Pernahkah Anda memasuki sebuah restoran atau rumah makan dan menemui hidangannya tidaklah selengkap menu yang tertera di etalase kaca depan atau di lembaran menu yang mereka sediakan di atas meja. Perasaan Anda tentu dongkol bukan kepalang, apalagi kalau Anda datang jauh-jauh hanya untuk itu, apalagi jika itu adalah restoran atau rumah makan langganan Anda, apalagi jika hanya itulah tempat makan yang sesuai dengan selera Anda, apalagi jika sudah lama Anda tidak mempunyai kesempatan menyantap makanan kegemaran Anda tersebut, apalagi jika ketika itu Anda sangat lapar. Apalagi jika ….
Kalau Anda berada di Indonesia , tentu kejadian seperti ini sering menimpa Anda. Bukan sekali dua kali, mungkin sudah beberapa kali.
Saya sendiri sudah mengalaminya beberapa kali. Rumah makan lesehan yang sering saya kunjungi, suatu ketika kehabisan sayur asem yang biasa mereka hidangkan sebagai pendamping menu hidangan utama seperti ikan bakar atau ikan goreng. Tapi sayang, si pelayan bukannya memberi tahu saya hal ini terlebih dahulu. Dia baru memberitahu ketika saya menanyakan hal itu, ketika dia menghidangkan menu utama yang saya pesan. Saya memang tidak menyebutkan sayur asem dalam pesanan saya karena sayur asem tersebut biasanya dihidangkan sebagai penyerta hidangan utama. Hidangan utama apa saja yang dipesan pelanggan akan disertai sayur asem serupa, tanpa perlu mereka pinta.
“Sayur asemnya abis,” katanya dengan enteng, tanpa merasa bersalah sama sekali, sambil menyodorkan irisan mentimun dan lalap dedaunan mentah sebagai gantinya. Dia tidak tahu betapa dongkolnya perasaan saya. Apalagi sayur asem tersebut adalah salah satu daya tarik utama saya datang ke tempat itu. Mana mungkin saya makan hidangan utama tanpa sayur asem. Itu adalah ciri utama rumah makan tersebut. Sayur asem adalah pembangkit selera, pendorong kita makan hidangan utama. Dan para pelanggan pun sudah tahu menu utama seperti ikan bakar, ikan goreng, ayam bakar, ayam goreng, dll selalu dihidangkan dengan sayur asem. Kalau saya tahu sejak semula sayur asemnya habis, saya tidak akan makan di tempat itu.
Lain ketika, dalam sebuah perjalanan dengan travel, kami singgah di sebuah rumah makan yang rupanya sudah menjadi langganan mobil travel. Hampir semua mobil travel singgah di rumah makan tersebut, juga mobil pribadi, truk, dan tansport barang berat lainnya. Ketika kami tiba, banyak mobil parkir di depan rumah makan tersebut, penanda rumah makan sedang penuh.
Dan benar saja. Rumah makan tersebut penuh. Untunglah ketika kami tiba, beberapa pengunjung yang sudah selesai makan langsung beranjak, menyediakan tempat untuk kami. Tapi sial. Hidangannya sudah tidak lengkap. “Nggak ada sayur?” tanya saya pada pelayan, sambil mengangkat sepotong ayam bakar. “Abis,” jawabnya sambil tersenyum. Saya maklum. Karena perut memang lapar, terpaksa saya makan tanpa sayur. Bayangkan. Makan ayam goreng tanpa sayur adalah bukan kebiasaan saya. Tapi itu terpaksa saya lakukan karena tidak ada pilihan lain. Tidak ada rumah makan lain di situ.
Begitulah kinerja rumah makan dan warung makan di negeri kita ini. Kebanyakan rumah makan, terutama yang sekelas warteg atau rumah makan kelas ekonomi tidak mengutamakan kepuasan pelanggan, alias tidak profesional. Sedangkan mereka tahu apalah artinya sebuah rumah makan jika pelanggannya tidak puas. Pelanggan adalah faktor kunci bagi operasi sebuah rumah makan.
Tapi mereka enjoy aja, tanpa merasa terusik, ketika salah satu bagian dari menu yang mereka sediakan habis. Mereka tidak berpikir bahwa hal itu akan mengecewakan pelanggan. Pelanggan yang sudah jauh-jauh datang dengan niat akan menuntaskan selera makan mereka yang sudah lama terpendam terpaksa gigit jari, dan membatalkan niatnya. Dan pulang dengan kecewa.
Rumah makan lesehan yang saya sebutkan di atas seharusnya menutup operasinya di hari itu ketika persediaan sayur asem mereka sudah habis. Bukankah sayur asem itu adalah bagian pokok dari produk yang mereka tawarkan. Tidak seharusnya mereka meneruskan operasi tanpa salah satu bagian pokok tersebut karena hal itu akan menghancurkan kredibilitas mereka sendiri, di samping mengecewakan pelanggan.
Rumah makan langganan travel itu seharusnya bisa mengantisipasi ledakan pengunjung yang akan terjadi. Mereka seharusnya tahu jika pengunjung penuh, maka sayur akan habis karena hal ini tentu bukan yang pertama kalinya terjadi. Mereka seharusnya bisa membaca bagian menu yang mana yang perlu disediakan lebih, dan yang mana boleh dikurangi.
Inilah mungkin salah satu faktor yang membuat banyak rumah makan tutup; karena tidak mengutamakan kepuasan pelanggan, alias tidak profesional. Kata 'abis' seharusnya tidak boleh ada dalam kamus rumah makan yang mengutamakan kepuasan pelanggan. Rumah makan yang mengutamakan kepuasan pelanggan harus bisa menjaga konsistensi menu yang mereka tawarkan. Kata 'abis' tidak boleh ada dalam situasi apapun, kecuali kalau rumah makan tersebut mau ditutup. "Abis" adalah kata kunci untuk membuat pelanggan menjauh.
0 comments:
Post a Comment