MENJADI kritis adalah diperlukan jika untuk mengontrol jalannya sebuah proyek atau pemerintahan, agar sebuah proyek atau pemerintahan tidak berjalan kebablasan, lepas kontrol. Menjadi kritis juga diperlukan sebagai penyeimbang, supaya sesuatu tidak berjalan berat sebelah, semaunya sendiri, asal jadi, yang bisa merugikan kepentingan masyarakat.
Dan memang, sejak jaman reformasi ini banyak sekali masyarakat kita yang mengambil posisi sebagai pengkritik kebijakan pemerintah, atau dalam skala kecil dinas pemerintah, atau dalam skala yang lebih kecil lagi unit pelaksana teknis (UPT). Hal ini tentu saja menggembirakan sejauh kritikan itu disampaikan secara tulus dengan niat untuk kebaikan bersama, demi kemajuan bersama, pemerintah dan masyarakat, bukan krtitikan yang dilancarkan dengan agenda tertentu, yang tidak konstruktif.
Dengan adanya program sekolah (dasar) gratis, seperti yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten Lampung Barat saat ini, maka kritikan itu semakin gencar. Sedikit saja gerakan sebuah sekolah dasar untuk menarik dana dari orang tua murid, maka beribu kritikan pedas muncul di surat khabar, tidak peduli apa pun latar belakang penarikan dana tersebut, perlu atau tidak perlu dana tersebut ditarik, masuk akal atau tidak masuk akal jumlah yang diminta, urgen atau tidak urgen untuk dilaksanakan saat itu.
Seperti yang terjadi di salah satu sekolah dasar negeri (SDN) di Lampung Barat. Sang kepala sekolah mengeluh betapa masyarakat terlalu overkritik, dengan tidak mempertimbangkan kepentingan bersama yang mendesak, meski itu untuk kepentingan mereka sendiri.
Karena pekarangan sekolah mereka berupa tanah tak berumput, maka kalau hujan pekarangan tersebut menjadi becek. Dan lantai ruang kelas pun menjadi kotor oleh lumpur yang terseret oleh sepatu. Jika musim hujan sungguh tidak nyaman.
Maka timbullah sebuah ide untuk memasang paving blocks di halaman sekolah tersebut. Untuk itu mereka mengumpulkan orang tua murid dan komite sekolah untuk mengadakan rapat.
Hasil dari rapat tersebut diperlukan dana sebesar Rp.12 juta untuk pelaksanaan proyek tersebut, dan disepakati masing-masing orang tua murid menyumbang sebesar Rp.75.000. “Ini murni kesepakatan para orang tua murid dan komite, bukan atas desakan saya” kata sang kepala sekolah, “bahkan saya tidak hadir dalam rapat itu karena saya masih ada tugas di luar,” tambahnya.
Tapi sayang seribu sayang, setelah beberapa orang wali murid membayar, muncul suara-suara sumbang dan kritikan pedas di masyarakat dan di surat khabar yang menyudutkan sekolah tersebut, khususnya kepala sekolah, yang pada pokoknya adalah memojokkan dirinya karena tetap menarik iuran pada saat pemerintah menjalankan program sekolah (dasar) gratis.
Ketika ditanya mengapa dia melakukan itu, sang kepala sekolah menjawab bahwa itu mereka lakukan karena memang kebutuhan itu mendesak. “Suasana KBM menjadi tidak nyaman kalau musim hujan,” katanya. “Kalau mau menyisihkan anggaran sebesar itu dari dana BOS, tidak akan cukup karena jumlah murid di sini cuma sedikit. Kalau jumlah muridnya banyak, kan jumlah dana BOS-nya juga banyak, jadi bisa disisihkan sedikit demi sedikit, setahap demi setahap, untuk perbaikan sarana/prasarana. Saya pernah melakukan itu ketika saya menjadi kepala sekolah di sekolah yang muridnya banyak. Tapi di sini tidak mungkin. Untuk biaya operasional sehari-hari saja pas-pasan,” katanya.
Akhirnya, karena tidak tahan dilanda kritikan dan kecaman yang sedemikian dahsyat, sang kepala sekolah menyerah, dan uang iuran orang tua murid yang sudah terlanjur mereka tarik dikembalikan lagi pada yang bersangkutan. Punah sudah impian untuk mendapatkan tempat KBM yang nyaman.
Dan sial ternyata belum berakhir. Suara-suara protes dari masyarakat itu ternyata sampai pula ke telinga polisi. Dan polisi mendapat sebuah celah untuk masuk ke persoalan, yang justru membuat masalah semakin runyam.
Ternyata terjadi kesalahan prosedur dalam penarikan dana dari masyarakat tersebut, dan ini dijadikan alasan polisi untuk melakukan penyelidikan. Seharusnya dana ditarik oleh komite sekolah dan kuitansinya ditandatangai oleh ketua komite, tapi dalam hal ini, dana ditarik oleh sekolah dan kuitansi ditandatangi oleh kepala sekolah.
Sebenarnya, boleh saja menarik dana sumbangan dari masyarakat asal dilakukan atas persetujuan bersama berdasarkan musyawarah dan mufakat, dengan catatan dana harus digunakan untuk kepentingan sekolah, dan penarikannya dilakukan oleh masyarakat sendiri melalui komite sekolah. Dengan kata lain, dana ditarik oleh dan dikelola oleh masyarakat, dan dalam hal ini sekolah tidak ikut campur.
“Sebenarnya kami bersedia tidak ikut campur dalam pengelolaan dana tersebut. Tidak ada keberatan dari pihak kami akan hal itu. Tapi ini adalah permintaan dari komite sekolah itu sendiri. Mereka meminta kami yang mengelola dana tersebut karena mereka tidak punya waktu untuk berkeliling dari rumah ke rumah, menarik dana. Jadi ini murni permintaan mereka. Bukan atas permintaan kami. Dan kami dalam hal ini hanya membantu,” kata sang kepala sekolah menjelaskan.
Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Dana sudah terlanjur dikembalikan. Tidak ada niat sang kepala sekolah untuk meneruskan proyek tersebut meski banyak yang mendesak agar proyek itu tetap diteruskan. “Sebenarnya bisa saja kami tetap bertahan, meneruskan proyek ini, banyak yang tetap mendukung kami. Tapi suasananya sudah tidak menyenangkan, dan saya tidak bisa bekerja dengan suasana seperti ini,” katanya.
Dan para pengkritik pun tertawa.
0 comments:
Post a Comment