Mengapa New York Times berusaha menyembunyikan peran kunci bahwa AS
berperan dalam upaya kudeta di Indonesia pada tahun 1965 yang mengakibatkan
pembantaian antara 500.000 hingga 1 juta orang itu? Dalam sebuah laporan pada
tanggal 19 Januari”—Indonesia
Chips Away At the Enforced Silence Around a Dark History—Times menulis bahwa kudeta tersebut
merupakan “salah satu periode paling gelap dalam sejarah Indonesia modern, dan
merupakan yang paling sedikit dibahas, hingga saat ini.
Dan sebenarnyalah demikian,
tapi Times tidak saja hanya melanjutkan
mengabaikan keterlibatan AS dalam merencanakan dan melaksanakan kudeta
tersebut, namun juga tampaknya tidak tertarik untuk membaca arsip mereka
sendiri dari masa itu yang isinya melaporkan bahwa pemerintahan presiden Johnson
“senang dengan berita dari Indonesia.” Surat kabar tersebut juga melaporkan
sebuah kawat dari Menteri Luar Negeri Dean Rusk yang isinya mendukung “kampanye
melawan komunis” dan meyakinkan pemimpin kudeta tersebut, Jenderal Suharto,
bahwa “pemerintah AS secara umum merasa simpati dengan, dan memuji apa yang
dilakukan militer.”
Apa yang dilakukan tentara Angkatan Darat
Indonesia (Indonesian Army) adalah
memerkosa dan memenggal kepala orang-orang komunis, orang yang beraliran kiri,
dan anggota serikat buruh. Banyak orang yang disiksa secara kejam hingga tewas
oleh militer dan sekutu sayap kanan Muslim mereka Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah. Sebagian dari korban yang dibantai tersebut didapat berdasarkan
petunjuk dari intelijen AS.
Menurut
sebuah laporan yang terdiri dari tiga bagian dalam Sidney Morning Herald pada bulan juli 1999, wawancara dengan para napi politik Indonesia dan
berdasarkan pemeriksaan dokumen-dokumen Australia, “Kekuatan asing telah
memaksa para komandan militer Indonesia untuk
mempercayai sebuah klaim palsu akan adanya kudeta yang dicetuskan oleh Partai
Komunis Indonesai (PKI), demi untuk melakukan salah satu pembantaian kaum sipil
terbesar di abad ke-20 dan membangun kediktatoran militer.
Jenderal
Suharto mengklaim bahwa PKI berada di balik pembunuhan enam jenderal pada malam
tanggal 30 Juli, 1965, insiden yang kemudian memicu kudeta tersebut. Namun seri
laporan dari Herald tersebut mencakup
wawancara dengan dua orang laki-laki yang terlibat dalam apa yang disebut pemberontakan
30 Juli itu, yang keduanya mengklaim bahwa PKI tidak ada hubungannya dengan huru-hara
tersebut. Pada saat itu, PKI yang merupakan bagian dari pemerintah koalisi, menolak
penggunaan kekerasan, dan mempunyai kebijakan resmi untuk melakukan “transisi secara
damai” menuju sosialisme. Nyatanya, organisasi tersebut tidak melakukan usaha
apa-apa untuk memobilisasi tiga juta orang anggotanya untuk menolak kudeta
tersebut.
AS merasa yakin bahwa hanya sedikit
sekali dari orang-orang komunis—dan juga para pemimpin kelompok tani, wanita,
dan organisasi kepemudaan—yang selamat dari pembantain besar-besaran tersebut.
Menurut Arsip Keamanan Nasional AS yang diterbitkan oleh George
Washington University, agen-agen intelijen AS menunjuk kebanyakan dari
mereka yang jadi korban. Kemudian Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green,
mengatakan bahwa daftar pemimpin tinggi Komunis yang dimiliki AS “sedang
digunakan oleh para petugas keamanan Indonesia yang tampaknya tidak memiliki informasi
yang jelas yang paling sederhana sekalipun tentang kepemimpinan PKI di kala
itu…”
AS menyadari sepenuhnya akan skala
pembunuhan ketika itu. Dalam telegram ke Washington tanggal 15 April 1966,
Kedutaan Besar menulis, “Kami terus terang tidak tahu pasti apakah jumlahnya
(anggota PKI yang terbunuh) hampir mencapai 100.000 atau 1.000.000, namun
kiranya lebih bijak untuk berpaku pada perkiraan yang lebih rendah, khususnya
jika ditanya oleh media.”
Di samping membantu militer melacak
dan membunuh orang-orang yang beraliran kiri, pemerintah AS juga mensuplai
gerakan sayap kanan KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu) dengan
uang. Menulis sebuah memo untuk asisten Menteri Luar Negeri saat itu McGeorge
Bundy, Green menulis “Kemungkinan untuk terdeteksi atau terungkapnya dukungan
kami dalam peristiwa ini adalah sama minimalnya dengan operasi bawah tanah
lainnya.”
Reporter States News
Service Kathy Kadane mewawancarai
sejumlah bekas diplomat dan agen-agen intelijen dan menemukan bahwa daftar yang
diserahkan pada kepada pasukan keamanan Indonesia tersebut memuat sekitar 5.000
nama di dalamnya. “Daftar tersebut benar-benar merupakan sebuah bantuan besar
bagi Angkatan Darat,” kata bekas pejabat bagian politik kedutaan Robert J.
Martens pada Kadane. “Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan mungkin tangan
saya sendiri juga berlumuran darah, namun hal itu tidak apa-apa. Ada saatnya Anda
harus bertindak keras untuk sebuah momen yang desisif.”
Pada saat itu, Washington sedang
memulai sebuah eskalasi besar dalam Perang Vietnam, dan pemerintahan presiden
Johnson sedang terpaku pada teori dominonya yang mistis bahwa komunis akan
menguasai Asia. AS menganggap Indonesia sebagai sebuah negara yang penting
secara strategis, bukan hanya karena negara tersebut menguasai jalur laut yang
penting, tetapi juga karena kandungan bahan mentahnya yang kaya yang sangat
diminati oleh perusahaan-perusahaan besar AS. Perusahaan-perusahaan besar
tersebut termasuk perusahaan minyak Richfield
and Mobil, Uniroyal, Union Carbide, Eastern Airlines, Singer Sewing Machines,
National Cash Register, dan Freeport
McMorRan perusahaan tambag emas dan tembaga.
Pada saat itu, Presiden Indonesia
Sukarno merupakan salah satu pemimpin gerakan “kekuatan ketiga”, sebuah
persekutuan negara-negara yang mencoba menjaga jarak dari Perang Dingin antara AS
dan Uni Soviet. Konferensi Bandung 1955 mngundang negara-negara dari seluruh
Asia dan Afrika ke Indonesia untuk menciptakan gerakan anti kolonialis
nonblok. Konferensi tersebut juga
mengundang kegusaran dari AS, yang ketika itu menolak mengirim utusan ke
Bandung.
Dalam dunia yang terpolarisasi oleh
Perang Dingin ketika itu, gerakan non-blok tidak diterima oleh Washington, dan
AS mulai menggunakan kombinasi diplomasi, kekuatan militer dan gerakan
penghancuran dari dalam (outright
subversion) untuk melemahkan negara-negara seperti Indonesia dan untuk
membawa negara-negara tersebut memihak pada AS, dan sekutunya. CIA menyokong
gerakan separatis di provinsi-provinsi yang kaya minyak di negara tersebut di
Sumatera dan Sulawesi. Inggris dan Australia juga ikut ambil bagian dalam
kudeta 1965 tersebut, dan Perancis meningkatkan perdagangannya dengan Indonesia
menyusul pembantaian tersebut.
Hubungan antara Jakarta dan
Washington telah berlangsung lama dan kotor. AS memberi Indonesia lampu hijau
untuk menginvasi dan menduduki Timor Timur, sebuah tindakan yang mengakibatkan
kematian lebih dari 200.000 orang, atau sepertiga dari penduduk kepulauan Timor,
sebuah rasio yang lebih besar daripada genosida mania yang dilakukan Pol Pot di
Kamboja. Washington juga mendukung upaya Indonesia merebut Irian Jaya (Papua
Barat) dan, bukannya mengutuk kebrutalan yang terjadi dalam pendudukan
tersebut, Washington malah menyalahkan kebanyakan kekerasan tersebut pada penduduk
lokal.
Perang Dingin usai, namun tidak
demikian dengan minat AS di Asia. Pemerintah Obama mengerahkan kekuatan militer
ke wilayah tersebut dan telah memperjelas bahwa mereka ingin menyaingi
meningkatnya pengaruh China di Asia dan Asia Tenggara. Di sini Indonesia adalah
kunci. Sekitar 80 persen dari suplai energi China dikirim melalui perairan yang
dikuasai Indonesia, dan Indonesia masih merupakan sebuah tambang emas—dalam
artian yang harfiah dalam kasus Freeport
McMoran di Irian Jaya—bagi sumber-sumber daya alam yang tak ternilai
harganya.
Jadi sekali lagi, AS sedang
berpura-pura tidak tahu akan militer Indonesia yang brutal dan represif yang
tidak terlibat dalam perang namun sangat lihai dalam menekan rakyatnya sendiri
dan menguasai banyak sumber daya alam untuk kepentingan mereka sendiri.
Keputusan terbaru dari Gedung Putih untuk mulai bekerja sama dengan
Kopassus—pasukan militer Indonesia setara pasukan Nazi SS—adalah sebuah contoh
kasus. Kopassus terlibat dalam penyiksaan dan pembunuhan di Irian Jaya dan
memainkan peran penting dalam perampokan di Timor Timur tahun 1999 yang telah
menghancurkan 70 persen dari infrastruktur di negara tersebut menyusul pilihan
negara tersebut untuk merdeka. Lebih dari 1500 orang Timor Timur terbunuh dan
250.000 diculik ke wilayah barat pulau tersebut yang dikuasai oleh Indonesia.
Tampaknya
Indonesia kini mulai berbicara tentang horor kudeta tahun 1965 tersebut.
Buku-buku seperti “The Dark Side of
Paradise” karangan Geoffrey Robinson dan film dokumenter karya
Robert Lemelson, “40 Years of Silence: an Indonesian Tragedy,” mulai bergulir
melindas sejarah yang diciptakan oleh pemerintahan diktator militer.
Namun AS
tetap menjaga kesan dirinya bersih dari peristiwa horor tahun 1965 tersebut,
dan New York Times tampaknya akan terus bungkam, mungkin karena
sekali lagi Indonesia adalah vital bagi rencana Washington di Asia? (by CONN HALLINAN)
CONN HALLINAN can be read atdispatchesfromtheedgeblog.wordpress.com andmiddleempireseries.wordpress.com.
He is a contributor to Hopeless: Barack
Obama and the Politics of Illusion.
0 comments:
Post a Comment