KARENA mendapati ruangan yang berudara sejuk, karpet yang bersih dan space yang lapang, dua orang ibu-ibu ter(tidur) di depan meja, di lantai rumah makan lesehan itu. Keduanya mungkin mengantuk setelah selesai makan, setelah sebelumnya kelelahan karena telah menempuh perjalanan jauh. Keduanya sepertinya berasal dari jauh, bukan dari dalam kota .
Kejadian di atas adalah salah satu dari beberapa kejadian ‘aneh’ yang pernah saya alami di rumah makan lesehan yang sering saya kunjungi itu. Kejadian yang satu ini tampaknya lebih serius dan lebih mengganggu daripada beberapa kejadian sebelumnya, seperti pelanggan yang menggeletakkan jaket kumal di atas meja yang kebetulan tidak ada yang menempati, sehingga pengunjung yang baru datang tidak mau menempati meja tersebut, atau menelepon atau mengobrol dengan teman dengan suara keras, atau mencongkel gigi di hadapan orang lain, misalnya. Begitu seriusnya ‘pelanggaran’ yang satu ini sehingga sang pemilik rumah makan terlihat beberapa kali melongok ke tempat keduanya tidur. Dari ekspresi wajahnya, mereka jelas terganggu dengan perbuatan yang tidak layak tersebut. Mereka mau melarang, tapi tidak berani. Tapi tampak jelas mereka berharap agar kedua perempuan itu segera bangun dan pergi dari sana .
Mati, mabuk, atau tidur di tempat umum?/thenewyorkcitytraveler.com |
Benarkah pelanggan punya hak melakukan itu. Apakah karena mereka membayar lantas mereka berhak melakukan apa saja yang nyaman bagi mereka. Tampaknya hal itu dipahami dengan cara seperti itu oleh pemilik rumah makan; mereka menerapkan filosofi ‘pembeli adalah raja’ meski jauh di lubuk hatinya, mereka terganggu dengan perbuatan seperti itu. Dan mereka lupa pula bahwa di samping mereka yang tidur tersebut, ada 'raja-raja' lain yang terus berdatangan.
Dan hendaklah pemilik rumah makan juga paham bahwa hal itu bukan concern mereka saja. Di samping mereka, ada pelanggan lain yang juga perlu diperhatikan, yang merasa terganggu dengan perbuatan seperti itu. Bukankah pelanggan lain juga berhak mendapatkan suasana yang nyaman.
Sang pemilik rumah makan tentu tidak boleh memandang hal tersebut sebagai problem mereka semata. Sang pemilik rumah makan tidak boleh hanya membela kepentingan mereka saja, atau kepentingan pelanggan yang bersangkutan semata, tetapi mereka juga harus memperhatikan kepentingan pelanggan lainnya. Alias, dalam hal ini, rumah makan tersebut haruslah dipandang dari sudut kepentingan bersama, sebagai tempat bersama, sebagai tempat publik, sama dengan masjid, hotel, atau rumah sakit, misalnya.
Sebagai tempat bersama rumah makan tentu tidak lepas dari peraturan, sebagaimana masjid, hotel atau rumah sakit juga mempunyai aturan. Peraturan yang khusus perlu ditulis di atas kertas, sedangkan peraturan yang umum, yang menyangkut etika, tentu tidak harus ditulis, karena semua orang tentu memahami etika, bagaimana harus menjaga kelakuan di depan umum.
Pantaskah...?/thenewyorkcitytraveler.com |
Soal etika ini tentu sedikit banyak pernah dipelajari di bangku sekolah dan juga dalam pendidikan informal, seperti dalam keluarga atau dalam pergaulan. Orang yang pernah bersekolah dan bergaul tentu paham bahwa etika itu diperlukan. Tanpa etika seseorang tidak akan mendapat respek dari masyarakat.
Tapi sayang, tidak semua pelajaran etika itu terdapat dan dipelajari di sekolah, karena etika itu sangat luas.
Dan bagian-bagian yang tidak dipelajari di sekolah ini diharapkan dipelajari dengan sendirinya oleh masyarakat. Masyarakat tentu tahu apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan di depan umum dari pergaulan mereka sehari-hari, atau dari apa yang mereka lihat di TV, misalnya. Alangkah beratnya tugas dunia pendidikan jika etiquette manners soal boleh atau tidaknya tidur di rumah makan harus diajarkan di sekolah.***
0 comments:
Post a Comment