“Angkat
tangan yang sudah bersih? Yang hanya hidup dari gaji saja, coba? Jadi kita
nggak usah munafik, termasuk saya kalau dari gaji nggak cukup juga,” kata
Wakapolri Komisaris Jenderal Nanan Sukarna dalam Seminar Nasional Komisi
Kejaksaan RI di Hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis (11 Oktober 2012) seperti
yang dikutip Rinda Mulyani dalam tulisannya di kolom Nuansa, Lampung Post, 13 Oktober 2012, salah satu tulisan Nuansa terbaik
yang pernah saya baca.
Rinda
terkejut mendengar pernyataan tersebut, saya juga, dan mungkin pula Anda dan
seluruh rakyat Indonesia yang lain. Bagi saya pernyataan Nanan tersebut adalah
sebuah blunder, sebuah kesalahan besar, sesuatu yang tidak pantas dikatakan
oleh seorang pejabat tinggi, apalagi pejabat Polri, sebuah institusi yang
sering kali disorot karena integritasnya. Apalagi masih banyak sekali pegawai rendahan,
yang bukan pejabat, di negeri ini yang hidup melulu dari gaji saja.
Pertanyaan,
“Angkat tangan yang sudah bersih?” mengisyatkan bahwa orang (pejabat) yang
bersih itu sukar sekali dicari, dan kalau hadirin yang ada di ruangan itu tidak
ada yang angkat tangan tentu bisa disimpulkan bahwa tidak ada di antara mereka
yang bersih. Dan celakanya Nanan sendiri mengakui bahwa dia juga tidak bersih
karena kalau dia mencukupi gajinya, yang jumlahnya Rp. 18 juta sebulan itu,
menurut tulisan Rinda, dengan cara yang bersih, halal, tentu dia tidak perlu
menggolongkan dirinya sebagai tidak bersih dengan mengangkat pertanyaan seperti
itu dan mengatakan bahwa kita tidak usah munafik.
Pernyataan
Nanan tersebut menjadi sebuah blunder di tengah-tengah upaya pemberantasan
korupsi yang sedang galak-galaknya seperti dewasa ini, dan di tengah-tengah
ajakan agar kita menerapkan pola hidup sederhana, tidak berfoya-foya dengan
mengeluarkan biaya yang tidak perlu.
Gaji Rp.18
juta sebulan bagi kebanyakan rakyat Indonesia adalah sebuah jumlah yang teramat
sangat besar, bisa menghidupi empat keluarga sederhana, seperti kata Rinda. Namun
jumlah tersebut menjadi kecil bagi para pejabat sekelas Nanan karena pengeluaran
mereka sehari-hari juga besar. Tapi untuk apakah pengeluaran sehari-hari yang
besar itu kalau bukan untuk menjaga privelege
mereka sendiri. Dan untuk apakah privelege
itu selain sebagai sebuah cerminan kelas, kasta semata, yang gunanya hanya
untuk menunjukkan bahwa mereka pejabat, bukan rakyat biasa. Siapa suruh mereka
memelihara mobil mewah, rumah mewah, pakaian dan perhiasan mewah. Siapa suruh
mereka menyekolahkan anak mereka di luar negeri, misalnya.
Mungkin
Nanan tidak pernah tahu ada pejabat yang hidup sederhana hanya dengan
mengandalkan gajinya. Mungkin dia tidak pernah mendengar ada keluarga yang
hidup hanya dengan beberapa ratus ribu rupiah saja sebulan. Mungkin dia tidak
pernah tahu bahwa kebutuhan dasar manusia sebenarnya hanya sedikit sekali. Pernyataan
Nanan tersebut di atas sungguh melukai hati masyarakat yang mendambakan penyelenggaraan
negara yang bersih.
0 comments:
Post a Comment