian cepat menuntut kita bijak dalam bertindak. Membiarkan anak-anak menonton TV, atau menggunakan HP berkamera, atau Internet, tanpa pengawasan, adalah tindakan yang tidak cukup bijak dalam membina perkembangan anak-anak kita. ***
0 comments:
Post a Comment