Membaca dua tulisan dua petinggi Kompasiana kemarin tentang aksi Goenawan Mohamad mengembalikan hadiah Bakrie Award yang pernah diterimanya pada tahun 2004 lalu, saya jadi tergelitik untuk ikut komentar. Tulisan ini saya tulis berdasarkan dua tulisan tersebut, dan komentar-komentar para Kompasianer yang menyertainya.
Aksi mengembalikan hadiah seperti yang dilakukan GM rasanya bukan yang pertama kali dilakukan oleh para tokoh di Indonesia. Sebelumnya, sastrawan Mochtar Lubis pernah mengembalikan hadiah Ramon Magsaysay yang diterimanya pada tahun 1958. Dulu pernah ada aksi serupa yang dilakukan oleh para penerima Piala Citra, dalam bidang perfilman.
Aksi mengembalikan hadiah tersebut tentu tidak merujuk pada nilai materi hadiah yang dikembalikan, melainkan nilai non materinya, yaitu nilai dari aksi itu sendiri. Dengan aksi serupa itu, orang yang mengembalikan hadiah tersebut, tentu mengantisipasi opini dari masyarakat, positif atau negatif, pro atau kontra. Dan orang tersebut pasti mengharapkan opini yang positif, atau sikap yang pro dari masyarakat.
Orang mengembalikan hadiah tentu punya alasan tertentu, yang kuat, yang sudah dipikirkan matang-matang. GM, seperti yang dikutip oleh Iskandar Zulkarnaen dalam tulisannya mengatakan alasannya mengembalikan hadiah tersebut karena kecewa terhadap sikap Aburizal Bakrie. “Saya tak dapat meredakan rasa kecewa saya kepada saudara Aburizal Bakrie karena hal-hal yang dia lakukan selama ini. Semula saya berusaha untuk memisahkan Bakrie Award dari apa yang dijalankannya sebagai tokoh bisnis dan politik. Tetapi makin lama pemisahan ini semakin mustahil karena saya melihat ada diskrepansi bahkan kontradiksi yang makin membesar,” kata GM, seperti yang ditulis Zulkarnaen.
Sama seperti GM, saya juga tak dapat meredakan rasa kecewa saya kepada Aburizal Bakrie, tetapi saya tak memahami mengapa GM harus mengembalikan hadiah tersebut, yang saya pikir, tidak ada kaitannya. Hadiah yang diterima GM adalah hadiah di bidang budaya, sedangkan kekecewaan GM terhadap Aburizal Bakrie berkaitan dengan kapasitas Ical sebagai tokoh bisnis dan politik, seperti yang dikatakannya.
Mengembalikan hadiah, atau tidak menerima hadiah, adalah perbuatan yang tidak baik. Hadiah apa pun yang diberikan orang, kita harus menerimanya, begitulah menurut norma sopan santun kita sebagai orang timur, yang secara konvensional telah kita jalankan selama ini, mulai dari jaman nenek moyang kita dahulu.
Memberi hadiah adalah bentuk penghargaan, sedangkan menerima hadiah adalah sikap menghargai penghargaan orang lain.
Mungkin saya tidak punya cukup kemampuan untuk memahami jalan pikiran GM. Orang sehebat GM pastilah pikirannya njelimet, sulit dipahami oleh orang bodoh seperti saya. Dalam pikiran bodoh saya, yang sederhana, perbuatan mengembalikan hadiah adalah suatu perbuatan yang tidak patut dilakukan, selama orang yang memberi hadiah tersebut tidak meminta hadiahnya dikembalikan.
Benar apa kata Iskandar Zulkarnaen , perbuatan mengembalikan hadiah itu mempunyai dampak psikologis yang besar, baik pada yang memberi hadiah, yang menerima hadiah, maupun masyarakat yang mengetahui perbuatan tersebut.
Pada waktu transaksi pemberian hadiah itu dilakukan, bukankah kedua belah pihak sudah bersepakat; si pemberi hadiah memberikan hadiah itu dengan ikhlas, dan si penerima pun menerima hadiah tersebut dengan ikhlas. Baik si pemberi maupun si penerima hadiah tentu sudah berpikir matang sebelum memberikan dan menerima hadiah tersebut. Orang yang menyaksikan pemberian hadiah tersebut memahami bahwa hadiah itu diberikan dengan alasan tertentu, yang biasanya sudah diketahui umum, karena kapasitas orang yang diberi hadiah memang sudah siketahui oleh khalayak ramai.
Hadiah diberikan dalam sebuah kesepakatan dan dalam suasana saling pengertian. Tidak ada paksaan oleh si pemberi, juga tidak ada tuntutan oleh si penerima. Selayaknyalah, sebagai orang yang dewasa berpikir,kedua belah pihak menjaga spirit kesepakatan tersebut. Mengembalikan hadiah yang sudah diterima, atau meminta kembali hadiah yang sudah diberikan akan menodai kesepakatan tersebut, dan melukai hati salah satu pihak, bukankah dulu tidak ada paksaan untuk memberi atau menerima hadiah tersebut.
Setelah pemberian hadiah dilakukan, masyarakat menjadi maklum bahwa si penerima hadiah adalah seorang tokoh teladan di bidangnya, sesuai dengan kriteria pemberian hadiah tersebut, dan selanjutnya, masyarakat menjadikan sang tokoh sebagai sumber inspirasi dalam berpikir dan bertindak dalam bidang tersebut. Predikat sang tokoh penerima hadiah tersebut, dan persepsi masyarakat tentang hal itu, sudah fixed, tidak bisa berubah-ubah, meskipun terjadi perubahan pada sang tokoh, integritasnya, atau sikapnya terhadap hadiah yang dia terima tersebut, karena pemberian hadiah tersebut dilakukan berdasarkan penilaian di masa lalu, era sebelum hadiah itu diberikan.
Seorang penerima hadiah nobel akan tetap mempunyai kapasitas ke-nobel-annya, meskipun dia berubah menjadi menjadi orang gila, misalnya, atau dia mengembalikan hadiah tersebut, karena penilaian ke-nobel-annya dilakukan sebelum dia menerima hadiah tersebut.
Perbuatan mengembalikan hadiah tidak akan menghasilkan apa-apa. Tidak akan mengubah persepsi masyarakat tentang keberadaan hadiah tersebut dan kapasitas yang menerimanya. Pemberian hadiah tidak akan memberi stigma negatif pada yang memberi hadiah—kalau itu tujuannya. Pengembalian hadiah hanyalah pemberitahuan bahwa si penerima hadiah berubah pikiran terhadap hadiah yang dia terima.
Mengembalikan hadiah tidaklah efektif sebagai gerakan untuk menekan salah satu pihak, atau untuk membentuk opini masyarakat karena, paling-paling, gerakan itu hanya dipahami oleh sekelompok kecil elite, jauh dari jangkauan masyarakat awam.***
0 comments:
Post a Comment