GHEPONG1 damar mata kucing* milik Umar tidak lebar luas; kecil saja. Isinya sekitar duaratus pohon damar dewasa dan tua, disela oleh pohon petai, duku dan pohon-pohon kecil jelmaan dari semak belukar yang belum sempat dia tebas. Pohon-pohon damar tua umurnya mungkin sudah ada yang seratus tahun lebih, sedangkan pohon damar dewasa sekitar empatpuluh tahunan. Umar tidak tahu pasti, karena bukan dia yang menanam pohon-pohon itu. Semenjak dia lahir, ghepong itu sudah ada. Konon, pohon-pohon itu ditanam oleh tamong2-nya, sebagian lagi oleh bak3-nya. Entah sudah berapa keturunan ghepong itu berpindah tangan, hingga, sekarang, berada di tangannya sebagai anak tertua laki-laki.
Beruntunglah Umar diciptakan tuhan sebagai anak laki-laki tertua, sehingga dia berhak atas warisan utama itu. Saudara-saudaranya yang lain tidak seberuntung dia. Adiknya yang laki-laki mendapatkan sepetak kebun yang dulu berisi pohon-pohon cengkeh; sekarang pohon-pohon itu sudah mati; digantikan oleh semak belukar dan ilalang tempat babi hutan bersarang. Adiknya yang perempuan, bahkan, tidak mendapatkan apa-apa; hanya mengandalkan suaminya yang bekerja serabutan.
Ghepong damar itu benar-benar menjadi andalan Umar sekeluarga. Mulai dari kebutuhan makan sehari-hari, rumah, sampai biaya sekolah anak-anaknya ke perguruan tinggi, semuanya berasal dari situ. Dari sekitar duaratus pohon miliknya—kalau tidak berbagi dengan para pencuri, dan pohon tidak terserang hama , atau sedang berbunga—Umar bisa memanen sekurang-kurangnya seratus limapuluh kilogram getar damar mata kucing per bulan. Kalau harga lagi bagus, per kilogramnya bisa mencapai tigabelas ribu rupiah. Tapi, harga itu jarang sekali terjadi; tergantung dengan dollar; kalau dollar menguat, harga bisa tinggi, tapi, kalau dollar melemah, harga pun turun. Di jaman krisis moneter dahulu, harga damar mencapai titik tertingginya.
Entah apa jadinya kalau ghepong itu tidak ada. Umar bukanlah seorang pekerja yang ulet dan tekun. Dia nyaris tidak punya penghasilan lain selain dari pohon-pohon damar itu; hanya sekali-sekali, jika beberapa pohon petai atau pohon duku berbuah, dia mendapatkan penghasilan tambahan. Pohon petai berbuah sekitar empat bulan sekali, itu pun hasilnya tak seberapa; hanya cukup untuk membeli beberapa kilogram beras, dan kebutuhan dapur selama beberapa hari. Sedangkan pohon duku lebih lama lagi; sudah tiga tahun ini pohon-pohon itu tidak berbuah.
Dalam hati, Umar memuji nenek moyangnya dahulu yang begitu cerdas menciptakan sebuah pola perkebunan yang sangat bermanfaat. Bukan saja untuk petani pengelolanya, ghepong damar ini juga—dalam sebuah entitas yang maha luas—berfungsi sebagai lahan konservasi alam. Terbukti, sudah beberapa kali, pola perkebunan damar ini mendapat penghargaan tingkat nasional dalam bidang pelestarian lingkungan hidup.
Beruntung pula Umar mendapatkan Yun seorang wanita ulet, tekun, dan perkasa. Sudah hampir tigapuluh tahun ini wanita itu setia menemaninya tanpa reserve. Yun benar-benar bisa diandalkan di segala bidang; mulai dari pekerjaan rumah tangga, sampai pada pekerjaan kasar yang biasanya hanya dilakukan laki-laki. Jika keuangan keluarga lagi seret, Yun lah yang berinisiatif mencari penghasilan tambahan; tidak peduli pekerjaan apa saja; mulai dari buruh tani, jual kayu bakar, sampai upahan ngunduh4 damar pun dia lakoni tanpa mengeluh. Begitu perkasanya perempuan itu, sampai-sampai tubuhnya berotot menyerupai laki-laki. Entah bagaimana jalan pikiran Umar, sehingga, sekali-sekali, perempuan itu ditendangnya juga jika mereka bertengkar.
“Besok aku saja yang menghadiri pestanya si Manan. Kamu kan sudah ke sana kemarin. Hari ini gantikan aku ngunduh damar.” kata Umar malam itu. Yun diam saja karena memang tidak ada yang perlu dia katakan. Dan itu berarti sebuah persetujuan. Begitulah terus dari dulu. Setiap kali ada pesta, atau acara-acara keluarga lain yang memerlukan kehadirannya, pasti Umar yang berusaha hadir dan Yun diminta bekerja di kebun. Tapi, Umar tidak melarang Yun ke pesta atau menghadiri acara keluarga sama sekali. Hanya saja kehadiran Yun kadang-kadang tidak dipandang perlu oleh Umar jika dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dikerjakan di ghepong damar.
Sebenarnya Yun ingin menolak. Luka dipergelangan kakinya akibat bacokan golok ketika dia mencari kayu bakar, dua hari yang lalu, belum sembuh benar. Jika dia terlalu banyak bergerak, dan terjadi peregangan, luka itu akan berdarah lagi. Tapi itu bukanlah luka serius. Umar tidak terlalu memperdulikannya. Yun juga sebenarnya tidak terlalu perduli dengan luka itu, toh, kemarin, sudah dia beri antiseptik. Tapi, memanjat pohon damar dengan luka di kaki sungguh tidak nyaman.
Yun kadang-kadang terusik dengan status jujogh5 perkawinan mereka. Status ini menjadikan dirinya seperti budak belian. Hubungan dirinya dengan Umar nyaris seperti budak dengan majikan; hanya dibedakan oleh ikatan pernikahan. Hampir tigapuluh tahun, Yun menjalani kehidupan yang seperti ini. Kadang-kadang timbul keinginan berontak; melawan kesewenang-wenangan Umar; meminta dirinya diperlakukan seperti istri-istri yang lain; yang utuh sebagai wanita; yang tidak harus mengerjakan pekerjaan yang selayaknya dilakukan laki-laki. Tapi, Yun tak berdaya. Imej tentang istri yang di-jujogh selalu melekat pada dirinya, juga pada lingkungan budaya di mana dia berada; secara konvensional, istri yang di-jujogh adalah hak milik mutlak suami; sang suami berhak mengatur gerak langkah sang istri; sang suami berhak melarang dan memerintah, termasuk melarang sang istri mengunjungi kedua orangtuanya. Melawan konvensi ini, adalah malapetaka bagi pihak keluarga sang istri. Konon, istri yang di-jujogh berarti “dibeli” oleh pihak keluarga suami dengan uang dan harta yang diberikan kepada pihak keluarga istri, pada saat pernikahan berlangsung.
Tapi, Umar kadang-kadang mesra juga, terutama, pada saat-saat awal perkawinan mereka dulu. Tapi, kini, di saat-saat rona kecantikan di wajahnya perlahan memudar, kemesraan itu pun memudar. Tapi Yun bersyukur, Umar adalah tipe suami yang setia. Walaupun dia sekarang jelek, Umar tidak pernah selingkuh. Yang disesalkan Yun, sifat kasar Umar yang tak pernah hilang, di saat usianya sudah kepala lima .
