“TANGGAL berapa sih 17 Agustus?” Pertanyaan ini benar-benar pernah dilontarkan oleh seorang teman saya, ketika masa kanak-kanak dulu, maklum anak-anak, mana tahu soal arti hari kemerdekaan. Tapi setelah beranjak dewasa, pertanyaan itu muncul lagi dari teman saya yang lain, yang juga sedang beranjak dewasa.
Miris, apakah ini pertanda betapa kita tidak peduli tentang arti sejati hari kemerdekaan. Hari kemerdekaan, bagi sebagian dari kita, adalah pesta olahraga, turnamen, pertandingan persahabatan, kejuaraan, pentas seni, baris berbaris, karnaval, dan tentu saja panjat pinang. Itulah makna 17 Agustus, tidak lebih. Maka ketika orang membicarakan 17 Agustus, hal-hal seperti itulah yang mereka bicarakan. Banyak orang yang tidak sabar menunggu kedatangan tanggal 17 Agustus karena hal-hal seperti itu.
Sejatinya, makna kemerdekaan, seperti yang tercantum dalam naskah proklamasi, adalah merdeka terlepas dari penjajah, untuk menyelenggarakan pemerintah sendiri untuk menuju cita-cita masyarakat adil dan makmur.
Kemudian, setelah kemerdekaan dalam arti sejati tersebut tercapai, timbul banyak sekali aspirasi untuk memaknai kemerdekaan tersebut. Beberapa dari aspirasi itu disampaikan secara ekstrem sehingga seolah-oleh menjadi arti kemerdekaan itu sendiri, menggeser artinya yang sejati.
Banyak orang berkata kita belum merdeka kalau masih banyak masyarakat kita yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Banyak orang berkata bahwa kita belum merdeka kalau masih banyak di antara kita yang tidak tidak mampu mengenyam pendidikan (sering diartikan pendidikan gratis). Banyak orang berkata kita belum merdeka kalau masih banyak di antara kita yang belum mendapat kepastian hukum (supremasi hukum belum ditegakkan), banyak orang berkata merdeka berarti terjamin keamanan dan bebas dari intimidasi, diskriminasi, dan represi, dan lain-lain, yang kalau disebutkan semua, mungkin, berarti kita tidak akan pernah merdeka.
Tuntutan-tuntutan seperti itu memang memperkaya visi dan misi soal kemerdekaan, tapi kalau disampaikan secara ektrem, dia seolah-olah ingin menggeser arti kemerdekaan yang sejati, di samping, tentu, menimbulkan gerakan-gerakan yang ekstrem.
Bukannya hendak mengharamkan gerakan yang ekstrem, saya pikir pemerintah tentu saja mempunyai pikiran, visi dan misi kemerdekaan yang sama, hanya saja mereka perlu waktu untuk mewujudkannya.
Tidak gampang memang untuk mencapai cita-cita kemerdekaan dalam arti yang begitu luas, yang menggapai semua makna, mencakup seluruh aspirasi, dan memenuhi segala keinginan. Bahkan dalam bentuknya yang paling ekstrem, cita-cita kemerdekaan seperti itu hanyalah sebuah utopia, seuatu yang tidak akan terwujud oleh manusia biasa. Misal dalam masalah kemiskinan, negara merdeka mana di dunia ini yang tidak ada penduduk miskinnya, dalam masalah pendidikan, bahkan di negara yang sudah maju pun pendidikan tidak gratis, begitu juga halnya dalam aspek-aspek yang lain.
Kemerdekaan dalam arti yang luas adalah cita-cita seluruh negara merdeka. Dan untuk mencapai cita-cita itu diperlukan waktu dan kerja keras, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Namun bukan berarti kalau itu semua belum tercapai kita belum merdeka. Sesungguhnya, kita sudah merdeka dalam arti kemerdekaan itu sendiri, an sich, bukan kemerdekaan dalam berbagai persepsi. Kemerdekaan dalam berbagai persepsi adalah sudut pandang yang memperkaya arti kemerdekaan itu.
Kenyatan bahwa kita bebas memilih jalan hidup kita masing-masing tanpa ada yang memaksa. Kita punya kesempatan untuk menempuh pendidikan yang kita suka. Kita bebas memilih pekerjaan; bekerja atau tidak bekerja (bayangkan kalau kita dipaksa bekerja seperti di jaman Jepang, misalnya). Kita bebas berserikat dan berkumpul. Dan yang tidak kalah penting kita bebas menulis, mengemukakan pendapat, adalah juga kemerdekaan.
Mungkin terdengar naïf, tapi itulah kemerdekaan.
“Tanggal berapa sih 17 Agustus?.”
0 comments:
Post a Comment