Filosofi Waktu

Waktu datang dari masa depan yang belum terjadi
Singgah di masa kini yang tak punya durasi
Lalu pergi ke masa lampau yang sudah tak ada lagi
(St. Augustine)

Tak terasa waktu sudah menjelang akhir tahun lagi. Rasanya baru kemarin kita mengalami pergantian tahun, kini kita akan mengalaminya lagi. Bagi sebagian orang, peristiwa pergantian tahun ini tentu merupakan hal yang biasa, yang rutin, yang mungkin sudah berpuluh-puluh kali mereka alami, bahkan mungkin ada yang mendekati seratus kali. Sedangkan bagi sebagian orang lainnya, pergantian tahun adalah sesuatu yang langka terjadi, sesuatu yang baru mereka alami beberapa kali saja.

Banyak orang mengatakan waktu berjalan demikian cepat; tak terasa, hari berganti hari, bulan, berganti bulan, tahun berganti tahun. Peristiwa sepuluh, duapuluh, tigapuluh tahun yang lalu, rasanya seperti baru terjadi kemarin. Mungkin dengan demikian, waktu tidak menjadi istimewa, bahkan mungkin menjadi barang murah yang cepat berganti.

Benarkah waktu berjalan lebih cepat daripada biasanya; tidak konsisten. Benarkah satu hari sekarang tidak sama dengan satu hari di jaman dulu.

Konon, waktu tetap konsisten; tidak pernah berjalan lebih cepat daripada biasanya. Kalau kita merasakan waktu sekarang berjalan lebih cepat daripada jaman dulu, itu karena kita membandingkannya dengan waktu-waktu yang sudah kita tempuh. Perasaan demikian biasanya timbul pada orang yang sudah berusia lanjut; yang sudah mengalami banyak perjalanan waktu.

Apakah ini berarti bahwa kita tidak bisa terlepas dari masa lalu; selalu dibayang-bayangi masa lalu, dan apakah kita hidup (di masa sekarang) juga karena dibayang-bayangi oleh masa depan; apakah masa lampau, masa sekarang, dan masa depan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisah, dan kita adalah produk dari ketiga masa itu. Entahlah. Saya tidak punya kemampuan untuk menjawabnya.

Namun apakah waktu itu. Apakah konsep waktu sama sederhananya dengan konsep detik, menit, jam, hari, minggu, dan  seterusnya.

Apakah waktu hanya menyangkut apa yang ada saja, tidak termasuk yang tidak ada, ataukah dia mencakup segalanya, baik yang ada maupun yang tidak ada, dalam konsep ruang dan waktu. Dan apakah yang dimaksud dengan dengan ‘ada’ dan ‘tidak ada’ itu. Uraian di bawah ini mungkin bisa sedikit memperjelas, atau malah membuat kita menjadi lebih bingung.

Presentisme

Menurut teori presentisme, dalam filosofi waktu, hanya apa yang ada sekarang yang disebut ada, dan masa depan dan masa lampau adalah tidak ada. Lawan dari presentisme adalah eternalisme, yang mempercayai apa yang terdapat di masa lampau dan di masa yang akan datang berada dalam keabadian. Presentisme mempunyai kesesuaian dengan relatifitas Galilean, di mana waktu adalah ruang yang independen, tapi mungkin tidak sesuai dengan relatifitas Lorentzian/Einsteinian dalam hubungannya dengan thesis-thesis filosofis lainnya yang oleh banyak orang ditemukan tidak bertentangan.

Saint Augustine menyatakan bahwa kekinian (present) adalah satu sisi mata pisau antara masa lalu dan masa yang akan datang, dengan periode yang tidak bisa diperluas. Hal ini masuk akal karena, jika waktu kini (present) diperluas, maka dia akan terdiri dari beberapa bagian—tetapi bagian-bagian ini harus simultan jika mereka benar-benar merupakan bagian dari masa kini. Menurut para ilmuwan abad permulaan waktu tidak bisa menjadi masa lalu dan masa kini sekaligus, jadi waktu itu tidak diperluas. Sebagai contoh, William James mengatakan bahwa waktu adalah “durasi yang pendek di mana kita secara segera dan terus menerus menjadi bijaksana. Augustine menyatakan bahwa Tuhan berada di luar jangkauan waktu dan hadir di sepanjang waktu, dalam keabadian. Para ilmuwan abad permulaan yang lainnya yang merupakan pengikut paham presentisme adalah termasuk para pengikut Buddha (dalam tradisi Buddhisme India). Seorang sarjana terkemuka dalam bidang filosofi Buddha adalah  Stcherbatsky, yang telah menulis secara ekstensif tentang presentisme Buddha: “Segala sesuatu yang ada di masa lampau adalah tidak nyata (unreal), segala sesuatu yang ada di masa depan adalah tidak nyata, segala sesuatu yang ada dalam khayalan, absent, mental … adalah tidak nyata …. Pada dasarnya yang nyata (real) hanyalah moment kekinian (present) dari efisiensi fisik.

Menurut J. M. E. McTaggart dalam The Unreality of Time ada dua cara mengacu pada event: the 'A Series' (juga dikenal sebagai ‘waktu berkala’ (‘tensed time’): kemarin, sekarang, besok) dan 'B Series' (atau ‘waktu tak berkala’ (‘untensed time’): Senin, Selasa, Rabu.) Menurut presentisme, A Series adalah fundamental dan B series saja tidaklah cukup. Para penganut presentisme berpendapat bahwa diskursus temporal memerlukan penggunaan tenses, sedangkan “para penganut teori Old B” (“Old B-Theorists”) membantah dengan mengatakan bahwa bahasa yang berkala (tensed language) bisa direduksi menjadi fakta-fakta nirkala (tenseless facts).

Dalam teori relatifitas modern, pengamat konseptual (conceptual observer) berada pada titik geometrik dalam ruang maupun waktu pada titik puncak ‘kerucut sinar’ ('light cone') yang mengamati events yang terjadi dalam waktu dan juga ruang. Para pengamat lain bisa tidak setuju tentang ide adanya dua events pada lokasi yang berbeda yang terjadi secara simultan jika para pengamat tersebut berada dalam gerak relatif (lihat relativity of simultaneity). Teori ini berdasarkan pada ide tentang waktu sebagai sesuatu yang meluas (extended thing) dan telah dikonfirmasikan oleh eksperimen dan telah menimbulkan kebangkitan bagi sudut pandang filosofis yang dikenal sebagai empat dimensionalisme. Akan tetapi, meski isi sebuah observasi berlaku untuk waktu yang meluas (time-extended), si pengamat konseptual, sebagai sebuah titik geometrik pada asal-usul light cone, tidaklah mengalami perluasan dalam waktu dan ruang. Analisis ini mengandung sebuah paradoks di mana si pengamat konseptual tidak mengandung apa pun, meskipun setiap pengamat real (real observer) akan menjadi isi yang meluas (extended contents) dari sebuah observasi untuk tetap eksis. Paradoks ini sebagiannya terpecahkan dalam teori Relatifitas dengan cara mendefinisikan sebuah ‘'frame of reference' untuk menjangkau alat-alat ukur yang digunakan oleh seorang observer. Hal ini bisa mengurangi pemisahan waktu di antara instrumen sehingga menjadi seperangkat interval yang konstan. 

Selamat tahun baru 2011.

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger