Karena hotel yang dikelolanya dijelek-jelekkan oleh sebuah situs media online, teman saya mengadu ke Polda. Situs media online milik sebuah hotel pesaingnya tersebut ditujukan terutama untuk wisatawan asing, dan ditulis dalam bahasa Inggris. Hotel tersebut adalah sebuah hotel wisata, terletak di tepi pantai, dengan sasaran pelanggan para wisatawan asing. Meski hotel tersebut tidak menolak wisatawan lokal, namun, khususnya di musim selancar, mereka hanya menerima wisatawan asing seratus persen.
Sedangkan hotel teman saya adalah hotel umum, terletak di tengah kota , dengan para pelanggan yang juga umum, seperti para pebisnis, salesman, pegawai, dan juga wisatawan. Dahulu, sebelum terdapat banyak penginapan di tepi pantai, hotel teman saya tersebut juga sering dijadikan markas para pelancar mancanegara. Tapi kini, setelah penginapan pinggir pantai tumbuh subur bak jamur di musim hujan, para turis jarang menginap di sana . Mereka lebih suka menginap di tepi pantai, yang berhadapan langsung dengan laut. Salah satunya adalah di hotel yang memiliki situs tersebut di atas.
Praktis, hotel temanku itu kini jarang sekali mendapat tamu turis mancanegara, otomatis penghasilannya pun menurun. Sudahlah menderita akibat penurunan pendapatan ini, kini hotelnya dijelek-jelekkan pula di Internet. Pantas saja temanku itu jadi uring-uringan.
Mulanya, temanku itu tidak bermaksud mengadu ke polisi, melainkan memilih cara penyelesaian damai, dengan mendatangi hotel yang memiliki situs tersebut. Meminta mereka meminta maaf, dan menghapus tulisan tersebut. Karena artikel tersebut ditulis dalam bahasa Inggris, saya diajak, beserta salah seorang kerabatnya yang juga seorang pengacara.
Artikel tersebut sebenarnya sudah lama terbit. Tapi karena tidak pernah membuka Internet, dan sedikit gaptek, temanku itu baru mengetahuinya belakangan ini, setelah diberitahu oleh seorang kerabatnya yang kebetulan pernah melihat artikel tersebut di Internet. Sayang, hal ini terjadi tepat satu tahun tiga bulan setelah artikel itu diterbitkan. Sudah agak terlambat. Dengan asumsi bahwa situs tersebut milik sebuah hotel yang cukup ternama di bidang wisata daerah kami, tentu sudah banyak yang membaca artikel tersebut.
Celakanya pula, temanku itu baru tahu setelah si penulis artikel tersebut meninggal dunia, sekitar seminggu sebelumnya. Kebetulan salah seorang kerabat temanku itu mengetahui pula ikhwal kematian sang penulis artikel tersebut sehingga dia melakukan searching di Internet untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Pada saat itulah dia menemukan artikel itu. Kebetulan sekali. Mungkin kalau sang penulis tidak meninggal dunia, artikel tersebut tidak pernah akan ditemukan.
Meski kecewa karena terlambat mengetahui keberadaan artikel tersebut, temanku tidak mengurungkan niatnya untuk melakukan protes. Memang, idealnya, protes dilakukan ketika sang penulis masih hidup, tetapi apa boleh buat, masalah ini mendesak diselesaikan. Tidak mungkin artikel itu akan dibiarkan begitu saja hanya karena sang penulisnya sudah meninggal dunia, akibatnya tentu akan sangat tidak menguntungkan. Lagi pula, bukankah selalu ada celah penyelesaian di balik setiap kerumitan.
Kami bertiga diterima oleh istri sang penulis artikel di sebuah shelter yang teduh, di depan hotel mereka, di pinggir pantai, di sore hari. Setelah menyampaikan rasa turut berduka cita atas meninggalnya almarhum, kerabat temanku yang pengacara, yang berfungsi sebagai wakil kami bertiga, langsung menyampaikan pokok permasalahannya. Sedangkan aku dan temanku itu hanya mendengarkan, sebagaimana yang sudah diatur. Temanku yang pemilik hotel diatur agar tidak menyampaikan sepatah katapun, semuanya diwakilkan dengan kerabatnya yang pengacara itu. Dan aku tentu saja hanya mendengarkan apa yang terjadi, menunggu kalau-kalau ada bantahan seputar isi artikel tersebut, yang menunjukkan bahwa kami salah mengerti, misalnya.
Sambil menyodorkan hard copy artikel tersebut, teman kami yang pengacara menyampaikan betapa isi artikel itu sangat tidak merugikan hotel teman kami itu. Sebelumnya saya sudah menggaris bawahi ide-ide pokok dalam artikel tersebut yang menghina, melecehkan, dan mencemarkan hotel teman saya itu, sehingga siapa saja yang membacanya bisa langsung to the point.
Perempuan itu membaca fotokopi yang kami sodorkan, dengan saksama, seolah-olah dia belum pernah membaca artikel itu sebelumnya, padahal mustahil dia belum pernah membaca artikel itu, mengingat yang menulis artikel itu adalah suaminya sendiri, dan dia merupakan bagian dari manajemen dan pemilik hotel itu pula, bersama dua orang partner mereka lainnya. Sebagai bagian dari pemilik dan manajemen, dia pasti tahu akan keberadaan situs tersebut, dan tidak mustahil, dia ikut pula mengelola situs tersebut.
“Inikan cuma sejarah. Nostalgia selama suami saya dan teman-temannya tinggal di hotel itu,” katanya merujuk pada hotel teman saya. “Kan selama suami saya tinggal di hotel itu tidak ada masalah. Bahkan si pemilik hotel sempat memberikan kenang-kenangan pada suami saya berupa sehelai kain. Tunggu saya ambilkan kain itu,” katanya seraya bergegas meninggalkan kami, mengambil kain yang dia maksud.
Suami perempuan itu, sang penulis artikel, memang sempat menjadi pelanggan hotel teman saya itu selama tujuh tahun, sebelum dia membangun hotelnya sendiri. Dalam kurun waktu tujuh tahun itu, dia menjadi tour guide untuk wisatawan selancar dari pelbagai negara, dan menjadikan hotel teman saya itu sebagai markas utamanya. Setiap dua minggu sekali dia datang dengan membawa rombongan turis baru, dan menginap di hotel teman saya itu. Tapi setelah usahanya berkembang, dia membangun hotelnya sendiri, dan tidak lagi menjadikan hotel teman saya itu sebagai markasnya. Tapi kenangan selama tujuh tahun itu sangat membekas di hatinya.
“Ini,” katanya sambil menunjukkan sehelai kain tapis yang indah. “Saya pakai kain ini dalam upacara pernikahan kami.”
Tampaknya dia berusaha menawar kekecewaan kami, dengan bernostalgia, menunjukkan hubungan yang harmonis antara suaminya dengan pihak manajemen hotel teman saya di masa lampau. Siapa tahu dengan demikian emosi kami yang menggebu bisa mereda. Si pemilik hotel yang memberi kain yang dia maksud tersebut adalah kakak dari teman saya itu. Dahulu yang mengelola hotel itu adalah kakak. Tapi selama tujuh tahun itu, perempuan itu tidak pernah ikut. Entah mereka sudah jadi suami istri atau belum.
Namun dia tidak berhasil. Kami bergeming, dan tetap memendam kekecewaan.
“Okelah, kalau soal hubungan baik kami juga merasakannya. Kami tidak membantah kalau hubungan kami dengan suami Anda dahulu baik-baik saja. Tapi kami datang ke sini untuk menyampaikan protes atas artikel yang ditulis oleh suami Anda karena isi artikel tersebut sangat merugikan hotel kami. Sekarang turis yang menginap di hotel kami menurun drastis. Kerugian yang kami derita tidak sedikit. Kami minta pertanggung jawaban,” kata teman kami yang pengacara menggebu-gebu.
“Ini kan cuma sejarah,” kata perempuan itu menunjuk artikel di tangannya. “Bukan hanya hotel Anda yang pernah dia ceritakan. Dia juga pernah bercerita tentang hal-hal yang lain. Tentang orang-orang yang dia temui di sana . Tentang rumah makan. Tentang becak. Bapak yang guru bahasa Inggris itu juga suka dia ceritakan sebagai kenangan,” tambahnya.
“Kenangan sih kenangan, Mbak. Cerita sih cerita. Tapi kalau ditulis di Internet bisa menimbulkan masalah. Akibatnya kami dirugikan,” sanggah teman kami yang pengacara keras.
Mendengar kami ribut-ribut, salah seorang partner mereka datang. “What’s going on here. Are you all right?” tanyanya dengan mimik wajah penuh rasa ingin tahu. Pandangannya mengitari kami dan perempuan itu
Perempuan itu mengangguk. Lalu mereka bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Dari apa yang saya dengar, perempuan itu menduga ini pasti ulah pesaing mereka, seteru mereka yang lain.
Perkembangan bisnis perhotelan di wilayah tersebut memang sudah menjurus ke persaingan yang tidak sehat. Hotel-hotel yang bertetangga itu bersaing meraih pelanggan, kadang-kadang dengan menjelek-jelekkan hotel lainnya. Dan hotel kepada siapa kami bertikai ini terlibat pula pertikaian dengan hotel lain, di sebelahnya. Konon pertikaian mereka cukup sengit. Suami perempuan itu sering pula menulis hal-hal yang menjelekkan hotel pesaingnya itu, bahkan menyerang pemiliknya secara pribadi.
Perempuan itu menduga hotel pesaingnya itu yang memberi tahu akan keberadaan artikel tersebut, sebagai babak lain dari perseteruan mereka.
“Kenapa tidak dari dulu, sewaktu beliau masih hidup,” katanya.
“Ya, kami baru tahu sekarang. Kalau kami tahu dari dulu, tentu kami sudah datang dari dulu,” jawab teman kami yang pengacara.
Perempuan itu menduga kami tidak berani memperkarakan hal itu ketika suaminya yang menulis artikel itu masih hidup. Padahal bukan itu penyebabnya. Penyebabnya adalah kami tidak tahu keberadaan artikel itu ketika sang penulisnya masih hidup. Sebenarnyalah kami juga menyesal mengapa kami baru mengetahui artikel tersebut setelah si penulisnya meninggal dunia. Masalah itu akan bisa dielesaikan dengan lebih fair ketika si penulisnya masih hidup.
Setelah bertengkar cukup alot dan lama, baik perempuan itu maupun si partner-nya tidak mau meminta maaf, dan berjanji akan menghapus tulisan tersebut seperti yang kami maksudkan dengan kedatangan kami itu, melainkan memberi alasan ini dan itu yang tidak menyejukkan hati. Teman kami yang pengacara mengeluarkan ultimatum.
“Mbak kami tunggu di tempat kami untuk menyelesaikan masalah ini. Kalau dalam tiga hari Mbak nggak muncul, kami akan melapor ke polisi,” kata teman kami yang pengacara.
Perempuan itu dan rekannya diam saja dan membiarkan kami berlalu, meninggalkan tempat itu dengan perasaan dongkol yang tak terpermanai.
***
Kira-kira seminggu setelah pertemuan kami dengan perempuan itu, dan setelah kami tunggu-tunggu namun dia tidak juga datang menemui kami untuk meminta maaf, dan menyelesaikan masalah itu dengan damai, akhirnya kami berangkat ke Polda untuk melapor.
Tadinya kami ingin melapor ke Polsek saja, tapi laporan kami ditolak dengan halus oleh Kapolseknya. “Maaf, lo Mas. Bukannya kami menolak, tapi kami belum punya kemampuan untuk menangani masalah kejahatan dunia maya. Ibarat layanan kesehatan, kami ini cuma puskesmas, rumah sakitnya di Polda,” katanya sambil cengar-cengir.
Kami maklum, meski ini berarti kami harus ke markas Polda, di ibukota provinsi. Jarak dari kota kami ke ibu kota provinsi sekitar 260 km. Jika ditempuh dengan kendaraan pribadi memakan waktu sekitar 6-7 jam, sedangkan jika menggunakan bus, bisa 7-8 jam. Dari semua tempat yang ada di provinsi kami, mungkin kota kamilah yang paling jauh.
Mengingat jarak yang sedemikian jauh, maka perjalanan harus direncanakan dengan matang, sebagaimana yang dilakukan semua orang. Tidak seperti penduduk kota-kota lain, setiap kali pergi ke ibu kota provinsi, kami harus menginap. Tidak mungkin melakukan perjalanan pulang pergi dalam sehari mengingat waktu tempuh yang sekian lama itu. Siapa pun warga kota kami yang berpergian ke ibu kota provinsi, dia harus merencanakannya dengan matang, membawa uang yang cukup, pakaian, dan perlengkapan yang tidak boleh lupa. Jika lupa membawa sesuatu, dan harus kembali untuk mengambilnya, bukan alang kepalang kecewanya.
***
Setibanya di markas Polda, kami melapor pada petugas jaga, di depan pintu gerbang. Dua orang petugas jaga berseragam polisi menyambut kami. Pangkat mereka sekitar brigadir satu atau dua. Kami bersalaman dan menyampaikan maksud kedatangan kami. Teman kami yang pengacara berberita panjang lebar tentang duduk persoalannya. Dua orang petugas jaga itu menyimak. Seorang perwira menengah berpangkat kompol datang, berdiri di pintu, dan ikut mendengarkan. Tampaknya dia ada sesuatu keperluan di ruangan itu, tapi dia tunda dan memilih mendengarkan cerita kami. Jelas dia bukan petugas jaga. Mendengar cerita teman saya, salah seorang petugas jaga tampak tertawa menahan geli.
“Kalau orangnya sudah mati, ya tidak bisa dilaporkan, Mas,” katanya tersenyum-senyum.
“Tapi biarkan kami melapor dulu,’ sambar teman kami yang pengacara. “Kami sudah datang jauh-jauh ini, Mas.”
“Boleh saya lihat tulisan itu?” tanyanya.
Saya sodorkan hard copy yang kami bawa. Sekilas dia terlihat seperti membacanya. Kemudian senyum-senyum lagi.
“Apa isinya?” Tanya temannya yang dari tadi diam saja.
“Bahasa Inggris,” jawabnya sambil tetap senyum-senyum. Kemudian menyodorkan lembaran kertas itu pada temannya.
Ya, dia memang punya alasan yang tepat untuk tersenyum. Kasus yang kami bawa ini memang lucu.
Temannya juga tampak bingung.
“Bisa diterjemahkan?” tanyanya.
Saya menyanggupi, dan menyambar kertas itu dari tangannya. Kemudian saya terjemahkan point demi point, pokok-pokok pikiran yang ada dalam tulisan itu, dari awal hingga akhir. Saya tidak perlu menerjemahkan semuanya karena terlalu panjang, dan akan memakan waktu lama, dan karena dia pun setuju untuk tidak menerjemahkan semuanya.
Mereka manggut-manggut, dan akhirnya setuju kami melapor. Salah seorang petugas jaga itu membawa kami ke bagian belakang gedung utama, melewati lorong-lorong yang di kiri-kanannya terdapat kantor-kantor. Sekilas, gedung bagian belakang markas Polda itu terlihat seperti gedung rumah sakit atau gedung sekolah. Di lorong-lorong tempat kami melintas banyak orang perpakaian kemeja putih lengan panjang dengan celana pantalon warna gelap. Tidak ada yang berpakaian seragam polisi warna coklat seperti yang sering terlihat di luar, kecuali dua orang petugas jaga dan seorang perwira yang kami temui tadi. Suasananya nyaris seperti di kantor bank. Kami seperti tidak sedang berada di markas Polda. Tidak pula seperti di kantor polsek yang sering kali terkesan seram.
Oleh petugas jaga itu kami dibawa ke sebuah kantor paling ujung pada sebuah lorong yang tersembunyi, setelah beberapa kali belok kanan kiri. Di sana kami disambut dengan ramah oleh seorang petugas, juga berpakaian kemeja putih lengan panjang. Di dalam kantor itu hanya ada dia seorang. Kantornya sederhana, dan tidak ber-AC. Kami dipersilakan duduk di bangku kayu yang panjang, yang memang dirancang untutk diduduki banyak orang.
Setelah kami jelaskan duduk perkaranya, dia manggut-manggut.
“Sebentar ya, Mas. Saya panggilkan petugasnya. Ini bagian tindak pidana khusus. Sedangkan saya bagian umum,” katanya ramah sambil berlalu pergi.
Tak lama orang yang dia panggil muncul, juga dengan pakaian kemeja putih lengan panjang dan pantalon warna gelap.
Begitu dia duduk, teman kami yang pengacara langsung nyerocos membeberkan duduk persoalannya, dari A hingga Z.
“Sebentar-sebentar. Anda ini kapasitasnya apa?” potongnya. Raut mukanya tampak penuh tanda Tanya. Tampaknya dia tidak suka dan amat terhanggu dengan gaya bicara teman kami yang langsung nyerocos, tanpa perkenalan, tanpa pembukaan, dan tanpa kata pengantar itu.
“Saya ini kerabat si pemilik hotel,” jawab teman kami yang pengacara sambil menunjuk sang pemilik hotel di sampingnya.
“Di samping itu, saya juga berprofesi sebagai pengacara,” tambahnya.
“Begini, Mas,” kata si petugas yang baru masuk itu. “Kasus apa pun, kalau si tersangkanya sudah meninggal dunia, itu SP3, Mas. Tidak bisa dilanjutkan,” katanya tegas. Wajahnya semakin menunjukkan ketegasan. Tidak ada gurat-gurat simpati akan permasalahan yang kami hadapi di wajahnya.
“Tapi yang ingin kami laporkan adalah perusahaannya, perusahaan yang memiliki situs tersebut. Situs tersebut adalah bagian dari perusahaan itu,” kata teman kami yang pengacara.
“Nggak bisa, Mas. Dalam undang-undang ITE, yang berperkara, yang bisa dituntut adalah person, orangnya, bukan perusahaannya. Perusahaan tidak bisa dituntut. Beda dengan media cetak, Mas. Kalau menurut undang-undang media cetak, perusahaan yang menerbitkan media itu bisa dituntut,” katanya dengan ketegasan yang tidak mengendur. Air mukanya mengesankan seolah-olah dia tidak ingin mendengarkan lebih lanjut, dan ingin percakapan ini segera diakhiri.
Kami nyaris kehilangan kata-kata dan merasa terpojok.
Karena mendapati suasana yang menjurus tegang, si petugas pertama yang kami temui, memberi isyarat pada teman kami yang pengacara untuk keluar sebentar, berbicara dengannya di luar.
Tak lama kemudian teman kami yang pengacara masuk, dan si petugas yang pertama itu pergi.
“Tapi kami mohon agar laporan kami diterima saja dulu, Pak” kata teman kami yang pengacara. Rupanya itulah hasil pembicaraannya dengan si petugas yang pertama di luar tadi. Sang petugas yang pertama menyarankan agar kami minta agar laporan kami diterima saja dulu. Sungguh sebuah saran yang simpatik, dari petugas yang juga simpatik, mengingat kami sudah datang jauh-jauh, mengorbankan tenaga, uang, dan waktu yang tidak sedikit. Dalam suasana yang seperti ini, memang yang paling tepat adalah mereka menerima laporan kami dulu. Soal mau berlanjut atau tidak, itu soal nanti. Toh, tidak ada ruginya menerima laporan. Bukankah tugas memereka memang untuk menerima laporan yang masuk.
“Tapi percuma, Mas. Untuk apa repot-repot kalau nantinya tuntutan dibatalkan demi hukum karena tidak memenuhi syarat,“ jawabnya.
Lalu petugas yang lain masuk, dan meminta diberi tahu duduk persoalannya. Rupanya petugas yang ini juga dipanggil oleh petugas yang pertama itu. Teman kami yang pengacara kembali membeberkan rincian perkaranya, mulai dari A sampai Z, dengan tidak mengubah dan menambahi dari yang diceritakannya sebelumnya, pada petugas yang tidak simpatik itu.
Untunglah si petugas yang belakangan ini membawa aura yang sejuk, berbanding terbalik dengan aura petugas yang tidak simpatik itu.
“Bisa nggak diterjemahkan tulisan itu?” pintanya, setelah teman kami yang pengacara selesai bercerita.
Kami menyanggupi dan saya kembali melakukan bagian saya, menerjemahkan pokok-pokok pikiran dalam tulisan itu.
“Benar nggak isi cerita itu? sambar petugas yang tidak simpatik, begitu saya selesai.
