Surat Kabar dan Iklan

Saya terkejut melihat tampilan halaman muka surat kabar harian Lampung Post, Senin, 8 April 2013. Di halaman muka edisi hari itu terdapat sebuah iklan komersial sebuah dari sebuah produk. Bukan iklannya benar yang mengejutkan dan menarik perhatian saya, karena bukan kali ini saja, bahkan setiap hari Lampung Post menampilkan iklan di halaman muka. Tapi iklan-iklan halaman muka yang biasanya adalah iklan kecil, yang diletakkan si sudut-sudut halaman, atau di bagian telinga dari nama dan logo surat kabar tersebut.

Ukuran iklan hari itu jauh lebih besar dan menyita ruang utama dengan luas sekitar sepertiga dari luas halaman muka surat kabar tersebut secara keseluruhan. Iklan tersebut diletakkan di bagian paling atas. Praktis sepertiga bagian paling atas halaman muka surat kabar tersebut hari itu adalah sebuah iklan. Bahkan logo dan nama surat kabar tersebut harus dengan suka rela digeser ke bawah, sekitar dua petiga bagian. Seumur-umur hidup saya berlangganan Lampung Post, sejak tahun 1999, baru sekali ini saya melihat iklan yang sedemikian rupa di halaman muka harian ini.

Well, iklan, tentu saja, adalah napas sebuah surat kabar. Hampir tidak ada surat kabar yang bisa bertahan hidup tanpa iklan. Iklan adalah pendapatan utama sebuah surat kabar. Saya bersyukur Lampung Post tidak pernah menaikkan harga jualnya dalam sekurangnya lima tahun terkahir. Hal ini tentu karena iklan. Dahulu, surat kabar sebesar Kompas 40 persen isinya adalah iklan, kini tampaknya lebih banyak lagi. Bahkan ada beberapa media cetak yang sebagian besar halamannya adalah iklan. Konon, isi surat kabar-surat kabar dan tabloid utama luar negeri sebagian besarnya adalah iklan. Saya pernah membaca sebuah majalah hiburan terbitan luar negeri yang 80 persen isinya adalah iklan. Meski banyak pula surat kabar yang hanya memuat iklan dalam sebagian kecil halamannya. Surat kabar seperti ini biasanya tergolong sebagai surat kabar yang tidak laku.  

Bagi pembaca iklan adalah bagian lain dari berita, atau merupakan berita itu sendiri. Membaca sebuah surat kabar yang tanpa iklan sama sekali tentu membosankan. Ketika seseorang membeli sebuah surat kabar, yang ia harapkan tentu bukan hanya berita atau artikel-artikel opini, tetapi juga iklan. Bahkan ada pembaca yang membeli sebuah surat kabar hanya untuk melihat iklannya, bukan beritanya; iklan lowongan kerja misalnya. Bahkan ada pula pembaca yang menganggap surat kabar itu adalah rujukan untuk mencari iklan semata, bukan berita. Pembaca seperti ini biasanya hanya membeli surat kabar untuk mencari iklan tertentu.

Maka tak heran, pada musim-musim tertentu surat kabar seperti panen uang dari iklan. Pada musim kampanye politik misalnya, banyak sekali surat kabar yang memuat iklan partai tertentu dan tokoh-tokoh politik tertentu. Bagi surat kabar ini adalah musim panen. Sedangkan bagi pembaca ini adalah musim menahan diri.

Meski pembaca surat kabar tidak terganggu, dan tidak secara langsung dirugikan oleh adanya iklan-iklan politik tersebut, karena iklan seperti itu nyaris tidak mengandung informasi yang berharga dan tidak mempunyai nilai ekonomi bagi mereka seperti halnya berita, dan karena iklan seperti itu sebagian besar adalah propaganda untuk menaikkan citra partai atau tokoh tertentu, dan karena, toh, tidak ada porsi berita yang dikurangi dalam hal ini, dan karena mereka memang tidak akan membaca semua bagian dari surat kabar tersebut, namun tak ayal, banyak juga di antara mereka yang merasa ruang pribadinya terusik. Bayangkan, propaganda-propaganda partai dan ekspos-ekspos tokoh partai tertentu datang menghampiri mereka, memasuki ruang pribadi mereka setiap hari. Apalagi jika mereka mempunyai sentimen negatif terhadap tokoh atau partai yang diekspos. Tidak jarang pembaca membakar atau merobek-robek gambar partai atau tokoh politik yang mereka tidak sukai yang dimuat di surat kabar. 

Walhasil, semakin banyak sebuah surat kabar memuat iklan, semakin hal itu menguntungkan secara esensial, baik bagi penerbit surat kabar itu sendiri maupun bagi para pembaca. Dengan semakin banyaknya iklan dimuat, maka semakin banyak pendapatan penerbit surat kabar tersebut. Dengan semakin banyaknya pendapatan penerbit surat kabar tersebut, maka semakin banyak pula penghasilan para redaksi dan penulis berita. Dengan semakin banyaknya penghasilan para redaksi dan penulis berita maka semakin meningkat pula mutu surat kabar yang bersangkutan. Semoga.




  

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger