Ketika cengkeh berbunga adalah sebuah pesta
Sebuah ketika untuk mengentaskan segala dahaga
Ketika cengkeh berbunga adalah sebuah impian
Sebuah saat yang tepat untuk membunuh kemiskinan
Ketika cengkeh berbunga adalah sebuah euphoria
Sebuah kala untuk berlupa
Marilah mari
Kita reguk seteguk lagi
Bukankah hidup Cuma sekali?
Umar memandangi setiap pucuk ranting dari dahan sebatang pohon cengkeh miliknya. Kini, jentik-jentik bakal bunga yang muncul dari setiap kuntum yang ada di pohon itu tampak seperti berkilau, bak manik-manik berlian yang menghiasi mahkota. Ya, memanglah, kini, mahkota pohon-pohon itu bak berhiaskan berlian. Tatapan kepuasan memancar dari sinar mata Umar. “Tiga bulan lagi.” katanya dalam hati.
Ya, tiga bulan lagi masa-masa yang sudah lama dinanti itu akan tiba; sebuah panen raya. Panen kali ini tampaknya akan lebih besar dari panen-panen terdahulu. Panen kali ini tampaknya lebih menjanjikan. Inilah saatnya melepas dendam, kata Umar; Umar memang begitu dendam pada kemiskinan yang selama ini selalu mengejeknya, menghalangi setiap langkahnya, dan mengepungnya dari segala sudut itu.
Umar sekeluarga sudah mereka-reka rencana; gerangan apa yang akan dilakukan dengan uang sejibun yang nanti didapat. Istrinya sudah mereka-reka hendak merenovasi rumah, sedangkan ia sendiri sudah pula berencana hendak membuka toko. Dan Iyan anaknya yang kini duduk di bangku SMP sudah merengek-rengek pula minta dibelikan sepeda motor. Umar tertawa dalam hati memikirkan semua rencana itu. Cukupkah, pikirnya dalam hati.
Kehidupan dengan hanya mengandalkan sawah sepetak dan beberapa pohon damar tidaklah cukup untuk mewujudkan mimpi-mimpi keluarga mereka, apalagi mimpi-mimpi itu, kadang-kadang, menjelma sangat liar.
***
Kebun cengkeh Umar memang cukup luas. Isinya sekitar tigaratus pohon cengkeh dewasa dan tua. Panen musim lalu menghasilkan sekitar enam setengah kuintal. Tapi itu bukanlah panen raya, karena tidak semua pohon cengkehnya berbunga, dan yang berbunga pun tidak begitu lebat. Berbeda dengan musim kali ini. Musim kali ini benar-benar menjanjikan. Semua pohon cengkehnya berbunga lebat. Umar yakin benar, kalau tidak ada aral melintang, hasil panen kali ini dua sampai tiga kali lipat dari musim lalu.
Umar sekeluarga memang berharap banyak dari pohon-pohon cengkeh itu. Dari pohon-pohon itulah mereka bisa menyusun rencana. Dari pohon-pohon itulah mereka bisa mewujudkan impian. Dari pohon-pohon itulah mereka bisa menemukan kebahagiaan. Dari pohon-pohon itulah mereka merajut mimpi, berwacana, dan bahkan menggadaikan masa depan yang belum pasti sekali pun.
Apalah yang bisa diandalkan dari sawah beberapa petak itu. Hasilnya cuma cukup untuk dimakan. Sedangkan hasil memburuh hanya cukup untuk membeli lauk-pauk sehari-hari, dan kebutuhan sekolah anak-anak. Maka ketika cengkeh berbunga, segala harapan, impian, dan cita-cita yang selama ini tersimpan dalam hati bisa diwujudkan. Dan, ketika itu, bermunculanlah pemujaan terhadap harta benda serta segala macam sifat-sifat ketamakan manusia dalam wujudnya yang paling nyata.
Panen tiba. Eforia tiba. Umar kini terokupasi oleh kesibukannya menjaga kebun cengkeh sebidang miliknya itu, siang malam, panas atau hujan, dia harus berada di sana . Kesibukan ini praktis membuat Umar tidak pernah turun ke desa, kecuali hari Jumat. Hari Jumat mau tidak mau dia harus turun ke desa untuk shalat Jumat. Tugas menjaga kebun biasanya beralih kepada istri atau anak-anaknya.
Tugas menjaga kebun cengkeh tidaklah mudah. Hal ini menuntut kesabaran dan ketegasan penuh. Di samping itu, tugas ini juga memerlukan kejelian dan keawasan. Sekali Anda lengah, pastilah ranting-ranting pohon itu patah digerogoti maling. Sudah beberapa kali kejadian seperti ini dialami Umar. Kalau dihitung-hitung, sudah cukup banyak pula dia mengalami kerugian. Belum termasuk kerugian dari ceceran bunga-bunga cengkeh yang berguguran ditiup angin. Setiap hari, dia harus berlomba memunguti bunga-bunga itu dengan anak-anak yang ketika musim cengkeh tiba, entah datangnya dari mana, jumlahnya tak alang kepalang banyaknya; persis seperti pasar kalangan.
Bunga-bunga cengkeh berguguran terutama di pagi hari. Itulah sebabnya Umar harus bangun pagi-pagi benar. Kalau tidak, pastilah kecolongan. Sungguhpun begitu, sekali-sekali dia kecolongan juga oleh serbuan anak-anak itu yang seperti pasukan perang gerilya, mengintai setiap kelengahannya. Sungguhpun kebunnya sudah dia pagari keliling, tapi anak-anak itu selalu saja bisa masuk. Anehnya pula, Umar tidak pernah memergoki dan menangkap basah anak-anak itu. Dia selalu kalah cepat. Dan ketika dia mendapati pohon-pohon itu sudah dirusak, atau ceceran bunga cengkeh di tanah sudah lenyap, maka saat itulah dia panik; segala caci maki, sumpah serapah dan sejenisnya meluncur tak terkendali dari mulutnya.
Karena itu Umar sangat tegas pada anak-anak itu. Anak-anak yang mencoba mendekati kebun miliknya, dia usir. Tidak ada anak-anak yang berani mendekati kebun milik Umar, tak terkecuali anak-anak tetangga di kampungnya. Bagi Umar semua anak-anak sama saja; harus diusir dan jangan dikasih hati. Di mata anak-anak itu, Umar terkenal pelit dan kejam. Tapi Umar tidak peduli, juga pada cibiran tetangga yang menganggapnya sombong dan tidak bergaul setiap kali musim cengkeh tiba. Tidak ada yang berhak selain aku, pikir Umar. Bukankah selama ini aku yang merawat pohon-pohon itu? Akulah yang bercucuran keringat menanam, menyiangi, dan merawat. Enak aja anak-anak itu; datang-datang mau memungut hasilnya. Aku kan nggak kongsi dengan orang tua mereka, katanya dalam hati.
Umar berbeda dengan pemilik kebun yang lain yang sesekali mengijinkan anak-anak itu ngelahang1 terutama siang hari. Berhubung karena kebun miliknya itu cukup luas dengan permukaan tanah yang tidak rata, maka cukup sulit bagi Umar untuk mengawasi setiap sudut. Sesekali, dia dibantu oleh istri dan anak-anaknya.
Umar berbeda dengan pemilik kebun yang lain yang sesekali mengijinkan anak-anak itu ngelahang1 terutama siang hari. Berhubung karena kebun miliknya itu cukup luas dengan permukaan tanah yang tidak rata, maka cukup sulit bagi Umar untuk mengawasi setiap sudut. Sesekali, dia dibantu oleh istri dan anak-anaknya.
Panen tiba. Eforia tiba. Semua orang kampung pemilik ladang cengkeh berpesta pora. Tak terkecuali Umar sekeluarga. Segala yang bisa dibeli dibeli; sepeda motor, tape recorder, televisi, pakaian bagus; pokoknya, segala sesuatu yang diidam-idamkan dan bisa ditukar dengan uang. Bahkan, konon, ada tetangga Umar, yang saking udiknya, sempat membeli pohon natal di kota , padahal mereka tidak merayakan natal. Setelah eforia belanja selesai, Umar menghitung-hitung perolehan musim kali ini yang bisa disimpan. Jumlahnya jauh lebih besar dari musim lalu. Namun, sayangnya, jumlah yang jauh lebih besar itu bisa-bisa menimbulkan masalah tersendiri. Akhir-akhir ini maling banyak berkeliaran, baik maling kecil-kecilan kelas kenakalan remaja, maupun maling profesional kelas kakap yang ingin mencari kekayaan secara instan.
Maraknya maling ini sempat memusingkan Umar tujuh keliling. Kemarin, pak Ibnu tetangganya mendapat giliran dijarah maling. Tidak kurang dari dua kuintal cengkeh milik pak Ibnu lenyap disambar si jago jarah itu. Jika hal ini menimpaku pula, hilanglah sebagian atau seluruh rencana yang sudah kususun selama ini, pikir Umar dalam hati. Kemarin, Iyan anaknya sudah kembali merengek-rengek minta dibelikan sepeda motor. Dan Umar pun jauh di lubuk hatinya, sangat mendambakan adanya sebuah sepeda motor baru. Hanya saja dia tidak pernah mengatakannya pada siapa-siapa. Maka rencana membeli sepeda motor itu seolah-olah keinginan anaknya semata. Apalagi, akhir-akhir ini, memiliki sepeda motor adalah semacam standar kesejahteraan keluarga di desa itu. Keluarga yang tak memiliki sepeda motor dipandang sebagai keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan. Maka, ketika panen selesai, dan hasilnya sudah terbilang, membeli sepeda motor adalah hal pertama yang harus diwujudkan.
Umar wanti-wanti pada setiap anggota keluarganya untuk selalu mengawasi karung-karung itu setiap saat dan memastikan jumlahnya tidak berkurang setiap saat. Yang selalu diwanti-wanti Umar adalah karung kecil itu. Karena bukan saja maling profesional yang bisa menggondolnya, tapi juga maling kelas teri. “Ingat betapa mudahnya menggondol karung kecil itu.”, kata Umar mengingatkan anak dan istrinya.
***
Maka, ketika karung kecil itu benar-benar hilang suatu ketika, Umar kalang kabut, panik, dan tentu saja marah besar.
“Kamu, Yan?” katanya menanyai anak lelakinya itu.
“Nggak, Pak. Sumpah!”
“Lalu siapa?”
“Mana Iyan tau, Pak. Iyan kan nggak di rumah terus nongkrongin karung-karung itu.” jawab anak itu seenaknya.
Umar tidak habis pikir. Iyan ngotot tidak mengaku, bahkan bersumpah segala. Sedangkan anak-anak perempuannya tidak mungkin, apalagi istrinya. Tadi, mereka pun sudah ditanyai Umar satu persatu.
Ketika anggota keluarganya tidak ada satu pun yang mengaku, maka kecurigaan Umar beralih ke orang lain. Ada satu anak remaja teman Iyan yang pantas untuk dicurigai. Anak itu sudah terkenal reputasinya sebagai maling kelas teri. Semua orang kampung sudah mengenal siapa Andi. Baru sebulan lalu orang tuanya dituntut ganti rugi oleh tetangga sendiri akibat ulahnya mencuri cengkeh. Beberapa bulan sebelumnya anak itu sempat akan diadukan sama polisi dalam kasus pencurian yang lain. Belum lagi kasus-kasus pencurian lain yang tidak terungkap dengan kecurigaan mengarah pada anak itu. Yang lebih menguatkan kecurigaan Umar adalah karena akhir-akhir ini anak itu sering bertandang ke rumahnya; main dengan Iyan; menonton TV. “Pasti dialah orangnya.” Kata Umar dalam hati. Geramnya sampai ke ubun-ubun.
“Dipikir sekali lagi Pak Umar.” kata kiai Thoyib sesaat sebelum yasinan dimulai. “Siapa tahu pelakunya bukan orang lain. Nanti kamu menyesal.”
‘Tidak, Pak. Keyakinan saya sudah bulat.” jawab Umar mantap. Tak ada keraguan sedikitpun di wajahnya.
***
Empatpuluh orang dikumpulkan Umar di rumahnya untuk mengadakan yasinan selama tiga malam berturut-turut demi untuk melampiaskan dendam Umar pada Andi yang diyakininya telah mencuri sekarung kecil cengkeh miliknya itu. Biar kapok sekalian, pikir Umar dalam hati. Umar memang dendam banget pada anak itu. Dan tiada satu cara pun yang bisa benar-benar memuaskan Umar dalam membalaskan dendamnya itu selain membuat anak itu menjadi gila. Dan membuat anak itu menjadi gila adalah hal yang benar-benar memuaskan bagi Umar. Itulah balasan yang dianggap Umar setimpal bagi orang yang telah mencuri barang berharga miliknya. Apalagi, ditambah dengan kenyataan bahwa selama ini Andilah orang yang selama ini terkenal sering mencuri di desa itu.
“Kita lihat dalam tujuh hari. Maka orang yang mencuri cengkehmu itu akan menunjukkan tanda-tanda gangguan jiwa.” Kata kiai Thoyib sesaat setelah yasinan selesai pada hari ke tiga. Umar mengangguk. Bara dendam merona di matanya. Garis-garis sakit hati tampak jelas terukir di wajahnya. Senyum kecut di bibirnya tak dapat dia sembunyikan ketika dia menyalami satu-per satu tamu yang hendak pulang malamn itu. Tapi seringai iblis di wajahnya menunjukkan tanda-tanda kepuasan seperti dendam berkarat yang baru saja terlampiaskan.
***
Tujuh hari berlalu, ternyata tidak timbul gejala-gejala aneh yang menunjukkan gangguan jiwa pada diri Andi. Umar heran. Dan lebih heran lagi ketika dia menyaksikan anaknya si Iyan mulai menunjukkan tingkah laku yang tidak wajar. Pada hari yang ke tujuh itu, Iyan bertingkah selalu seperti orang ketakutan; selalu bersembunyi setiap melihat Umar. Dan ketika Umar mencari anak itu menjelang maghrib, didapatinya anak itu sedang bersembunyi di kandang ayam. Umar terkesiap, seakan tidak percaya. Sungguh dia tidak mengharapkan ini terjadi pada Iyan anaknya. “Iyan, sini, nak. Nanti Bapak belikan sepeda motor….” Katanya merintih. Bulir-bulir bening penyesalan bergelayut di matanya.***
Catatan:
1. Memunguti bunga-bunga cengkeh yang berguguran di bawah pohon.
0 comments:
Post a Comment