Saya memberi isyarat pada teman saya yang pemilik hotel untuk menjawab.
“Ya, tentu saja itu tidak benar. Dan kami sudah dirugikan karenanya,” jawab si teman saya yang pemilik hotel sekenanya. Duh, apa pula perlunya si petugas yang tidak simpati itu menanyakan benar atau tidaknya cerita dalam artikel itu. Sang pemilik hotel tentu saja akan menjawab tidak benar. Tidak mungkin dia akan menjawab benar, di samping karena malu, tentu itu tidak efektif bagi upaya tuntutannya.
“Tapi itu benar, Mas,” kata petugas yang baru masuk. “Menurut undang-undang ITE perusahaan tidak bisa dilaporkan. Yang bisa dituntut hanya orangnya, pelakunya. Tapi nantilah kita cari kalau-kalau ada celah-celah pasal yang bisa kita gunakan untuk menjerat tersangkanya.”
“Atau kalau Mas bisa tunjukkan pada kami celah-celah pasalnya, nanti kami tindak lanjuti,” tambahnya.
“Wah, saya juga belum tahu undang-undang itu, Pak. Saya belum pernah baca,” kata teman kami yang pengacara. “Kalau boleh saya ingin memfotokopi undang-undang itu.”
“Boleh. Nanti saya ambilkan,” jawab sipetugas yang baru masuk.
Lalu petugas pertama yang kami temui datang lagi, membawa khabar baru.
“Bisa kata pak Aji,” katanya.
Mendengar ini, tanpa ba-bi-bu, tanpa tanya-tanya lagi, dua orang petugas yang sedang kami hadapi itu sigap bertindak, dan langsung mengajak kami menemui orang yang mereka sebut pak Aji itu.
“Ya udah kalau bisa. Ayo,” katanya mengajak kami ikut.
Kami mengekor di belakang, untuk menemui orang yang mereka sebut pak Aji itu.
Petugas pertama yang kami temui itu memang sangat-sangat forthcoming, sangat bersedia membantu, dan sangat mengerti kesulitan kami si pelapor. Tanpa diminta, dia bergerak sendiri ke sana ke mari, mencari jalan keluar untuk kasus yang kami hadapi itu. Dia melakukan apa saja yang dia bisa untuk membantu kami. Tidak terbayangkan seorang petugas polisi yang montang-manting ke sana ke mari hanya untuk membantu orang yang melapor. Biasanya petugas polisi hanya duduk di depan meja mendengarkan keterangan si pelapor, seperti dua orang petugas yang kami hadapi itu. Salut untuk petugas yang satu itu. Kalau tidak karena dia, mungkin laporan kami sudah ditepis oleh kedua petugas yang kami hadapi itu.
Ternyata orang yang disebut Pak Aji itu sangat ramah. Pangkatnya sekitar perwira menengah. Tapi, sama dengan yang lain, dia pun mengenakan kemeja lengan panjang warna putih. Ketika kami temui dia sedang duduk-duduk sambil berbincang dengan seseorang, di tempat duduk beton berkeramik, di tempat istirahat, di antara gedung-gedung kantor.
Mungkin waktu itu mereka sedang istirahat, sehingga banyak petugas yang duduk-duduk santai, di palang-palang beton yang bisa diduduki, di lorong-lorong depan perkantoran.
Kami menyalami pak Aji, dan dia menyambut dengan ramah, sambil tersenyum. Orang yang sedang berbincang dengannya minta diri. Tinggallah kami berempat menguasai tempat duduk beton berkeramik itu.
Sebelum sampai pada pokok persoalan yang kami hadapi, kami sempat berbincang santai dengan pak Aji ini. Dia menanyakan apakah kami kenal dengan seorang teman kuliah pasca sarjana-nya yang berasal dari kota kami. Kebetulan kami kenal. Dan pak Aji sempat menghubungi temannya itu dengan HP-nya. Bahkan memberi kesempatan kami pula berbincang dengan temannya itu melalui HP-nya.
Lalu seperti biasa, kami diminta menceritakan duduk poersoalannya. Dan teman kami yang pengacara mengulangi tugasnya bercerita, dari A sampai Z.
Pak Aji manggut-manggut mendengarkan.
“Bisa nggak tulisan itu diterjemahkan,” tanyanya.
“Bisa,” sambar teman saya yang pengacara tegas, seraya menunjuk ke arah saya. Saya sigap, dan siap-siap menerjemahkan. Tapi sebelum saya memulai menerjemahkan, pak Aji menyela.
“Tapi penerjemahnya harus independen, lho. Kalau kita sendiri yang menerjemahkan, kan nggak independent, nggak fair. Apalagi kalau yang menerjemahkan itu saudaranya sendiri,” katanya sambil tersenyum.
Kami setuju. Pak Aji menunjuk seorang penerjemah langganan mereka. Tapi dalam hati saya khawatir, artikel itu penuh dengan istilah-istilah selancar yang sulit dimengerti oleh orang yang tidak bergaul dengan para peselancar, di samping istilah-istilah slang Australia yang sering tidak ada dalam kamus, kalau pun ada artinya sering tidak sesuai dengan konteks yang sedang dibicarakan.
“Tapi kasus ini bisa diteruskan kan , Pak?” Tanya kami.
“Bisa ….,” jawab pak Aji mantap.
“Tapi kan orangnya sudah meninggal?” kejar kami.
“Lho, ini kan ada nama-nama lain yang juga ikut bertanggung jawab pada situs tersebut,” jawab pak Aji, menunjuk pada beberapa nama yang tercantum dalam hard copy itu, yang sengaja saya cantumkan sebagai keterangan tambahan. Meski nama-nama itu bukan penulis artikel yang bersangkutan, tapi mereka merupakan partner usaha si penulis, yang juga ikut menulis beberapa artikel dalam situs tersebut.
Memang, situs itu dikelola oleh beberapa orang yang juga merupakan pemilik hotel yang kami tuntut itu. Dalam daftar artikelnya, tertera beberapa nama orang penulis berbeda, dengan tulisan yang berbeda pula. Hanya kebetulan sang penulis artikel yang kami tuntut itu telah meninggal dunia. Tapi faktanya, mereka adalah sebuah grup, satu kesatuan, yang masing-masing bisa dituntut pertanggungjawabannya atas nama grup mereka itu. Lagi pula masing-masing mereka punya passwords untuk masuk ke akun situs tersebut. Logikanya, setiap orang yang punya passwords untuk masuk ke sebuah situs adalah pemilik situs tersebut, dan bisa dituntut pertanggungjawabannya.
“Kemarin ada yang melaporkan dirinya difitnah di Facebook. Dikatan lonte, kupu-kupu malam, perempuan jalang. Tapi orang yang memfitnahnya itu tidak jelas siapa. Orang itu sendiri tidak tahu siapa orangnya. Tapi laporannya kami terima, kok,” kata pak Aji.
“Apalagi ini yang jelas tertera namanya. Ada orangnya yang bisa ditunjuk,” tambahnya.
Hati kami bertambah sejuk.
“Dari sinilah polisi bisa belajar hukum lebih banyak; dari kasus-kasus seperti ini. kalau tidak ada kasus-kasus seperti ini, polisi tidak akan pernah belajar hukum lebih banyak,” katanya lagi.
Dan hati kami bertambah sejuk dan lebih pede lagi.
“Tinggal dilengkapi saja datanya, seperti SIUP, surat keterangan kepemilikan hotel, dan data kerugian akibat penurunan jumlah tamu, dan data-data lain yang diperlukan,” katanya.
“Dan jangan lupa, minta tolong pada penerjemah independen,” tambahnya.
Kami mengangguk mengiyakan dengan perasaan sejuk dan lega, meski untuk itu kami harus kembali ke kota kami, yang jaraknya 7 jam perjalanan itu.
Di jalan keluar, kami bertemu dengan petugas pertama yang simpatik, yang banyak membantu itu. Dia sedang mengendarai sebuah truk polisi. Demi melihat kami, dia berhenti dan bertanya dari bangku kemudi.
“Bagaimana?”
“Bisa,” jawab kami mengangguk, tersenyum.
“OK,” katanya ramah.
Kami mengangkat jempol kami kepadanya.
“Makasih banyak lho, Mas.”***
0 comments:
Post a Comment