Visi Maritim Jokowi dan Batalnya Pembangunan Jembatan Selat Sunda


Pemerintahan Jokowi telah memberi sinyal hendak menghentikan proyek Jembatan Selat Sunda (JSS). Proyek yang telah diancang-ancang sejak jaman Soekarno tersebut, dan yang telah disetujui oleh pemerintahan SBY akan dibangun, tampaknya akan dicoret dari Daftar Proyek Pembangunan Jokwi-JK dengan alasan karena tidak sesuai dengan Visi Maritim yang telah digariskan Jokowi. Penggantinya adalah Proyek Tol Laut.

Sejauh ini proyek JSS telah melewati proses perencanaan dan studi kalayakan. Tentu sudah banyak uang yang dihabiskan untuk itu. Konon Tommy Winata pengusaha di balik proyek tersebut telah menghabiskan uang triliunan rupiah untuk perencanaan ini.

Boleh jadi memang dana pembangunan Jembatan Selatan Sunda yang konon mencapai 225 triliun tersebut memang terlalu tinggi, dan uang untuk itu tidak tersedia. Tapi yang menarik dikaji adalah alasan bahwa proyek tersebut tidak sesuai dengan visi negara maritim pemerintahan Jokowi.

Dalam pandangan Jokowi, wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan laut yang maha luas ini idealnya dihubungkan dengan kapal-kapal yang berlayar dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya hingga menghubungkan seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Untuk itu perlu dibangun banyak sekali pelabuhan dan disediakan banyak sekali kapal dari yang ada saat ini.

Tentu itu merupakan sebuah pandangan yang bagus, tapi itu bukan berarti bahwa transportasi laut merupakan sebuah keharusan. Alangkah konyolnya kalau semua wilayah Indonesia ini harus dihubungkan dengan laut hanya untuk mewujudkan visi sebagai negara maritm. Alangkah lucunya kalau moda transportasi lain ditiadakan hanya karena kita akan mengutamakan transportasi laut.

Transportasi darat dan udara tentu saja lebih efektif dan efisien dari sisi waktu dan biaya. Itulah sebabnya orang lebih suka menggunakan pesawat terbang atau mobil atau kereta api daripada kapal laut. Kalau moda transportasi darat dan udara tidak diperbolehkan karena tidak sesuai dengan visi negara martitim maka hapuskan saja penerbangan dan moda transportasi darat lainnya seperti kereta api dan bus.

Moda transportasi darat dan laut lebih efektif dan relatif tak banyak kendala. Sedangkan moda transportasi laut sangat tergantung pada cuaca. Jika cuaca sedang buruk tidak ada kapal yang berani berlayar menyeberangi Selat Sunda. Otomatis transportasi jadi terhenti, antrean kendaraan mengular sepanjang puluhan kilometer di Pelabuhan Bakauheni dan Merak, dan perekonomian pun tersendat hingga berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Bayangkan berapa kerugian yang timbul akibat terputusnya penyeberangan ini. Itulah salah satu kelemahan moda transportasi laut, di samping masalah waktu.

Alasan lain yang dikemukakan Jokowi adalah bahwa pembangunan Jembatan Selat Sunda bisa memperlebar kesenjangan wilayah Indonesia barat dan timur.

Di samping tak hendak mematikan identitas maritim, Jokowi juga beralasan bahwa pembangunan Jembatan Selat Sunda hanya akan memperkuat asumsi yang ada selama ini bahwa pembangunan Indonesia ini terpusat di Jawa dan Sumatera atau di Indonesia bagian barat saja.

Duhai, siapa pun tahu bahwa pembangunan selama ini sebagian besar memang dipusatkan di Pulau Jawa, dan ini sudah berlangsung semenjak dahulu kala. Bahkan Sumatra juga hanya mendapat porsi terkecil saja dari kue pembangunan itu. Coba perhatikan bagaimana perkembangan kota-kota di Jawa dengan di Sumatra hingga saat ini, juga infrastrukturnya. Sebagai gambaran, gedung pencakar langit sudah ribuan jumlahnya di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Jawa, sedangkan di Sumatra nyaris tidak ada kota yang mempunyai gedung pencakar langit. Dari sini saja betapa kesenjangan itu terlihat terang benderang.

Indikator lain bisa kita saksikan ketika kita menyeberangi Selat Sunda dari Merak ke Bakauheni atau sebaliknya. Di sana kita bisa bandingkan perbedaan antara Merak dengan Bakauheni yang sangat mencolok. Tiba di Merak kita disambut oleh jalan tol dan jalan layang yang megah, sedangkan ketika tiba di Bakau kita hanya disambut oleh jalan negara dengan kondisi seadanya. Terasa betapa perbedaan itu begitu kontras.
Jadi kalau kesenjangan antara timur dan barat dijadikan sebagai alasan dibatalkannya pembangunan  Jembatan Selat Sunda itu adalah alasan yang dibuat-buat dan tidak masuk akal.

Siapa pun tahu bahwa Selat Sunda adalah satu-satunya selat yang memungkinkan dibangun jembatan di Indonesia ini di samping Selat Madura yang memang sudah ada jembatannya. Seandainya Selat Karimata atau selat-selat lain yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia ini memungkinkan dibangun jembatan, silakan jembatan itu dibangun supaya tidak terjadi kesenjangan pembangunan antara timur dan barat.

Masalahnya bukanlah kesenjangan pembangunan, tapi feasibility, mana yang layak dibangun mana yang tidak. Bukankah keadilan itu tidak berarti kesamarataan, dan hal ini masuk akal. Bukankah selama ini kita banyak membangun Jawa karena Jawa mempunyai porsi penduduk terbesar di antara pulau-pulau lainnya di Indonesia ini, dan selama ini tidak ada yang protes karena memang tidak ada masalah, dan karena memang begitulah seharusnya.      

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger