KIM JAE-HWAN/ Getty Images - Smoke billows from fires raging at the port in Tagajo, Miyagi prefecture on March 13, 2011 following a massive earthquake and tsunami on March 11. |
Ledakan. Radiasi. Evakuasi. Lebih dari 30 tahun setelah peristiwa Three Mile Island, bencana di Jepang baru-baru ini telah membangkitkan kembali sebagian dari mimpi paling buruk mengenai tenaga nuklir—dan memulai kembali sebuah perdebatan besar mengenai keuntungan dan kerugian dari sumber daya energi yang satu ini. Apakah energi nuklir menawarkan sebuah jalan keluar dari bahan bakar berbasis karbon? Ataukah pembangkit listrik tenaga nuklir merupakan sebuah ancaman besar? Inilah saatnya kita memisahkan mitos dari kenyataan.
1. Masalah terbesar energi nuklir adalah keselamatan.
Keamanan tentu saja merupakan sebuah isu yang kritikal, seperti yang ditunjukkan oleh tragedi di Jepang sekarang ini. Namun dari pengalaman selama bertahun-tahun, tantangan terbesar dari energi nuklir yang berkesinambungan bukanlah kemanan, tapi biaya.
Di Amerika Serikat, pembangunan energi nuklir sudah melambat bahkan sebelum peristiwa kebocoran parsial pada di Three Mile Island pada tahun 1979; bencana tersebut menjadi penentu nasib energi ini. Pembangkit listrik tenaga nuklir yang terakhir yang beroperasi mulai menyalurkan daya pada tahun 1996—tapi pembangunannya dimulai pada tahun 1972. Sekarang ini tenaga nuklir masih lebih mahal daripada tenaga batu bara atau tenaga gas, terutama karena pembangkit listrik tenaga nuklir sangatlah mahal biaya pembangunannya. Perkiraan ini boleh jadi meleset, tapi pembangunan sebuah mesin pembangkit listrik tenaga nuklir bisa menelan biaya $5 miliar. Sebuah studi yang dilaksanakan oleh MIT pada tahun 2009 memperkirakan biaya membanguan energi nuklir (termasuk biaya konstruksi, perawatan dan bahan bakar) adalah sekitar 30 persen lebih tinggi daripada biaya membangun energi tenaga batubara atau gas.
Tentu saja, biaya dan keselamatan tidaklah berhubungan. Perhatian soal keselamatan mengakibatkan proses perijinan dan peraturan menjadi ekstensif dan menimbulkan ketidakpastian dalam kalkulasi para developer—yang kedua-duanya mengakibatkan biaya pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir baru semakin mahal. Tidaklah jelas akan menjadi sebesar apa biaya konstruksi tersebut jika biaya keamanan dan biaya pembangunannya menjadi lebih murah—dan setelah bencana Fukusima, tampaknya kita mulai enggan untuk menghitungnya.
2. Pembangkit listrik tenaga nuklir adalah sasaran empuk teroris.
Adalah mudah menjadi takut terhadap serangan teroris terhadap pembangkit listrik bertenaga nuklir. Setelah serangan 11 September, cottage industry mengenai ancaman teroris bermunculan, kebanyakan membayangkan cara serangan teroris yang lebih kreatif dan lebih mengerikan yang bisa menyerang fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir dan menimbulkan resiko yang maha besar.
Tentu ada resiko yang pasti: Ahli nuklir Matthew Bunn dari Harvard University menggaris bawahi bahwa serangan teroris yang terencana dengan baik kemungkinan akan menimbulkan bencana simultan seperti yang dialami reaktor-reaktor nuklir Jepang dengan sistem pendukung berlapisnya akibat serangan gempa bumi dan tsunami sekarang ini. Namun menyerang pusat pembangkit listrik tenaga nuklir adalah lebih sulit dari yang kita perkirakan, dan para teroris akan mengalami kesulitan besar dalam menimbulkan dampak kerusakan seperti yang diakibatkan oleh gempa 11 Maret terhadap pembangkit listrik tenaga nuklir di Jepang kemarin. Teroris juga akan mengalami kesulitan untuk mem menembus kubah-kubah beton (concrete domes) dan barrier-barrier lain yang mengelilingi reaktor-reaktor di A.S. Dan meski telah ada upaya serangan serupa di masa lalu—yang paling terkenal adalah serangan yang dilakukan oleh kelompok separatis Basque di Spanyol pada tahun 1997—tidak ada yang menimbulkan kerusakan besar.
Tentu, kolam-kolam air di mana reaktor-reaktor tersebut menyimpan bahan bakar bekas pakai, yang terletak di luar kubah-kubah penampung (containment domes), adalah lebih rentan daripada reaktor-reaktornya dan bisa menimbulkan kerusakan yang serius jika diserang; ada perdebatan di antara para analis dan industri mengenai apakah teroris bisa menyerang kolam-kolam air tersebut secara efektif.
3. Partai Demokrat menentang penggunaan tenaga nuklir; Partai Republik mendukung.
Ya, politisi partai republik antusias dengan energi nuklir, sedangkan politisi partai Demokrat skeptis. Lagi pula, banyak politisi partai republik yang mendukung bantuan bagi industri nuklir seperti memberi jaminan pinjaman untuk para developer nuklir, sedangkan politisi partai Democrat banyak yang menentangnya. Namun politik tenaga nuklir telah berubah dalam beberapa tahun terakhir ini, terutama karena adanya perubahan iklim.
Paratai Demokrat, termasuk banyak pendukung gerakan peduli lingkungan, telah menjadi lebih terbuka terhadap tenaga nuklir sebagai pilihan energi skala besar dengan emisi nol. Steven Chu, sekretaris energi Presiden Obama, antusias terhadap pilihan energi nuklir. Ketika diminta untuk membandingkan tenaga nuklir dengan tenaga batubara pada tahun 2009, Chu mengatakan: “Saya lebih suka tinggal di dekat pusat pembangkit listrik tenaga nuklir.”
Lompatan prospectif terbesar dari tenaga nuklir dalam dua tahun belakangan ini adalah sebuah inisiatif yang dilancarkan oleh Demokrat dan decemooh oleh Republik: Undang-Undang Pembatasan Emisi (cap-and-trade legislation). Cap-and-trade akan menghukum sumber tenaga yang menyebabkan polusi seperti para pengguna batubara dan gas, yang dengan demikian mendorong industri untuk beralih ke tenaga nuklir. Simulasi Departemen Energi mengenai RUU iklim Waxman-Markey yang malang itu memproyeksikan bahwa Departemen tersebut akan menambah pembangkit listrik tenaga nuklir hingga 74% pada tahun 2030.
Namun meski Demokrat kini jadi lebih menerima tenaga nuklir, hanya sedikit yang antusias. Tragedi Jepang boleh jadi membuat mereka akan berpikir dua kali.
4. Tanaga nuklir adalah kunci bagi independensi energi.
Ketika kita berbicara tentang independensi energi, kita berpikir tentang minyak, yang banyak kita gunakan untuk kendaraan dan industri. Ketika kita berbicara tentang nuklir, though, kita berpikir tentang listrik. Semakin banyak penggunaan tenaga nuklir berarti semakin sedikit penggunaan tenaga batubara, gas alam, tenaga hidrolik dan tenaga angin. Tapi kecuali kita mulai menggunakan tenaga nuklir untuk mobil kita dan kendaraan semi trailer kita, semakin banyak penggunaan tenaga nuklir tidaklah berarti semakin sedikit penggunaan minyak.
Masalahnya tidak selalu begitu: Selama masa jayanya tenaga nuklir, awal tahun 1970-an (45 pembangkit listrik tenaga nuklir didirikan antara 1970 dan 1975), minyak adalah sumber listrik yang besar, dan meningkatkan tenaga nuklir adalah cara yang real untuk mengurangi penggunaan minyak. Sialnya, ketika kita telah menggantikan cukup banyak minyak sebagai sumber listrik; kesempatan untuk mengganti minyak dengan tenaga nuklir malah sirna.
5. Kemajuan teknologi bisa membuat tenaga nuklir menjadi lebih aman.
Teknologi bisa meningkatkan keselamatan, namun akan selalu ada resiko dalam tenaga nuklir. Reaktor-reaktor Jepang yang terdapat di pusat bencana baru-baru ini menggunakan teknologi lama yang justru meningkatkan kerentanannya. Reaktor generasi mendatang akan “didinginkan secara pasif,” yang berarti jika daya pendukungnya gagal seperti yang dialami Jepang, maka kebocoran (metdowns) akan lebih mudah dicegah. (Sistem pendinginan pasif bermacam-macam, namun fitur utamanya adalah ketidaktergantungannya pada pada tenaga eksternal (external power). Perbaikan yang berteknologi rendah lainnya, seperti struktur penampungan (containment) yang lebih kuat, juga bisa mengurangi resiko.
Tapi apa yang terjadi di Jepang mengingatkan kita bahwa bahaya takterduga tidak bisa dihindari dalam sebuah sistem yang sangat kompleks. Engineering yang saksama bisa mengurangi resiko bencana, tapi tidak bisa menghilangkannya sama sekali. Para operator dan pihak penguasa perlu memastikan mereka telah benar-benar siap menghadapi kerusakan yang tak terduga meskipun mereka telah bekerja untuk mencegahnya.
Kebanyakan sumber-sumber energi mempunyai resikonya sendiri-sendiri. Kita telah menyaksikan tumpahan minyak di teluk Meksiko, ledakan fatal di tambang batubara Upper Big Branch di Virginia Utara dan sekarang bencana di Jepang. Rakyat Amerika perlu memutuskan apakah resiko tenaga nuklir—dibandingkan dengan sumber-sumber energi lainnya—adalah terlalu tinggi. (By Michael A. Levi, Wednesday, March 16,)
Michael A. Levi , a senior fellow and director of the program on energy security and climate change at the Council on Foreign Relations, is the author of “On Nuclear Terrorism.”
Want to challenge everything you know? Visit our “Five Myths” archive.
0 comments:
Post a Comment