“Maaang …, salaman …!!!,” kata teman saya. Kami semua berdiri di depan pintu. Orang yang kami panggil Mamang, sang pemilik rumah ada di dalam, di bagian paling dalam rumah itu. Mungkin mereka tidak menyadari kedatangan kami, atau mungkin juga tidak perduli.
Mamang adalah sebutan akrab kami warga pribumi terhadap mereka yang berasal dari Jawa, tidak perduli Jawa Barat, Jawa Tengah, atau Jawa Timur. Lebih dari itu, sebutan Mamang juga adalah sebuah degradasi sosial. Sebutan itu dikhususkan bagi mereka yang bekerja sebagai pekerja kasar, seperti buruh tani, buruh bangunan, pedagang jalanan, dan kuli angkut, tidak pernah ditujukan bagi para pekerja kerah putih atau pekerja kantor, atau pejabat.
Orang yang disebut Mamang pun biasanya langsung menyadari akan posisinya, dan biasanya tidak pernah menuntut lebih, marah-marah, menuntut sebutan lain, misalnya. Begitulah kami membangun pranata sosial; berdasarkan toleransi dan saling pengertian. Hehehe ….
Orang yang kami panggil Mamang di atas adalah seorang penjual miso dan es campur pinggir jalan. Kami biasa memanggilnya Mamang Gendut karena perutnya yang gendut. Mamang gendut tetangga kami itu cukup akrab dengan para tetangga lain, juga anak-anak. Setiap hari rumahnya dipenuhi oleh anak-anak tetangga berkumpul, bermain dan mengobrol, sambil mendengarkan musik dari tape recorder, satu-satunya hiburan di kala itu, di samping RRI, atau sandiwara dengan musik. Mamang Gendut mempunyai speaker salon yang gede, membuat suara tape-nya berdentum-dentum memuaskan telinga siapa saja yang mendengarnya.
Waktu itu kaset yang paling sering disetel oleh Mamang gendut adalah kaset O.M. Awara, dengan Achmadi dan Ida Laila sebagai vokalisnya. Saking seringnya kaset itu disetel berulang-ulang, saya sampai hapal beberapa lagunya, sampai sekarang. Kadang-kadang diselingi pula dengan sandiwara dari kaset. Satu sandiwara yang masih saya ingat sampai sekarang adalah sandiwara Malin Kundang. Saya pernah ikut menitikkan air mata mendengarkan sandiwara ini. Hehehe ….
Dan Mamang Gendut welcome saja dengan kami para anak-anak, mungkin karena mereka, suami istri itu tidak dikarunai anak seorang pun. Namun, kadang-kadang Mamang Gendut pusing juga dengan keberadaan kami di rumahnya, mungkin ketika itu dagangannya tidak lagu. Kalau sudah demikian, tak jarang kami diusirnya.
Begitulah, setiap lebaran tiba, kami anak-anak berkeliling desa, dengan baju baru, seperti pawai, menyambangi rumah ke rumah, bersalaman, mengharap mendapatkan berkah. Di samping kegembiraan memakai baju baru, kegembiraan atau euforia lainnya adalah jalan-jalan dan mendapat uang jajan, sebuah kesempatan yang hanya kami dapatkan secara intens setahun sekali. Ya, berkah dalam arti yang harfiah, alias uang receh untuk jajan.
Entah mengapa, ketika lebaran tiba, yang dicari anak-anak, seperti kami, adalah uang jajan. Bersalaman bukan bermaksud untuk bermaaf-maafan, tetapi untuk meminta uang. Benar saja kami mendapatkan uang dari mereka yang memberi, mereka yang lebih berduit daripada keluarga kami. Tapi tentu saja kami tidak mendapatkan uang dari semua orang atau keluarga yang kami salami, karena beberapa di antara keluarga itu adalah juga keluarga yang tidak berduit.
Mungkin karena hari raya Idul Fitri adalah saat yang tepat untuk memberi atau bersedekah, sehingga orang-orang kaya merasa banyak yang memanfaatkan kesempatan itu, sehingga anak-anak orang miskin seperti kami pun kecipratan uang, yang sehari-harinya tidak mungkin kami dapatkan sebanyak itu.
Saya sering iri dengan teman saya. Kalau bersalaman, dialah yang diberi uang paling banyak karena statusnya sebagai anak yatim. Perolehannya adalah dua kali lipat dari perolehan saya. Jumlah yang kami terima ketika itu tentu tidak sebesar sekarang. Sekarang apalah arti jumlah uang akibat inflasi yang terus menerus seperti ini. Uang seratus rupiah saat ini siapa yang mau melirik. Mana ada anak yang mau diberi uang seratus rupiah sekarang ini. Tapi pada waktu itu uang seratus rupiah masih sangat berarti, mungkin kalau sekarang nilainya sama dengan dua ribu rupiah.
Setiap bersalaman, ada yang memberi teman saya tersebut seratus rupiah, dan saya mendapat limapuluh rupiah, dan ketika dia diberi lima puluh rupiah, maka saya dan teman-teman lainnya mendapat duapuluh lima rupiah. Tapi kami tidak iri dengan dia. Kami memahami memang begitulah seharusnya. Memang dialah yang lebih pantas diberi uang daripada kami. Kami, toh, masih mempunyai bapak, yang meskipun tidak beruang, tetapi sekurangnya membuat kami lebih pede menjalani kehidupan ini.
Namun tidak selalu kami mendapat uang dari orang yang kami salami. Sering pula yang kami dapatkan hanya do’a. “Semoga cepat gede. Banyak rejeki. Sehat selalu,” kata mereka. Begitulah bunyi do’a yang sering kami dapat, yang disampaikan dengan tulus oleh orang-orang yang kami salami. Mendengar do’a yang disampaikan dengan ketulusan seperti itu tentu membuat hati kami sejuk juga, tidak kalah dengan menerima uang lima puluh rupiah atau seratus rupiah yang sering diberikan dengan tanpa do’a. Ada rasa kepuasan tersendiri mendengar do’a seperti itu diucapkan khusus untuk kita, yang tidak bisa dibandingkan dengan uang.***
Selamat Idul Fitri 1431 H. Mohon maaf lahir bathin
Post a Comment