goodreads.com |
Judul: Sumatera tempo Doeloe dari Marco polo sampai Tan Malaka
Penyusun: Anthony Reid
Penyunting: Dewi Anggraeni
Penerbit: Komunitas Bambu
Ternyata adanya kanibalisme di Sumatera Bagian Utara pada beberapa abad lalu bukan hanya isapan jempol, paling tidak menurut buku ini. Dalam buku yang merupakan bunga rampai catatan para petualang Barat yang pernah singgah di Sumatera ini, tidak kurang ada tiga atau empat tulisan yang mengungkapkan praktik kanibalisme di wilayah tersebut.
Dalam salah satu tulisan dalam buku ini, diceritakan bagaimana praktik kanibalisme ini dilakukan di kerajaan Dragoian (Pidie): … ketika salah satu dari anggota keluarga mereka jatuh sakit, kerabat si sakit akan memanggil salah satu penyihir untuk datang dan mencari tahu apakah si sakit bisa sembuh atau tidak. Penyihir tersebut akan menggunakan mantra, berhala mereka, serta ilmu yang sangat jahat guna mengetahui apakah si sakit ditakdirkan untuk sembuh atau mati. …. Jika penyihir itu berkata bahwa si sakit akan mati, kerabat si sakit akan memanggil orang-orang tertentu yang ditunjuk khusus untuk membunuh orang-orang seperti si sakit. Orang-orang itu datang dan mencengkeram si sakit dan menaruh sesuatu ke mulutnya sehingga dia mati kehabisan napas. Ketika dia sudah mati, mereka akan memasaknya. Kemudian para kerabat akan berkumpul dan menyantap seluruh badan orang itu. …. Mereka bahkan menyantap semua sumsum dalam tulang-tulang orang itu. (Marco Polo: Para Kanibal dan Raja-Raja: Sumatera Utara Pada 1290-an, Halaman 10-11).
Kalau sekiranya cerita di atas sudah terlampau kuno dan dianggap sudah tidak relevan dengan keadaan sekarang, atau keadaan di penghujung millennium ke-dua, ternyata praktik kanibalisme tersebut masih berlangsung hingga abad ke sembilanbelas. Richard Burton dan Nathaniel Ward, dalam tulisan Memasuki negeri Batak Toba, menceritakan bahwa praktik kanibalisme masih berlangsung di sebuah wilayah yang bernama Silindung. Di wilayah ini, penduduknya menghukum pencuri dan perampok dengan cara mengeksekusi mereka di depan umum dan memakan dagingnya. Selain itu, mereka juga membunuh dan memakan para tawanan perang yang tertangkap.
Selain cerita tentang kanibalisme, tentu masih banyak cerita-cerita lain dalam buku ini yang menarik, seperti cerita tentang Aceh, misalnya.
Kebanyakan tulisan dalam buku ini menceritakan tentang Aceh, mulai dari abad pertengahan sampai menjelang akhir abad ke-19, mulai dari betapa kayanya kerajaan-kerajaan Aceh di kala itu, dengan perahu dan kapal-kapalnya yang berlapis emas, gunung-gunung dan sungai-sungai yang mengandung bungkahan emas, sampai cerita betapa kejamnya hukuman badan yang ditimpakan pada para pencuri dengan cara memotong bagian-bagian tubuh mereka.
Dan adapula cerita tentang sebuah sungai di Aceh yang ketika itu bisa menyembuhkan berbagai penyakit termasuk luka amputasi. Para pencuri yang diamputasi beberapa bagian tubuhnya (ada yang dipotong kedua tangan dan kakinya sama sekali) merendam luka-luka mereka di sungai ini, dan mendapat kesembuhan dari padanya.
***
Sejarah adalah masa lalu. Hubungan sejarah dengan dunia saat ini—kita sekarang—terutama sejarah sebelum abad ke-sembilanbelas, hanyalah melalui tulisan-tulisan, baik yang terdapat di atas kertas, daun lontar, maupun di atas batu-batu, di samping lukisan yang keberadaannya lebih muda dan skopnya lebih terbatas dibandingkan dengan tulisan. Baru pada mulai pertengahan abad ke sembilanbelas, peristiwa sejarah mulai lebih jelas tergambar setelah ditemukannya, still foto dan gambar hidup (film).
Dengan demikian, sejarah berada di tangan orang-orang yang bisa menulis. Kejujuran sejarah tergantung pada kejujuran orang yang menulisnya. Maka tidak heran jika seringkali timbul keraguan mengenai sejarah, mengingat sang penulis tentu hanya menulis dari sudut pandang dirinya sendiri, atau kepentingan kelompoknya, sedangkan orang yang membaca sejarah boleh jadi memandangnya dari sudut yang berbeda-beda.
Begitupun isi buku ini yang notabene merupakan catatan-catatan perjalanan para petualang yang pernah singgah si Sumatera tempo doeloe (sebenarnya kurun waktunya lebih tua dari sekedar ‘tempo doeloe’). Sudut pandang pribadi penulisnya tentu banyak mewarnai tulisan-tulisan mereka, di samping dramatisasi yang kadang-kadang berlebih-lebihan.
Beberapa di antara tulisan-tulisan yang ada dalam buku ini sempat diragukan dan dipertanyakan kebenarannya karena mengandung dramatisasi dan mengemukakan informasi yang tidak sesuai fakta. Bahkan ada pula penulisnya yang diragukan pernah berkunjung dan tinggal di Sumatera. Namun, tentu saja, tulisan-tulisan tersebut telah melewati meja editing Anthony Reid sang penyusun, dan mungkin juga beberapa peneliti sebelumnya, sehingga sisa-sisa yang termuat di dalam buku ini boleh jadi merupakan fakta yang bisa kita jadikan tempat berpaling untuk mencari kebenaran. Wallahualam.***
0 comments:
Post a Comment