All I need is just a piece of paper
Say a few lines, make up my mind
so she can read it later, when I'm gone
Elisa, goodbye , Elisa
All I need is just a quiet morning
Bring to the light , things I must write
Got to get it over with, you
Elisa , goodbye, Elisa
Song that I sing
The tears I've tried to hide it
I'm sorry to say, I'm going away
That's what I've decided on
And I've tried
Elisa , goodbye, Elisa
Goodbye Elisa
Elisa goodbye
Elisa goodbye
Elisa, Elisa
Say a few lines, make up my mind
so she can read it later, when I'm gone
Elisa, goodbye , Elisa
All I need is just a quiet morning
Bring to the light , things I must write
Got to get it over with, you
Elisa , goodbye, Elisa
Song that I sing
The tears I've tried to hide it
I'm sorry to say, I'm going away
That's what I've decided on
And I've tried
Elisa , goodbye, Elisa
Goodbye Elisa
Elisa goodbye
Elisa goodbye
Elisa, Elisa
(Elisa, Bee Gees)
Lagu itu menggema kembali dari mulut Nyoto, dari teras depan rumahnya, memecah keheningan malam, mengusik ketenangan orang-orang yang sedang bersarang diperaduan, meningkahi angin semilir yang dingin membawa bercak-bercak embun, mengantarkan orang ke alam lelap, seperti sebuah theme song pada adegan pengantar tidur. Tidak ada yang merasa terganggu teramat sangat, malah mereka menikmati alunan suara Nyoto yang memang merdu memikat tersebut.
Lagu itu memang cocok sekali dibawakan Nyoto. Bukan saja karena karakter suaranya memang cocok untuk lagu Bee Gees yang merintih tersebut, tapi juga karena penghayatannya, tapi juga karena nasibnya, pengalaman yang dialaminya, yang serupa dengan lagu tersebut.
Belakangan ini Nyoto akrab sekali dengan lagu itu, lebih akrab dari sebelum-belumnya. Mungkin dia sengaja membangkitkan kembali lagu yang dulu pernah didengarnya sesekali tersebut, untuk dinyanyikan dengan penghayatan, untuk dirintihi, ditangisi, dijeritkan dari lubuk hatinya yang paling dalam. Lagu itu memang menyayat hati siapa pun yang mendengarnya.
Bagi Nyoto lagu itu adalah dirinya. Cerminan dari segala kegelisahannya. Pekik dari segala kerisauannya. Tempat mengadu. Tempat berbagi rasa. Ketika semua yang lain sudah tak lagi mendengar.
“Aku tak jadi berangkat,” kata Nyoto dua hari yang lalu.
“Kenapa?”
“Tak tega meninggalkan keluarga di sini.”
“Memang sebaiknya kau tidak pergi,” kata temannya. “Keluargamu sangat membutuhkanmu.”
“Tapi kadang-kadang aku merasa harus pergi.”
“Sudahlah. Tak usah terlalu dipikirkan. Carilah kesibukan. Lama-lama kau akan melupakannya.”
Hanya itu yang aku dengar dari percakapan mereka, dari depan rumah. Sang teman berusaha menghibur. Menenangkan hatinya.
Nyoto hanyalah seorang tetanggaku. Usianya masih remaja, belum genap duapuluh tahun. Sebagai orang yang jauh lebih tua dari dia, aku tidak banyak mengenalnya. Hanya yang aku tahu, dia orangnya rajin bekerja, ramah, tapi agak pendiam.
Setamat SMA, dia tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, atau masuk polisi, atau masuk TNI seperti yang kebanyakan cita-cita teman sebayanya. Dia tidak juga pergi merantau mencari kerja seperti teman-temannya yang lain, yang tidak kuliah. Dia diam di rumah, tidak ke mana-mana. Entah itu pihannya sendiri atau pilihan kedua orang tuanya aku tak tahu pasti.
Pergaulannya sehari-hari juga biasa saja. Tapi beda dengan teman-teman sebayanya, Nyoto rajin membantu pekerjaan orang tuanya. Pada malam hari, kalau tidak jalan-jalan, Nyoto paling suka menyanyi sambil main gitar. Bakat menyanyinya luar biasa. Permainan gitarnya juga tidak jelek. Kalau Nyoto memetik gitar dan menyanyi, maka suasana jadi menghibur. Kalau dia menyanyi lagu riang, suasana jadi riang. Kalau dia menyanyi lagu pilu, suasana jadi pilu. Begitulah seterusnya.
Itulah yang aku kenal tentang Nyoto. Selebihnya adalah misteri. Juga adalah misteri ketika siang itu tubuh Nyoto ditemukan tergantung tak bernyawa di dalam kamarnya. Di saku bajunya ditemukan secarik kertas berisi syair lagu ‘Elisa’. Tapi tidak ada yang tahu siapa Elisa.***
0 comments:
Post a Comment