Guru Bukan Penentu Mutu Pendidikan

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa guru adalah faktor utama bagi mutu pendidikan; bahwa guru merupakan penentu utama mutu pendidikan; tinggi rendahnya mutu pendidikan tergantung pada guru; maju mundurnya pendidikan tergantung pada guru; dan mau ke mana pendidikan dibawa adalah guru yang menentukan.

Berangkat dari pendapat seperti ini kemudian bermunculanlah upaya-upaya peningkatan mutu guru secara besar-besaran. Pelatihan-pelatihan guru, workshop guru, penataran guru, hingga sertfifikasi guru di lakukan di mana-mana secara besar-besaran. Namun, adakah mutu pendidikan meningkat setelah itu? Ternyata, ada sinyalemen yang mengatakan bahwa upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu guru serupa itu tidak berhasil. Mutu pendidikan tidak meningkat setelah guru-guru dilatih. Guru yang bersertifikat juga tidak menunjukkan hasil pendidikan yang lebih baik.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa mutu pendidikan itu ternyata tidak tergantung pada mutu guru, atau sekurangnya tidak tergantung sepenuhnya pada mutu guru. Dengan kata lain, guru bukanlah satu-satunya faktor penentu mutu pendidikan. Guru yang bermutu setinggi apapun tidak akan mampu menghasilkan pendidikan yang bermutu jika tidak ditunjang oleh faktor-faktor lain, seperti input (mutu murid itu sendiri), sarana-prasarana pendidikan yang tersedia (gedung, laboratorium, perpustakaan), media pendidikan, kurikulum yang tepat, serta lingkungan pendidikan yang kondusif, yang nyaman untuk menunjang pendidikan.

Guru lulusan perguruan tinggi terbaik dengan IP terbaik sekalipun tidak akan mampu menghasilkan anak didik yang bermutu tinggi jika si anak yang bersangkutan itu sendiri tidak bermutu, alias bermutu rendah. Sebaliknya, guru lulusan perguruan tinggi gurem dengan IP yang pas-pasan bisa menghasilkan lulusan terbaik jika diberi murid terbaik. Contohnya ada di mana-mana. Kita sering kali mendengar seorang anak dari sekolah terpencil, yang bukan sekolah unggulan, yang dengan demikian gurunya juga bukan guru unggulan, tetapi bisa mencapai hasil ujian terbaik, bahkan lebih baik dari lulusan sekolah favorit.

Demikian pula, sekolah unggulan, dengan guru yang juga unggulan, tidak akan bisa berbuat banyak jika tidak diberi murid yang juga unggulan. Dengan kata lain, sebenarnya tidak ada sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah bertaraf internasional, yang ada adalah murid unggulan, murid favorit, dan murid bertaraf internasional. Bukan sekolah yang menentukan mutu, tapi murid. Meski guru-guru di sekolah tersebut bisa meningkatkan mutu anak didiknya, namun peningkatannya tidaklah signifikan, tidak sebanding dengan mutu sekolah itu sendiri.

Di sisi lain, sarana-prasarana yang penunjang kegiatan belajar mengjar juga ikut menentukan mutu pendidikan. Bayangkan, Anda mengajar di sebuah sekolah yang sarana-prasarananya serba minim. Murid datang ke sekolah hanya membawa buku catatan, tidak ada buku-buku teks, tidak ada buku-buku penunjang, tidak ada kamus, tidak ada alat bantu hitung menghitung, tidak ada media. Jangan harap Anda akan menghasilkan lulusan yang bermutu, yang sebanding dengan lulusan sekolah yang mempunyai sarana-prasarana yang lengkap, apalagi dengan murid-murid sekolah unggulan yang menenteng laptop ke mana-mana.

Di samping itu, tentu saja pendidikan tidak akan bermutu tanpa didukung oleh kurikulum yang tepat, yang sesuai dengan situasi dan kondisi lokal di wilayah sekolah tersebut. Selama ini kurikulum yang kita terapkan belum tentu bisa menjawab urgensi peningkatan mutu pendidikan yang kita idam-idamkan. Buktinya, sekolah-sekolah di daerah selama ini mengalami kesulitan dalam menerjemahkan kurikulum yang diciptakan pusat ke dalam satuan-satuan pendidikan dan latihan yang aplicable dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari. Kurikulum bentukan pusat—yang harus diikuti oleh seluruh daerah di Indonesia—sering kali tidak praktis dan sulit diterapkan di daerah karena berbagai faktor, seperti sarana-prasarana, kesiapan murid, dan kesiapan guru itu sendiri. Akibatnya, guru-guru di daerah sering kali menerapkan kurikulum ciptaan pusat tersebut dengan interpretasi mereka sendiri, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi murid yang mereka pahami. Keadaan seperti ini tidak bisa disalahkan mengingatkan sebagai guru merekalah yang paling mengerti keadaan murid mereka sendiri.

Dan yang tidak kalah penting, lingkungan juga merupakan salah satu faktor dalam menentukan mutu pendidikan. Sekolah-sekolah yang berada di wilayah perkotaan umumnya mempunyai mutu yang lebih tinggi karena lingkungan kota yang kondusif bagi dunia pendidikan. Adanya kursus-kursus dan lembaga penyelenggara pendidikan ekstra tentu sangat menunjang peningkatan mutu. Jumlah unit sekolah yang lebih banyak tentu juga menimbulkan suasana persaingan yang lebih ketat hingga membuat siswa lebih terpacu untuk bersaing; lebih termotivasi. Di samping itu, siswa di kota juga lebih banyak mempunyai akses terhadap media; Internet, toko buku, surat kabar, dsb.

Sedangkan di wilayah pelosok keadaannya serba terbalik; tidak ada lembaga penunjang pendidikan, jumlah unit sekolah sangat sedikit, tidak ada toko buku, surat kabar, Internet (kalaupun ada Internet tentu aksesnya tidak seluas di kota). Dan waktu luang siswa di pelosok kebanyakan digunakan untuk membantu orang tua mereka bekerja di ladang. Bandingkan dengan siswa kota yang kebanyakan mengisi waktu luang mereka dengan bermain atau mengikuti les.

Walhasil, mutu pendidikan tidak bisa begitu saja dibebankan pada guru. Mutu pendidikan yang rendah bukan karena gurunya bermutu rendah. Untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak bisa hanya dengan meningkatkan mutu guru. Mutu pendidikan sebenarnya terletak pada peserta didik itu sendiri. Setekun apa seorang siswa berusaha, sekeras apa dia belajar, sejauh mana dia berusaha mendisiplinkan diri sendiri, setinggi itulah mutu pendidikan yang akan dia raih. Contohnya sudah cukup banyak. Kita sudah cukup sering mendengar dan membaca tentang kisah sukses seseorang dalam pendidikan meskipun dia berasal dari desa, dari sebuah tempat di mana pendidikan tidak bermutu, bahkan berlangsung dalam suasana serba kekurangan.

Di sisi lain, tuntutan kurikulum saat ini yang bersifat students-centered, di mana siswa dituntut lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran, di mana guru hanya bertugas sebagai motivator dan fasilitator, cukup menunjukkan bahwa guru bukanlah penentu mutu pendidikan. Mutu pendidikan itu ditentukan oleh siswa itu sendiri.

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger