Murjangkung, Cinta yang Dungu, dan Hantu-hantu, dan Kembalinya Seni Bercerita


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqrfxFec3ZPnhPS72yb-BJYeNsUtZV2tcvbDjW6hq2iVAfz6cUlx0Sh3Ic-ffzKo4MXeTIN8oLOEUoO53vFiQPESr4GSL9wdlYyqbRTcry4nhN28Fnqyaja2UR0y9Arpb6tOvLM0bpu1I/s798/cover_ebook_murjangkung03.jpg
Menurut pengamatan saya, ada dua jenis cerpen yang utama; cerpen yang mengandalkan kekuatan bahasa dan cerpen yang mengandalkan kekuatan seni bercerita. Cerpen yang mengandalkan kekuatan bahasa menggunakan kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang puitis. Penulisnya asyik masyuk dengan gaya bahasa yang dipuitis-puitiskan hingga hingga kadang-kadang membuat pembaca merasa jenuh, nek, dan merasa ingin  muntah dan mencampakkan cerita tersebut sebelum tamat. Membaca cerpen seperti ini sama dengan membaca puisi, atau ia adalah sebuah puisi itu sendiri, dan penulisnya menulis cerpen tersebut seperti menulis puisi.

Di sisi lain, cerpen yang mengandalkan kekuatan seni bercerita adalah cerpen yang mengutamakan kepintaran penulisnya dalam bercerita. Cerpen-cerpen seperti ini memukau pembaca dengan keasyikan mengikuti liku-liku cerita, yang sering kali tidak liner, berliku, mundur maju, melompat-lompat, dan menimbulkan teka-teki. Cerpen yang mengandalkan kekuatan cerita mempunyai daya tarik yang kuat pada cara bercerita itu sendiri daripada pada cerita yang ingin disampaikan. Cerpen seperti ini menggunakan kata-kata yang sederhana, lugas, dan apa danya. Cerpen-cerpen yang ditulis para sastrawan umumnya adalah cerpen yang mengandalkan kekuatan seni bercerita seperti ini. Kekuatan seni bercerita pulalah yang membuat novel-novel detektif dan film-film thriller ala Hollywood menjadi menarik.

Menurut majalah Tempo, yang ditulis dalam sampul belakang buku ini, kumpulan cerpen A.S. Laksana ini “mengembalikan kekuatan seni bercerita,” (mungkin menurut majalah ini kekuatan seni bercerita itu telah lama hilang dari khasanah sastra Indonesia). Dan itu memang terasa ketika saya membaca cerita-cerita yang ada dalam buku ini. Dari 20 cerpen yang ada dalam buku ini semuanya diceritakan dengan gaya yang menarik. Di samping itu, kekuatan seni bercerita dalam cerpen-cerpen dalam buku ini terlihat pada teka-teki yang ditimbulkannya di hati pembaca, yang membuat pembaca bertanya-tanya hingga tak bisa tidur setelah selesai membacanya.

Tidak ada satupun cerpen dalam buku ini yang asyik masyuk dengan eksplorasi kebahasaan; yang mabuk kepayang dengan gaya penulisan yang puitis. Semua kalimat-kalimat yang terangkai sambung menyambung hingga membentuk satu kesatuan yang utuh yang disebut cerpen dalam buku ini mempunyai kekuatannya sendiri-sendiri. Masing-masing kalimat adalah sebuah cerita, bukan untaian puisi.  

Dan kekuatan penceritaan dalam kumpulan cerpen ini juga didukung oleh pilihan kata-kata yang sederhana dan sehari-hari namun tegas. Dalam hal ini, A.S. Laksana lebih suka menggunakan kata ‘mati’ daripada ‘meninggal dunia,’ kata ‘berak’ daripada ‘buang air besar,’ ‘kuburan’ daripada ‘makam,’ misalnya.  

Namun teka-teki yang terkandung dalam cerpen-cerpen dalam buku ini tidak ada yang mudah dicerna. Masing-masing cerita meninggalkan tanda tanya di hati pembacanya. Misalnya, apakah isi surat Alit dalam cerpen ‘Ibu Tiri Bergigi Emas,’ yang dijadikan pembuka dan penutup cerpen ini. Tidak mudah menebak apa isi surat tersebut, dan dalam bagian penutup cerpen ini hanya disebutkan,….”Sampai bertahun-tahun nanti, isi surat itu akan tetap menjadi rahasia yang dipegang hanya oleh Alit dan ayahnya. Tak ada yang tahu selain mereka berdua.” Sayang, pembaca kebanyakan juga mungkin tidak tahu apa isi surat itu, padahal justru surat itu adalah daya tarik dari cerpen ini karena dalam surat itu tersimpan rahasia mengapa Alit sampai pergi meninggalkan rumah dari ayah dan ibu tirinya.

Juga, siapakah lelaki yang mati dalam cerpen ‘Seorang Lelaki Tertelungkup di Kuburan’ itu? Cerpen ini mengisahkan para korban tsunami Aceh tahun 2004. Dan sudut pandang cerita ini adalah dari laki-laki yang mati tertelungkup di kuburan itu sendiri, yang justru membuat pemahaman menjadi bertambah rumit. Bayangkan, si laki-laki yang mati itu sendiri yang menceritakan kematiannya untuk pembaca! Juga mengapa Fira dan atasannya di tempat kerja bisa bertukar tubuh, yang perempuan jadi lelaki, yang lelaki jadi perempuan, dalam cerpen ‘Dongeng Cinta yang Dungu,’ sehingga membuat orang terkecoh mengira atasannya sedang memeluk Fira, padahal Fira sedang memeluk dirinya sendiri.

Walhasil, semua cerpen dalam buku ini asyik dibaca namun masing-masing meninggalkan teka-teki yang sulit dijawab, yang menghendaki para pembaca memecahkannya sendiri. Diperlukan kecerdasan dan imajinasi yang luar biasa untuk memahami cerita-cerita dalam buku ini. Dan maafkan saya jika tidak cukup cerdas.***

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger