Diagnosis Gangguan Bipolar pada Anak; Kontroversi DSM-5

Photo: Todor Tsvetkov/Getty Images

Menyangkut masalah amuk di kalangan remaja, ada beberapa jenis amuk—dan kemudian ada beberapa jenis amuk lagi yang bisa didiagnosis.

More on Shine: How Will the New Definition of Autism in DSM-5 Affect Children? Parents, Advocates Anxious Over Changes.

Banyak anak-anak yang cenderung marah secara meledak-ledak, faktanya, diberi label bipolar. Ini adalah bagian dari alasan mengapa, dalam dekade yang lalu saja, diagnosis bipolar yang terjadi pada anak-anak telah melambung hingga angka yang mengejutkan yaitu 40 persen, dengan beberapa orang memperkirakan rata-rata prevalensi setinggi 3 persen pada remaja adolesen. Dan kiranya penting diingat bahwa, sebelum pertengahan tahun 1990-an, tidak ada anak-anak yang mengalami gangguan bipolar.

Apa yang terjadi di sini adalah evolusi yang menarik dalam hal gangguan pediatrik, yang didorong oleh studi-studi psikiatrik besar yang telah mengubah cara melihat gejala-gejala adanya gangguan tersebut pada anak-anak, dan kulminasinya, setidaknya sekarang ini, adalah peluncuran DSM-5, kitab Injil resmi penyakit mental AS yang kontroversial bulan ini

More on Yahoo!: Catherine Zeta-Jones Seeks Help Again for Bipolar Disorder

Edisi kelima dari buku Panduan Diagnostik dan Statistik ini, yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association dan digunakan untuk mendiagnosis pasien, adalah penulisan ulang besar-besaran yang pertama dari sebuah buku panduan hampir setebal 1000 halaman dalam 20 tahun terakhir ini. Manual ini adalah bentuk revisi yang paling teliti dan yang paling banyak diperdebatkan sejauh ini. Di antara bermacam perubahan isi yang ada saat ini adalah pengantar tentang Disruptive Mood Disregulation Disorder, atau DMDD, yang dimaksudkan untuk membantu menangani anak-anak yang cenderung mudah marah yang didiagnosis sebagai bipolar yang jumlahnya semakin banyak.

“Jalan menuju kesehatan mental dimulai dengan disgnosis yang akurat,” kata David Kupfer, kepala Gugus Tugas DSM-5 yang menulis tentang perubahan-perubahan tersebut, pada Yahoo! Shine.

Inilah cara dia menjelaskan perlunya menambahkan DMDD, yang membahas tentang anak-anak yang mengalamai iritabilitas kronis, dan juga kemarahan yang meledak-ledak yang sering berulang beberapa kali seminggu selama lebih dari setahun. Ledakan-ledakan kemarahan tersebut, menurut buku panduan diagnosis, bukanlah amuk (tantrum) khas seseorang; melainkan, ledakan-ledakan kemarahan yang di luar proporsi situasi, yang tidak sinkron dengan level perkembangan si anak, terjadi sekurangnya tiga kali seminggu, dan mulai terjadi sebelum si anak berusia 10 tahun. Orang tua dari anak-anak balita yang pemarah tidak perlu khawatir. Diagnosis tersebut semestinya tidak dibuat sebelum usia 6 tahun atau setelah usia 18 tahun. 

Akhir-akhir ini, kata Kupfer, anak-anak yang mengalami kemarahan jenis ini telah didiagnosis secara salah sebagai mengalami gangguan bipolar, yang berarti mereka tidak ditangani dengan benar—dan, dalam prosesnya, mungkin telah diobati secara berlebihan (overmedicated) dengan obat-obatan yang membawa efek samping mulai dari menyebabkan pertambahan berat tubuh yang parah hingga diabetes. Akan tetapi, penanganan DMDD tidaklah jelas pada titik ini, kata para ahli menyetujui, dan studi-studi percobaan kini sedang menguji efek dari antidepresan dan stimulan sebagai sebuah kemungkinan penyebab timbulnya efek samping tersebut. 

“Diagnosis yang baru dalam DSM-5 tersebut bertujuan untuk memberi anak-anak ini sebuah rumah diagnosis dan memastikan mereka mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan,” tulis Kupfer. “Di samping itu, anak-anak ini menunjukkan kumat kemarahan yang ekstrem dan berulang yang bisa sangat merugikan. Diagnosis yang salah telah membatasi opsi penanganan yang bisa dilakukan bagi si anak dan juga mempunyai dampak negatif terhadap validitas data dan riset di masa yang akan datang.

Namun masih ada banyak ketidaksetujuan di antara masyarakat psikiatrik tentang kasus ledakan kemarahan ini, dengan adanya banyak dokter yang percaya bahwa ledakan-ledakan kemarahan ini bisa, nyatanya, menjadi bagian dari diagnosis bipolar, yang sering kali muncul dengan cara yang jauh berbeda pada anak-anak dibandingkan dengan pada orang dewasa. Perbedaan pokok antara kedua disgnosis ini adalah bahwa anak-anak bipolar boleh jadi lebih cenderung bersifat maniak (manic episodes) daripada sekedar menunjukkan ledakan kemarahan (temper tantrums).

Ini adalah bagian dari pertanyaan mengapa respon-respon terhadap perubahan-perubahan, baik oleh kaum profesional maupun para orang tua telah berbeda jauh, di mana mereka yang tidak setuju mengatakan bahwa DMDD belum diteliti secara layak, dan bahwa diagnosis baru tersebut boleh jadi malah  memperburuk, bukannya mengurangi, resiko kaum adolesen yang mengalami overmedikasi. Psikiater  Allan Frances, sebagai contoh, yang merupakan salah satu anggota gugus tugas DSM ketika perubahan-perubahan dibuat untuk edisi ke-empat tersebut, telah berkata dalam berbagai forum bahwa DMDD akan secara efektif “mengubah temper tantrum menjadi gangguan mental,” yang dia sebut sebuah “keputusan yang mengundang teka-teki yang berdasarkan hasil kerja hanya salah satu kelompok peneliti.”

Dan David Axelson, direktur program rawat jalan layanan bipolar pada adolesen dan anak-anak di Universitas Pittsburgh, menyebut keputusan yang dimuat sebagai tambahan dalam DSM-5 tersebut sebagai “benar-benar prematur.” Dia menunjuk sebuah studi terbaru dalam American Journal of Psychiatry tentang adanya prevalensi yang tinggi dari simptom primer DMDD, dan kemungkinan akibatnya jika dimasukkan ke dalam DSM yang baru, yang semakin meningkatkan kekhawatiran akan “validitas dari diagnosisi tersebut.” 

Yang mengkhawatirkan adalah, tulis Axelson, karena diagnosis adalah penting dalam memilih perlakuan bagi anak-anak yang mengalami gangguan mental, yang bisa jadi merupakan “sebuah situasi yang agak beresiko.” Gangguan bipolar membutuhkan obat-obatan antipsikotik yang mempunyai efek samping yang besar, katanya menjelaskan. Namun jika identifikasi bipolar terlewatkan, dan sebaliknya teridentifikasi sebagai ADHD, depresi atau gangguan kecemasan (anxiety), yang bisa mempunyai simptom-simptom serupa, maka ada resiko besar lain: “Obat-obatan tersebut, ketika diresepkan tanpa disertai obat-obatan yang bisa menstabilisasi mood, kami pikir, bisa benar-benar memperburuk, akibat  bagi anak-anak yang mengalami gangguan bipolar.

Yang lebih disukai Dr. Axelson tentang apa yang perlu dilakukan pada mengenai DMDD, katanya menambahkan, adalah memasukkan DMDD tersebut pada bagian lampiran dari buku panduan tersebut, yang menunjukkan bahwa hal itu telah dicatat sebagai berharga untuk dipelajari lebih lanjut—rute yang digunakan untuk mengetahui tanda-tanda awal yang gradual akan adanya gangguan tersebut termasuk makan berlebihan dan gangguan disforik pramenstruasi (premenstrual dysphoric disorder), keduanya ditambahkan dalam buku panduan tersebut tahun ini.

Bahkan Ellen Leibenluft, kepala seksi gangguan spektrum bipolar pada National Institute of Mental Health, yang mengepalai riset DMDD yang ada dan yang terlibat dalam proses revisi DSM-5, merasa tidak yakin tentang penambahan diagnosis tersebut.

“Saya tidak memaksakan hal itu,” katanya pada Shine. “Saya terbelah.” Namun dia mengatakan, “Anak-anak yang mengalami diagnosis yang baru ini adalah sama sakitnya dengan anak-anak yang mengalami gangguan bipolar,” dan mereka membutuhkan sebuah rumah dalam DSM, pula. Jadi Leibenluft mengatakan dia bisa melihat dua sisi dari diskusi tersebut. “Tidak perlu diragukan lagi bahwa diagnosis psikiatrik mengalami banyak masalah sekarang ini,” katanya, “namun Anda harus melakukan yang terbaik yang Anda bisa dengan pengetahuan dasar yang Anda punya pada tahun 2013.”

Sesungguhnya, sebagian orang tua memandang penambahan DMDD sebagai penuh harapan. “Kami sangat optimistis karena kami pikir hal itu akan memicu lebih banyak lagi penelitian,” kata Susan Resko, direktur eksekutif dari Balanced Mind Foundation, sebuah lembaga nirlaba pendukung bagi keluarga anak-anak yang mengalami gangguan mood. Meski organisasi tersebut tidak yakin bagaimana sekolah-sekolah dan perusahaan-perusahaan asuransi akan merespon diagnosis yang baru ini, sehubungan dengan penyediaan layanan dan perlindungan asuransi bagi layanan-layanan tersebut, Resko mengatakan pada Shine bahwa isu tersebut “bernuansa,” dan isu yang sebenarnya adalah anak-anak yang membutuhkan bantuan.

“Ada keluhan yang mengatakan bahwa kami berlebihan dalam melakukan diagnosis (over-diagnosing),” katanya. “Well, anak-anak seperti itu selalu ada, dan mereka sedang berjuang. Anak-anak ini mengalami sakit yang parah, dan beresiko mengalami gagal sekolah atau bunuh diri.” Dan akhirnya mempunyai sebuah diagnosis yang sesuai dengan keadaan mereka yang sebenarnya boleh jadi akan membuat perbedaan, katanya.

Begitulah perasaan salah seorang ibu dari Pennsylvania, yang puterinya yang berusia 13 tahun didiagnosis menderita Mood Disorder Not Otherwise Specified (NOS) (gangguan mood yang belum diketahui dengan pasti) ketika dia berusia 9 tahun. “Apakah saya senang dengan diagnosis baru ini? Tentu ya,” kata si ibu tersebut, yang baru saja mempelajari tentang DMDD dari psikiater yang menangani anaknya, dan yang meminta Shine agar tidak menyebutkan namanya demi untuk melindungi privasi anaknya tersebut.

Gangguan yang baru tersebut, kata si ibu menejlaskan, kedengaran sangat mirip dengan yang dialami anaknya, yang “selalu merasa mudah tersinggung,” dan cenderung berada dalam situasi serupa depresi dan kemarahan yang mudah meledak-ledak meski hanya karena hal yang kecil.

“Dia sangat sensitif terhadap ekspresi wajah. Anda tampaknya harus menjadi seperti robot di dekatnya karena jika Anda memandang dia dengan cara tertentu dia akan meledak kemarahannya,” katanya, dia menambahkan bahwa anaknya tersebut kadang-kadang cenderung melakukan kekerasan, dan dia sering kali tidak mau pergi ke sekolah. “Namun saya tidak bisa memaksanya begitu saja karena hidung saya akan dipecahkannya.” Dia mengakui bahwa mengurus anaknya tersebut kadang-kadang terasa seperti “hidup bersama suami yang kasar,” yang membuatnya selalu harus berhati-hati setiap hari. Namun, katanya menambahkan, “kadang-kadang dia menyadari bahwa itu bukanlah dia yang sebenarnya.”

Akhir-akhir ini, si ABG tersebut diperlakukan dengan therapi behavioral dan mood stabilizer yang mempunyai efek samping bisa menimbulkan ruam yang bisa mengancam nyawanya. Ini adalah sebuah obat yang digunakan bagi anak-anak yang mengalami gangguan bipolar, meski si anak tersebut tidak memenuhi semua kriteria bagi sebuah diagnosis bipolar.

Untuk pertama kalinya, dia menambahkan, dia merasa punya harapan akan kondisi puterinya, dengan diperkenalkannya DMDD ini. “Dulu saya tidak peduli apa saja mereka menyebutnya. Tapi sekarang saya merasa gangguan ini perlu diberi nama,” katanya. “Saya kisa nama tersebut akan memberi beberapa validasi terhadap apa yang kami sekeluarga alami, dan semoga saja, dengan adanya nama tersebut, akan ada pemahaman lebih lanjut tentang anak-anak kita dan apa yang mereka butuhkan. (By Beth Greenfield, Shine Staff | Team Mom – Mon, May 13, 2013 12:09 PM EDT)

Related:
Can a Kid Be a Psychopath?
Understanding Bipolar Disorder
Survivors of Teens Suicide Attempts on Prevention: It's Not Always About Bullying
http://shine.yahoo.com/parenting/diagnosing-bipolar-disorder-in-kids--here-s-the-dsm-5-s-controversial-new-update-213957480.html

comment 1 comments:

Unknown on November 24, 2017 at 2:02 PM said...

Thanks, ifonya sangat menambah wawasan tentang gangguan bipolar

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger