Kisah-kisah Kekejaman di Kamp-kamp Penjara Korea Utara

Warning: Graphic. In these chilling drawings released to the United Nations, former North Korean prisoner Kim Kwang-Il details torture methods he witnessed during his time in captivity. In this position, called "pigeon torture," Kim says he was beaten on the chest until he vomited blood.
Dalam gambar yang mengerikan yang diberikan pada PBB ini, bekas penghuni penjara Korea Utara Kim Kwang-Il menggambarkan cara penyiksaan yang dia saksikan selama dia berada di sana. Dalam posisi yang disebut "penyiksaan merpati" ini Kim mengatakan dia dipukul di bagian dada hingga muntah darah.

(CNN) -- Testimoni-testimoni tersebut, satu per satu, telah memberatkan, mengganggu dan, pada titik-titik tertentu menyakitkan.

Seorang yang selamat dari kamp penjara di Korea Utara bercerita tentang seorang wanita hamil, yang dalam kondisi hampir-hampir kelaparan, melahirkan seorang bayi—melahirkan sebuah kehidupan baru untuk menantang segala rintangan di dalam sebuah kamp yang suram. Seorang petugas kemanan mendengar tangisan si bayi dan memukul ibunya sebagai sebuah hukuman.

Sang ibu memohon kepada si petugas keamanan agar diperkenankan merawat si bayi, tapi sang petugas terus memukulinya.

Dengan tangan gemetaran, si ibu dipaksa mengangkat bayinya dan merendam si bayi ke dalam air dengan posisi muka di bawah sampai tangisan si bayi terhenti dan timbul gelembung-gelembung air keluar dari mulutnya.

Itu hanyalah salah satu contoh kesaksian yang didengar selama 11 bulan penyelidikan tentang apa yang disebut-sebut sebagai pelanggaran hak azazi manusia di Korea Utara, dan didokumentasikan dalam sebuah laporan yang dirilis oleh Komisi Penyelidik Hak Azazi Manusia PBB pada hari Senin kemarin.

Komisi tersebut menyimpulkan bahwa Korea Utara telah melakukan kejahatan atas kemanusiaan. Komisi tersebut menginvestigasi isu-isu sehubungan dengan hak-hak atas makanan, kamp penjara, penyiksaan dan perlakukan tak manusiawi, penahanan sewenang-wenang, diskriminasi, kebebasan bereskpresi, hak untuk hidup, kebebasan bergerak, dan penghilangan secara paksa, termasuk menculik penduduk lain.

Panel tersebut melaporkan sebuah katalog yang mengejutkan tentang penyiksaan dan pelecehan yang meluas bahkan pada penduduk Korea Utara yang paling lemah sekali pun yang sekaligus mengungkap sebuah potret dari sebuah negara yang brutal “yang tidak ada bandingannya di dunia jaman sekarang.”

Kita masih harus menunggu dampak apa yang akan timbul dari laporan tersebut dan Apakah China, yang merupakan anggota Dewan Keamanan PBB dan sekutu Korea Utara yang setia, akan menghalang-halangi upaya pemulihan hak azazi manusia ini. 

Sekumpulan bukti

Semenjak dibentuk tahun lalu, komisi tersebut telah meneliti gambar-gambar dari satelit, bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian dari lebih dari 100 korban, saksi-saksi dan para ahli yang berhubungan dengan Korea Utara. Sebagian dari testimoni tersebut dirahasiakan karena kepentingan melindungi para keluarga korban yang masih tinggal di Korea Utara.

Perhatian internasional terhadap Korea Utara selama ini berfokus pada penghentian program senjata nuklir negara tersebut, tapi, sebagai respons atas kian banyaknya laporan-laporan rinci tentang pelanggaran hak azazi manusia yang di negara yang terisolasi tersebut, Dewan Hak Azazi Manusia PBB yang terpilih pada bulan Maret telah mendirikan komisi tersebut. 

Bagi banyak warga Korea Utara yang memberikan kesaksian, adanya komisi tersebut merupakan pengakuan atas penderitaan yang mereka alami selama hidup di sana hingga mereka lari dari rejim tersebut. Korea Utara disebut-sebut menganut azas “guilt by association”—yang memungkinkan mereka menghukum para anggota keluarga seseorang dan para keturunan mereka atas kesalahan orang tersebut.

Pyongyang menolak bekerjasama dalam investigasi ini dan mereka tidak mengakui validitas komisi tersebut. Komisi Penyelidik telah meminta akses ke Korea Utara dan juga mengundang para penguasa negara itu untuk meneliti bukti-bukti yang mereka kumpulkan dan ikut membantu penyelidikan. 

Pada bulan Mei 2013, Korea Utara mengirim sepucuk surat yang bunyinya mereka “sepenuhnya dan dengan tegas menolak Komisi Penyelidik” dan mereka tidak menjawab  surat-surat berikutnya, kata Michael Kirby, kepala Komisi Penyelidik PBB.  

Komisi tersebut terdiri dari tiga orang yang ditunjuk, yang diketuai oleh Kirby, seorang bekas hakim Pengadilan Tinggi Australia, bersama Sonja Biserko dari Serbia dan Marzuki Darusman dari Indonesia.
Melalui kantor berita resmi mereka KCNA, Korea Utara pada bulan Agustus mengutuk curah pendapat tersebut sebagai sebuah “sandiwara” untuk “mendengarkan kesaksian dari orang yang tak berguna.”

