Pengantar
Tahun Ajaran 2009/2010 segera berakhir. Para orang tua/wali murid, tak lama lagi, akan disibukkan oleh persiapan menghadapi Tahun Ajaran baru; menyiapkan seragam baru, sepatu baru, dan buku-buku baru, yang cukup memusingkan kepala, bagi sebagian orang. Bagi orang tua/ wali murid yang anaknya baru lulus SLTP, tentu lebih pusing lagi, karena harus memilih sekolah lanjutan yang cocok bagi anaknya tersebut. Tersedia dua pilihan, SMA atau SMK, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Di bawah ini adalah uraian mengenai SMK.
Kampanye pemerintah untuk mengundang siswa lulusan SLTP memasuki sekolah menengah kejuruan (SMK), belum mencapai hasil yang diharapkan. Data dari Depdiknas menunjukkan, saat ini, jumlah SMK di Indonesia baru mencapai 51%, dibandingkan dengan SMA 49%. Pemerintah menargetkan, pada tahun 2014, perbandingan SMK dan SMA mencapai 67% dan 33% (mydiskon.com/18 Nov.2009). Target yang sedemikian tinggi tampaknya tidak akan berhasil dicapai apabila minat lulusan SLTP memasuki SMK masih saja rendah seperti sekarang ini.
Rendahnya minat lulusan SLTA memasuki SMK adalah sebuah ironi di tengah-tengah tingginya angka pengangguran seperti saati ini, mengingat, SMK diproyeksikan menyiapkan tenaga kerja. Sementara, lulusan SMA yang diproyeksikan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, justru menganggur. Data menunjukkan hanya sebagian kecil lulusan SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Bertitik tolak dari kenyataan ini, seharusnya minat masyarakat menyekolahkan anaknya ke SMK tinggi.
Di pihak lain, niat pemerintah untuk mengembangkan SMK tinggi sekali. Sedemikian tingginya, sehingga, di tengah-tengah keterbatasan dana, pemerintah berniat ‘menyulap’ beberapa SMA menjadi SMK. Sebelum niat itu dilaksanakan, ada baiknya pemerintah mengkaji terlebih dahulu, mengapa minat masyarakat menyekolahkan anaknya ke SMK masih kecil, dibandingkan ke SMA.
***
Rendahnya minat masyarakat menyekolahkan anaknya ke SMK boleh jadi disebabkan oleh; 1. adanya
segregasi tradisional antara kejuruan pria dan kejuruan wanita; dari jaman dahulu kala, kejuruan teknik otomotif identik dengan pria, dan kejuruan tata busana dan tata boga identik dengan wanita, pandangan seperti ini, tampaknya sulit diubah begitu saja, 2. imej sekolah kejuruan sebagai tempat pembuangan siswa yang bodoh dan nakal, 3. adanya identifikasi kejuruan yang terlalu mencolok, seperti pemakaian seragam yang mirip militer, pada kejuruan tertentu, 4. kurangnya pemahaman calon siswa mengenai relevansi ilmu yang didapat di sekolah dengan masa depannya.
Di bawah ini adalah uraian mengenai relevansi pendidikan kejuruan dengan masa depan siswanya.
Sekolah menengah kejuruan (SMK) merupakan salah satu lembaga pendidikan kejuruan, yakni sebuah lembaga pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan siswa memasuki lapangan kerja dan mengembangkan sikap profesional (Kep. Mendikbud 0490/4/1992). Dalam menjalankan misinya, SMK menganut azas ‘pendidikan dan latihan’ (diklat). Namun demikian, tidak pula tertutup kemungkinan, lulusan SMK melanjutkan ke perguruan tinggi.
Terlepas dari rencana melanjutkan studi atau tidak, tidaklah terlalu dini bagi seorang siswa untuk mempersiapkan diri memasuki dunia kerja. SMK, dalam hal ini, membantu siswa menyiapkan beberapa komponen yang dipandang perlu, untuk mencapai sukses ketika siswa memasuki dunia kerja. Pertama, dengan memberi kewenangan penuh pada siswa untuk memilih kejuruan yang mereka minati. Kedua, dengan menentukan seperangkat skills dan kualifikasi yang diperlukan untuk bidang kejuruannya itu. Dan ke-tiga, dengan memberi kesempatan pada siswa untuk praktik kerja lapangan, jika siswa sudah siap.
Menentukan Pilihan
Dengan memberikan kewenangan penuh pada siswa untuk memilih bidang kejuruan yang mereka minati, berarti kita memberikan kewenangan penuh pada mereka untuk menentukan jalur kariernya sejak dini. Dengan demikian, siswa harus menerima sejumlah komitmen dari pilihannya itu. Jika siswa mempunyai komitmen terhadap pilihannya, mereka akan mampu melihat relevansi pendidikan dan latihan (diklat) itu bagi masa depannya.
Menentukan karier, dan diklat yang yang menyertainya, akan meningkatkan kesadaran siswa tentang arti pentingnya diklat itu sendiri. Dengan menyadari arti pentingnya diklat, siswa bisa menentukan karier yang cocok baginya.
Aspek lain dari pentingnya memberikan kewenangan pada siswa untuk menentukan pilhan kariernya adalah, siswa akan dapat menerima segala konsekuensi dari pilihannnya itu.
Keahlian (Skills)
Untuk menjawab tantangan kerja dewasa ini, siswa harus dibekali dengan keahlian yang cukup. Dunia kerja dewasa ini memerlukan seorang pekerja yang efektif, fleksibel, dan mampu beradaptasi dengan dunia kerja, dan bersifat mobile dalam dunia kerja. Untuk itu, seorang pekerja harus mempunyai keahlian.
Sekolah Menengah Kejuruan melengkapi siswanya dengan berbagai keahlian, baik keahlian di bidang kejuruannya, maupun keahlian dasar (key skills) yang berlaku untuk semua bidang kejuruan. Keahlian kejuruan adalah keahlian yang dididik dan dilatih, sesuai dengan pilihan kejuruan siswa, sedangkan keahlian dasar adalah keahlian yang harus dikuasai oleh siswa semua bidang kejuruan.
Untuk memberi siswa keahlian dasar, Sekolah Menengah Kejuruan mengacu pada enam keahlian dasar menurut British Qualifications & Curriculum Authority (QCA, 1999), yaitu, keahlian komunikasi, keahlian mengolah angka, keahlian teknologi informasi, keahlian bekerja sama, keahlian dalam peningkatan belajar mandiri, dan keahlian pemecahan masalah.
Praktik Kerja Industri
Sebelum memasuki dunia kerja, siswa perlu melakukan praktik kerja industri, guna untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma dan budaya yang ada dalam lingkungan pekerja yang lebih dewasa, dan lingkungan kerja pada umumnya.
Lingkungan sekolah sama sekali berbeda dengan lingkungan kerja yang sebenarnya. Di lingkungan sekolah, siswa hanya beradaptasi dengan teman sebaya dan orang dewasa sebagai penyedia, seperti guru, staf administrasi, dan penjaga sekolah. Siswa yang kurang bergaul dengan orang dewasa di luar lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial, cenderung lebih sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan, cenderung menimbulkan konflik dalam dirinya sendiri, atau mencari bantuan orang lain untuk memecahkan konflik tersebut.
Belajar menyesuaikan diri dengan orang dewasa dalam sebuah lingkungan kerja yang sebenarnya, melalui praktik kerja industri, sangat diperlukan, sebagai bekal sebelum siswa memasuki dunia kerja yang sebenarnya. Siswa yang telah melakukan praktik kerja industri, sering melaporkan bahwa mereka diperlakukan sebagai ‘orang dewasa’ oleh rekan kerja mereka. Tidak seperti guru yang memperlakukan mereka sebagai anak-anak.
Pengalaman kerja yang didapat siswa melalui praktik kerja industri, akan menambah rasa percaya diri siswa terhadap pekerjaan yang akan mereke geluti, setelah selesai sekolah, dan akan lebih menguntungkan bagi pengguna jasa (employer), karena tidak harus mengeluarkan biaya ekstra untuk training pegawai baru.***
Referensi
William H, Jackson, Vocational development: Keys to Building A Career
Bandura, A Barvaranelli, C., Capara, G. V.,Pastorelli, C. (2001). Self-efficacy beliefs as shapers of children’s aspiration and career trajectories. Child development, 72(1), pp. 187-206
0 comments:
Post a Comment