Hal lain yang membahagiakan Yun adalah anak-anaknya. Lima orang anaknya tumbuh menjadi remaja yang sehat, pintar, cantik dan tampan. Mereka semua adalah buah hati Yun; belahan jiwanya. Melihat mereka tumbuh dan berkembang adalah kebahagiaan yang tak terbeli dengan apa pun. Andri yang tertua sudah kuliah semester V di kota provinsi. Sedangkan empat adiknya masih duduk di bangku SMA, SMP, dan SD. Semua masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Yun sudah bertekad untuk melakukan apa pun yang halal agar anak-anaknya bisa sekolah—setinggi-tingginya.
Selama ini Yun lah yang banyak berjuang memenuhi kebutuhan anak-anaknya, jika hasil dari ghepong damar tak mencukupi. Anak-anaknya pun selalu mengadu padanya tentang semua kebutuhan mereka, karena hanya dengan dialah mereka dekat. Pada Umar, mereka tidak dekat; hanya sekali-kali saja mereka berbicara jika benar-benar ada yang perlu dibicarakan, atau jika disuruh Yun berbicara; hubungan bapak dengan anak-anaknya itu terasa tegang dan kaku. Tapi, Yun tahu, jauh di lubuk hati Umar, kasih sayang itu begitu besar; hanya saja Umar tidak bisa mengekspresikannya dengan hangat.
Kemarin, Andri menelepon, meminta dikirimi uang dalam jumlah yang tidak sedikit untuk kebutuhan kuliahnya. Yun sudah mengiyakan. Begitulah selalu. Setiap anak-anaknya meminta uang, Yun selalu mengiyakan. Masalah dari mana uang itu akan didapat, itu urusan nanti. Yun percaya pada anak-anaknya. Toh, selama ini, mereka tidak pernah berbohong.
Kebetulan, usia getah damar sudah hampir sebulan; sudah matang untuk di-unduh. Nanti, jika angkitan6 tidak mencukupi, Yun akan mencari upahan di ghepong tetangga. Yun sudah berunding dengan Umar. Sedianya, Umar yang akan ngunduh di ghepong mereka, dan Yun mencari upahan. Tapi, hari ini, rencana itu belum bisa dijalankan karena Umar akan menghadiri pesta.
***
Pagi-pagi, setelah anak-anaknya, berangkat sekolah, Yun berangkat ke “kantor”—begitulah dia menyebutnya. Bebalang7 dan ambon8 sudah dia siapkan. Begitu juga bekal makan siang. Mukena untuk shalat zhuhur tak lupa dia bawa. Di dekat ghepong damar milik mereka, ada sungai kecil yang airnya jernih, dan banyak batu-batu besar yang bisa digunakan untuk shalat.
Setelah berpamitan dengan Umar, dia berangkat. Mengenakan baju “dinas”; sepotong celana panjang, dipadu dengan kemeja lengan panjang lusuh. Sekilas, Yun kelihatan seperti laki-laki. Derap langkahnya, tegap dan cepat. Tubuhnya perkasa untuk naik turun tebing menggendong bebalang dengan beban yang tidak ringan, karena sudah terlatih selama bertahun-tahun. Otot punggungnya sudah mengeras dan menebal akibat tempaan beban yang terus menerus.
Entah kekuatan apa yang ada pada wanita ini. Ngunduh damar dengan ambon bukanlah pekerjaan mudah. Sebagian laki-laki tidak sanggup melakukannya. Pekerjaan ini menuntut konsenstrasi tinggi; lengah sedikit, bisa berbahaya. Pekerjaan ini memerlukan kekuatan bertumpu pada kaki, dan kecekatan menjaga keseimbangan tubuh ketika bergelayut di atas pohon, dengan hanya menggunakan seutas tali yang dilingkarkan pada tubuh dan pohon, yang berfungsi sebagai penambat tubuh pada pohon, agar tubuh tidak terjatuh. Sekali tubuh kehilangan keseimbangan, alamat akan jatuh, dan bisa fatal jika ketinggiannya mencapai enam meter.
Ngunduh damar dengan ambon dimulai dari bawah; dengan membersihkan pepat paling bawah, kemudian, merambat ke atas dengan menggunakan pepat-pepat itu sebagai tumpuan kaki, dan ambon untuk bergelayut.
Yun sudah cekatan melakukan ini. Kedua kakinya sudah akrap dengan pepat-pepat9 pohon itu. Otot di kedua telapak kakinya sudah mengeras; tidak lagi merasakan perih ketika bertumpu pada pepat kecil sekali pun. Kekuatan otot kaki adalah kunci utama untuk bertahan bergelayut di atas pohon. Pepat yang lebar adalah kenyamanan bagi kaki, sedangkan pepat yang sempit dan dangkal adalah siksaan, terutama bagi yang belum terbiasa. Otot di punggungnya pun begitu; tidak lagi merasakan sakitnya bertumpu pada tali. Kedua tangannya tahu persis bagaimana mengatur posisi ambon agar mencengkeram pohon dengan kuat, sehingga tidak selip, ketika dia berputar. Soal ketinggian, bukanlah masalah. Yun tidak takut mencapai pepat tertinggi yang bisa mencapai tujuh meter. Segala ukuran pohon sudah pernah dia coba; mulai dari pohon terkecil, sampai yang berdiameter lebih besar dari drum minyak tanah.
Yun sudah cekatan melakukan ini. Kedua kakinya sudah akrap dengan pepat-pepat9 pohon itu. Otot di kedua telapak kakinya sudah mengeras; tidak lagi merasakan perih ketika bertumpu pada pepat kecil sekali pun. Kekuatan otot kaki adalah kunci utama untuk bertahan bergelayut di atas pohon. Pepat yang lebar adalah kenyamanan bagi kaki, sedangkan pepat yang sempit dan dangkal adalah siksaan, terutama bagi yang belum terbiasa. Otot di punggungnya pun begitu; tidak lagi merasakan sakitnya bertumpu pada tali. Kedua tangannya tahu persis bagaimana mengatur posisi ambon agar mencengkeram pohon dengan kuat, sehingga tidak selip, ketika dia berputar. Soal ketinggian, bukanlah masalah. Yun tidak takut mencapai pepat tertinggi yang bisa mencapai tujuh meter. Segala ukuran pohon sudah pernah dia coba; mulai dari pohon terkecil, sampai yang berdiameter lebih besar dari drum minyak tanah.
Yun sudah diwanti-wanti suaminya agar tidak menggores terlalu tebal ketika ngehughing10 pohon yang masih kecil. Goresan yang terlalu tebal akan memperlebar pepat. Pepat yang terlalu lebar bisa menyebabkan pohon tumbang jika diterpa angin kencang. Tapi, pepat yang sempit adalah tidak nyaman bagi kaki. Tapi Yun berusaha tidak terlalu mempersoalkan kenyamanan. Dia mencoba menikmati pekerjaannya.
***
“Emak-mu sudah pulang?” tanya Umar pada salah satu anaknya, begitu dia tiba di rumah. Hari sudah menunjukkan pukul empat sore. Biasanya, Yun sudah tiba di rumah jam begini.
“Belum.” Jawab anaknya yang masih kecil.
Umar jadi gelisah dalam hati. Hujan deras yang turun semenjak pukul tiga tadi belum juga menampakkan tanda-tanda akan reda. Mengapa Yun tidak pulang sebelum hujan turun, pikirnya. Biasanya, setiap kali ada tanda-tanda hujan akan turun, Yun pulang. Ngunduh damar di kala hujan, adalah hal yang membahayakan. Selain itu, sungai kecil yang melingkari ghepong damar mereka akan meluap, jika hujan tiada henti, sehingga sulit diseberangi, apalagi, dengan membawa beban yang tidak ringan. Yun pasti mengalami kesulitan.
Umar jadi gelisah dalam hati. Hujan deras yang turun semenjak pukul tiga tadi belum juga menampakkan tanda-tanda akan reda. Mengapa Yun tidak pulang sebelum hujan turun, pikirnya. Biasanya, setiap kali ada tanda-tanda hujan akan turun, Yun pulang. Ngunduh damar di kala hujan, adalah hal yang membahayakan. Selain itu, sungai kecil yang melingkari ghepong damar mereka akan meluap, jika hujan tiada henti, sehingga sulit diseberangi, apalagi, dengan membawa beban yang tidak ringan. Yun pasti mengalami kesulitan.
“Adi, kalian tunggu di rumah. Jangan lupa masak air untuk mandi emak-mu. Bak mau berangkat ke kebun.” pinta Umar pada anaknya, sambil bergegas berganti pakaian. Persasaan gelisah dan was-was semakin menebal, ditembusnya hujan deras yang bak diturunkan dari langit, tanpa payung. Guyuran air hujan, ditingkah dengan suara petir yang seperti hendak membelah langit, tidak menyurutkan langkahnya. Tubuhnya menggigil; dingin serasa sampai ke tulang.
Perjalanan ke ghepong damar sekitar tigapuluh menit, tapi, kali ini, terasa seperti lebih lama, karena ditempuh dengan gelisah. Sepanjang perjalanan, pikirannya hanya tertuju pada Yun. Dia berdo’a dalam hati semoga tidak terjadi apa-apa pada diri perempuan itu..
Tiba di ghepong, benar saja sungai kecil itu sudah meluap. Dia berteriak dari kejauhan, memanggil Yun. Tapi tidak ada jawaban. Dia berusaha, sebisa mungkin, menyeberangi sungai; menahan derasnya arus agar tidak menghanyutkan tubuhnya. Dibuangnya jauh-jauh pikiran bahwa sungai ini sudah menghanyutkan tubuh Yun. Mulutnya komat-kamit memanjatkan do’a yang dia bisa. Dia akan mencari Yun di setiap pohon damar, di seberang sana .
“Yun …! Yun …! teriaknya, sambil berlari dari pohon ke pohon. Sudah beberapa pohon dia lalui, tapi, dia tidak menemukan apa-apa, tidak juga ada jawaban dari Yun. Sementara tubuhnya makin menggigil di bawah guyuran hujan yang semakin intens. Tidak putus asa, dia terus berlari, entah mengapa dia tidak merasa lelah. Semak-semak tebal ditembusnya begitu saja tanpa menyibak. Terasa dinginnya dedaunan ketika tubuhnya ditelan semak-semak itu. Sampai akhirnya, dia melihat Yun tergeletak di bawah pohon damar tua.
“Yun…! Yun …!” diguncangnya tubuh yang dingin itu. “Maafkan aku, Yun.” Rasanya Umar ingin berteriak sekerasnya. Tapi, yun tidak menjawab. Umar menengadah, pepat tertinggi sudah selesai dikerjakan. Diperiksanya tubuh Yun, luka di pergelangan kakinya dua hari yang lalu, tampak berdarah.***
Krui, awal Desember 2007
* latin: shorea javanica
- komunitas pohon sejenis di suatu tempat, perkebunan.
- padanan: kajong; kakek atau nenek dari sudut pandang cucu yang sama jenis kelamin; cucu laki-laki memanggil kakeknya tamong, neneknya kajong; cucu perempuan memanggil kakeknya kajong, neneknya tamong
- ayah
- memanen
- salah satu model ikatan perkawinan dalam masyarakat adat Lampung Pesisir (kuno)
- hasil kebun/panen
- sejenis bakul panjang berbingkai dan bertali, dibawa dengan cara digendong
- tali dari anyaman rotan yang digunakan untuk memanjat pohon damar
- lubang pada pohon damar tempat keluarnya getah; lubang tumpuan kaki untuk memanjat pohon
- menggores bagian pinggir pepat untuk mendapatkan aliran getah baru.
0 comments:
Post a Comment