Kehidupan di penjara

Dalam acara curhat yang diselenggarakan di seoul, Tokyo, London dan Washington, D.C., para bekas penduduk Korea Utara bercerita tentang penyiksaan dan pemenjaraan yang dilakukan pemerintah karena mereka menonton sinetron atau mencoba mencari makanan untuk menghidupi keluarga mereka. Banyak di antara mereka yang berakhir di penjara karena menyeberang perbatasan dengan China atau hanya karena mempunyai saudara yang diduga menantang rejim pemerintah.

Kamp-kamp penjara di Korea Utara telah bertahan dua kali lipat lebih lama daripada kamp penjara gulag di Soviet pada masa Stalin dan jauh lebih lama daripada kamp-kamp konsentrasi Nazi.

Salah seorang saksi mata mengatakan para penghuni penjara yang masih muda di kamp-kamp penjara Korea Utara menjadi sangat nekat akan makanan sehingga mereka memakan ulat hidup atau ular yang bisa mereka tangkap di lapangan sekedar untuk mengisi perut mereka. 

“Karena kami telah melihat banyak sekali orang yang mati, akhirnya kami jadi terbiasa,” kata salah seorang bekas penghuni penjara yang selamat pada komisi. “Maaf kalau saya katakan bahwa kami sudah biasa melihat kejadian seperti itu sehingga kami tidak merasa apa-apa lagi. Di Korea Utara, kadang-kadang orang yang hampir mati akan meminta seuatu untuk dimakan. Atau ketika seseorang mati kami akan menelanjangi dia untuk diambil pakaiannya. Mereka yang masih hidup harus bertahan, mereka yang mati, saya minta maaf, tapi kan mereka sudah mati.”

Jee Heon A menceritakan pada komisi masa ketika dia tinggal di sebuah penjara di Korea Utara. Perempuan itu dikirim ke sana setelah dipulangkan dari China. Dia berteman dengan seorang gadis muda, yang bernama Kim Young Heed dan mereka berdua menjadi seperti saudara. Ketika mereka dipaksa bekerja di lapangan, mereka mencari-cari jenis rumput atau tumbuhan yang bisa dimakan, karena jatah makanan di penjara tidaklah cukup.

“Kami menyelesaikan pekerjaan kami dan kami bersiap-siap membawa tumbuhan tersebut yang kami tahu bisa dimakan,” kata Jee pada komisi. “Dan kemudian penjaga mengetahui, dan dia mendatangi kami dan menginjak tangan kami dan kemudian dia membawa kami sebuah tempat dan kami diminta berlutut.”
Mereka berdua dipaksa memakan tumbuhan tersebut bersama akar-akarnya dan juga tanahnya sebagai hukuman. Kim kemudian mengalami diare karena memakan tanah.

“Tidak ada yang bisa saya lakukan,” kata Jee. “Saya tidak bisa memberi dia obat. Dan ketika dia meninggal dunia, dia bahkan tidak bisa menutup matanya. Dia meninggal dunia dengan kedua mata terbuka. Saya menangis sejadi-jadinya.”

Dia menutup jasad Kim dengan kantung plastik dan penghuni penjara yang lain menguburkannya dan sekitar 20 orang lainnya di sebuah bukit.


“Kami menutupi lubang kuburan mereka dengan gumpalan dan bongkahan tanah, tapi seminggu kemudian ketika kami kembali ke sana, kuburan-kuburan itu sudah kosong, jasad-jasad mereka tidak ada lagi. Kami merasa heran ketika menaiki bukit itu. Kemudian kami tahu bahwa orang tua yang menjaga makam itu telah memberikan jasad-jasad tersebut pada anjing-anjingnya untuk dimakan. Dia memelihara empat ekor anjing dan ajing-anjing itu memakan kepala-kepala mayat dan bagian-bagian tubuh mereka yang lain.”

Ini adalah kenyataan di dalam penjara Korea Utara, kata Jee.

Dia mengakhiri kesaksiannya dengan mengatakan: “Saya merasa malu, saya malu berada di sini. Di sana banyak orang sekarat hampir mati, tapi karena saya sendiri ketika itu juga mengalami kesulitan untuk bisa bertahan hidup, saya tidak mampu membantu mereka dan saya merasa bersalah.”

“Saya hidup seperti seorang narapidana, itulah alasan hidup saya, alasan mengapa saya harus pergi ke Korea Selatan, selain kekebasan bagi saya sendiri, adalah untuk survive dan hidup atas nama mereka yang tidak mampu bertahan hidup. Mereka mati dengan tidak beralasan. Untuk membantu jiwa mereka beristirahat dengan tenang saya harus berbuat sesuatu untuk kehidupan mereka.” (By Madison Park, CNN)


http://edition.cnn.com/2014/02/16/world/asia/north-korea-un-report/index.html?hpt=hp_t2

comment 1 comments:

Unknown on February 19, 2014 at 10:55 PM said...

lam kenal gan,,, mampir...
http://www.renothreeisaputra.com
tukaran link juga boleh gan... :)

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger