Sang Pencerah Itu dari Kauman


Judul: Jejak Sang Pencerah
Penulis: Didik L. Hariri
Penerbit: Best Media Utama, 2010
Ukuran Buku: 13x 20,5 cm
Tebal: 280 halaman

Kiyai haji Ahmad Dahlan siapa yang tak kenal. Tokoh pendiri Muhammadiyah, yang juga merupakan Pahlawan Nasional, itu merupakan salah satu orang terkemuka dalam Sejarah Indonesia. Dalam pelajaran Sejarah di sekolah, namanya sering disebut-sebut.

Tetapi mungkin banyak yang tidak kenal secara lebih jauh tentang beliau. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa kalau tidak berkat usahanya, tidak akan ada Muhammadiyah seperti yang sekarang kita kenal. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa pada usia 15 tahun beliau berangkat ke Mekah dan tinggal di sana selama lima tahun untuk belajar ilmu agama. Mungkin pula tidak banyak yang tahu bahwa dalam syiar-nya beliau mendapat banyak tantangan yang tidak ringan, dihina, dilecehkan, termasuk dirobohkannya surau milik beliau oleh salah seorang pemuka agama setempat yang dia segani. Buku ini banyak menceritakan hal-hal seperti itu; yang belum kita ketahui tentang Haji Ahmad Dahlan.

Paham Muhammadiyah yang saya tahu—dari yang saya lihat dari orang-orang Muhammadiyah yang ada di lingkungan saya—adalah kebiasaan mereka tidak melakukan tahlil untuk mendo’akan seseorang yang meninggal dunia, sebagaimana umumnya kaum Nahdliyin, sebagai gantinya mereka menyelenggarakan takziyah.

Di samping itu, ummat Muhammadiyah juga tidak membenarkan ziarah kubur. Ada penjelasan yang menarik mengenai hal ini, dalam buku ini: Haji Ahmad Dahlan pernah menyerukan bahwa ziarah kubur adalah kufur, ziarah kubur itu syirik, dan ziarah kubur itu haram sehingga menghebohkan masyarakat Kauman. “Kufur, Syirik, dan Haram” bagi Haji Ahmad Dahlan merupakan upaya mengembalikan nilai akidah pada tempatnya, nilai syari’ah pada tempatnya dan nilai akhlak pada tempatnya. Haji Ahmad Dahlan sebenarnya tidak ingin menyalahi wacana fikih yang selama ini menyatakan bahwa ziarah kubur itu sunnah.

Namun yang dibidik Haji Ahmad Dahlan adalah wacana etika, akidah dan syariah yang dikedepankan sebelum sekedar wacana fikih. Ketika orang sudah menyadari bahwa ziarah kubur hanyalah wacana etik agar sikap kita lebih baik lagi  terhadap Allah dan sebagai hamba-Nya karena kematian pasti akan datang maka, wacana fikih ziarah kubur adalah sunnah. (Jejak Sang Pencerah, halaman 229).

Selain menyajikan fakta-fakta tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan, buku ini juga memuat pendapat pribadi penulisnya tentang beliau yang diselipkan di sana-sini.

Sayang tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai sikap Haji Ahmad Dahlan terhadap arah kiblat yang coba dia luruskan itu, setelah suraunya dirobohkan, hal mana sempat membuat dia frustrasi dan coba melarikan diri dari Yogyakarta. Saya kira hal ini juga perlu dibahas. Saya kira pembaca perlu tahu karena hal ini merupakan salah satu inti perjuangan beliau, selain untuk menggambarkan daya juang beliau menghadapi berbagai tekanan.

Selain menceritakan tentang Haji Ahmad Dahlan, buku ini juga menceritakan tentang istri beliau yang bernama Siti Walidah, yang juga merupakan seorang Pahlawan Nasional, atau yang lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, pendiri Aisyiyah. Tapi tidak ada cerita tentang istri-istri beliau yang lain yang, konon, jumlahnya ada lima orang itu.***

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger