Saya awam soal musik. Pandangan saya tentang musik adalah pandangan yang awam. Saya tidak mengerti bagaimana musik yang bermutu—menurut musisi yang bermutu—atau pengamat musik—yang bermutu. Saya juga tidak faham soal teknik menyanyi yang bagus. Saya tidak mengerti soal pitch-control, power, miking, falsetto, dll yang sering disebut-sebut dalam acara kontes musik di TV itu.
Tapi tentu saja saya punya selera. Selera saya adalah selera orang kebanyakan. Musik yang bermutu bagi saya adalah musik yang enak didengar—yang easy-listening—menurut telinga saya tentunya, seperti yang sering saya lihat di acara-acara musik seperti inbox, dahsyat, dering’s, dan lain-lain. Saya kira saya tidak harus ikut-ikutan selera orang lain, yang saya tidak suka. Meski orang lain tidak menyukai musik yang saya suka, atau mereka memandang selera saya rendah, atau kampungan, saya tidak harus mengubah selera saya untuk disesuai-sesuaikan dengan selera mereka. Apa gunanya ikut-ikutan, kalau sejatinya kita tidak suka.
Dengan latar belakang seperti inilah saya memandang Indonesian Idol. Indonesian Idol bagi saya adalah
sebuah idealisme bermusik yang eksklusif—sesuai namanya yang juga eksklusif—yang keluar dari mainstream, yang tidak sesuai dengan selera orang kebanyakan, yang tidak down-to-earth, yang memandang menyanyi adalah urusan teknik—buka rasa. Indonesian Idol adalah sebuah idealisme yang bertentangan dengan selera saya yang awam, dan sekaligus selera orang kebanyakan. Bagi orang awam seperti saya, idealisme Indonesian idol adalah sebuah idealisme yang tidak bisa dinikmati. Mungkin inilah sebabnya kebanyakan pennyanyi lulusan Indonesia Idol gagal di pasaran, dan lebih banyak yang putar haluan menjadi pemain sinetron.
Idealisme Indonesian idol adalah ‘idealisme tampil beda’; lagu apa pun yang Anda bawakan, Anda harus menyanyikannya dengan cara yang berbeda, tidak boleh sama dengan penyanyi aslinya. Kalau Anda menyanyi dengan cara yang sama, apalagi persis sama, tamatlah riwayat Anda di mata dewan juri. Sungguh sebuah tuntutan yang absurd, bagaimana mungkin Anda bisa tampil beda kalau Anda menyanyikan lagu yang sama.
Lalu, yang terjadi adalah perlombaan tampil beda. Berbagai lagu yang sudah akrab di telinga pemirsa yang awam, dinyanyikan dengan cara yang berbeda dan aneh menurut selera orang awam, hanya karena penyanyinya ingin tampil beda. Cara menyanyi yang aneh ini, menurut saya, adalah pembunuhan terhadap karakter lagu itu sendiri, alias merusak lagu.
Bukankah dalam setiap lagu itu sudah ada ruh-nya masing-masing. Karena adanya ruh inilah lagu itu hidup, di hati penikmatnya. Ruh lagu itu adalah harmonisasi yang unik dari nada, irama, dan karakter vokal penyanyinya—yang berbeda-beda dalam setiap lagu. Harmonisasi ini sudah tertanam, berurat-berakar di hati penikmatnya—sudah di-pakem-kan. Seorang penggemar lagu yang sudah ratusan kali mendengarkan sebuah lagu kesayangannya hapal betul detil-detil harmoni ini. Sedikit saja harmoni ini berubah, maka dia akan kecewa, dan merasa lagu itu tidak lagi nikmat; lagu itu sudah dirusak.
Seorang penyanyi memang harus punya karakter masing-masing karena dengan karakter itulah dia akan dikenal. Tapi kalau dia menyanyikan lagu orang lain, hendaklah dia menghidupkan ruh lagu tersebut. Menyanyikan lagu orang lain dengan karakternya sendiri, dengan tidak mengikuti pakem lagu tersebut akan mengecewakan penggemar lagu tersebut.
Silakan Indonesian Idol mencetak penyanyi-penyanyi hebat dengan karakternya masing-masing. Tapi jangan lupa, bahwa Indonesian Idol adalah juga sebuah acara hiburan, Indonesian Idol adalah juga sebuah tontonan yang banyak ditonton orang awam. Indonesian Idol bukan hanya acara pemanduan bakat semata. Silakan Indonesian Idol menuntut penyanyinya harus punya karakter yang berbeda, tapi karakter lagu yang sudah ngetop juga jangan dirusak. Silakan Indonesian Idol punya karakter tersendiri, tapi mereka harus menyanyikan lagu milik mereka sendiri.***
0 comments:
Post a Comment