Mengherankan menyaksikan betapa ribuan orang penduduk
Bandarlampung rela berdesak-desakan, memadati lapangan Saburai, dan membuat
macet jalan-jalan protokol di kota
tersebut demi menyaksikan Pagelaran Opera Van Java Roadshow, Sabtu, (3
Desember, 2011) malam. Kemacetan yang ditimbulkan oleh pergelaran acara
tersebut cukup parah, sehingga mengakibatkan lalu lintas tertunda, dan
menghambat sebagian besar perjalanan mereka yang melalui jalan-jalan utama di kota tersebut. Grup
dagelan yang terdiri dari Parto, Sule, Aziz gagap, Nunung, dan Andre tersebut
benar-benar menyihir warga kota
itu.
Bukan hanya warga biasa, bahkan gubernur Lampung dan
walikota Bandarlampung pun ikut menonton. Ada
apakah dengan Opera Van Java (OVJ) sehingga bukan hanya masyarakat, bahkan pejabat
teras di provinsi tersebut pun begitu terkesima dan seolah-olah terhipnotis
untuk bergerak bersama-sama menuju sebuah tempat. Daya tarik OVJ dalam
menggerakkan massa
untuk berkumpul seperti ini mengingatkan kita pada heboh tontonan layar tancap
yang sempat melanda masyarakat pedesaan pada tahun 1970-80-an.
Apa yang terjadi di Bandarlampung ini adalah sebuah ironi
mengingat merasakan betapa sulitnya mengumpulkan masyarakat dalam jumlah yang demikian
besar.
Sebagaimana yang kita ketahui, model komedi dalam OVJ adalah
model komedi slapstick. Ciri utama
komedi slapstick adalah tidak ada
kritik sosial dan tidak ada unsur pendidikan, demikian kata Sarwoko pengamat
komunikasi dan sosial budaya Universitas Lampung (Unila), dalam Lampung Post, 4 Desember, 2011. Komedi slapstick lebih mengandalkan kelucuan
dari gerak adegan daripada dialog.
Menurut Sarwoko, masyarakat kini semakin jauh terjebak dalam
kehidupan pragmatis. Untuk urusan komedi pun masyarakat benar-benar pragmatis.
“Tayangan OVJ identik dengan ‘menyiksa’ orang atau tersiksa. Ada adegan orang tua didorong hingga jatuh,
atau kepala orang dipukul. Nah, adegan seperti ini diikuti tawa penonton,”
kritik Sarwoko.
Sarwoko wajar kecewa. Sebagai akademisi dia tentu punya
tanggung jawab moral mengarahkan masyarakat. Tetapi komedi ya komedi. Komedi
adalah sesuatu yang bisa membuat orang tertawa. Perkara mendidik atau tidak
mendidik, itu adalah urusan departemen pendidikan, mungkin begitu pikir orang
kebanyakan, termasuk produser acara-acara komedi di TV serupa OVJ ini.
Dan perkara komedi slapstick ini tentu bukanlah hal yang
baru. Dari dulu sejak jamannya Bing Slamet, Benyamin S, Bagiyo, hingga Warkop
DKI film-film kita dipenuhi dengan komedi slapstick
yang tidak mendidik, dan dalam beberapa perkara, lucu pun tidak.
Komedi slapstick,
sebagaimana hakikatnya, tidak memerlukan kecerdasan untuk mencernanya, dan
kalaupun perlu, hanya sedikit sekali. Siapa pun yang punya mata dan punya
telinga bisa menangkap kelucuan dari adegan orang jatuh tertimpa ember yang
menutupi kepalanya, misalnya. Tidak diperlukan pikiran yang dalam untuk
memahami adegan seperti itu. Siapa saja, tua-muda, miskin-kaya, pintar atau
bodoh bisa memahami adegan seperti itu.
Tapi orang yang berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas,
dan berwawasan luas tentu tidak menikmati komedi seperti itu.
Bukan maksud saya untuk mengatakan penonton OVJ adalah
orang-orang yang tidak berpendidikan tinggi, tetapi mengapa kita tidak mulai
mencoba menyajikan komedi yang cerdas dan mendidik misalnya, komedi yang
mengajak orang berpikir dahulu sebelum tertawa. Bukankah sayang kalau jumlah massa yang sedemikian
besar hanya disuguhi komedi slapstick
semata, tidak disertai dengan sesuatu yang bersifat mendidik yang bisa mereka
bawa pulang. Wallahu’alam ….
0 comments:
Post a Comment