Sering kali ada yang nggak nyambung dalam hal komunikasi antara pemerintah pusat, dalam
hal ini Departemen Pendidikan Nasional, dengan guru-guru di daerah, terutama di
daerah-daerah pelosok. Kurikulum yang telah sedemikian rupa dirancang untuk
mencapai tujuan tertentu, sering kali tidak dipahami sepenuhnya oleh guru
sebagai pelaksana di lapangan, atau guru menjalankannya dengan pemahaman mereka
masing-masing, yang sering kali melenceng jauh dari hakikat kurikulum tersebut
yang sebenarnya.
Hingga saat ini, sudah sedemikian sering pemerintah
gonta-ganti kurikulum, dari tahun ke tahun, namun masih banyak guru-guru yang
bertahan dengan kurikulum yang sejak awal mereka yakini, baik karena mereka
tidak paham dengan kurikulum yang terbaru maupun karena mereka merasa kurikulum
lama yang selama ini mereka jalankan lebih efektif, sesuai dengan situasi dan
kondisi di daerah mereka. Pun demikian, belum cukup pemahaman guru akan sebuah kurikulum
terbaru pemerintah sudah berencana untuk mengganti kurikulum, begitu terus dari
tahun ke tahun.
Jenjang komunikasi antara pemerintah pusat dengan
guru-guru di daerah yang sedemikian bertingkat rupanya telah menimbulkan bias
di sana sini, sehingga pesan-pesan pemerintah pusat yang sampai ke tangan guru
tak lagi utuh. Di samping itu, situasi dan kondisi di daerah-daerah pelosok
yang tidak mendukung tidak memungkinkan kurikulum tertentu untuk diterapkan.
Dalam tempo kurang dari tiga dekade terkahir ini saja
sekurangnya sudah terjadi empat kali pergantian kurikulum dan satu kali penambahan
kurikulum (Suplemen Kruikulum) tapi tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan
dalam hal produk pendidikan. Tahun 1984, pemerintah memberlakukan kurikulum
yang mengamanatkan sistem CBSA sebagai koreksi dari kurikulum 1975.
Konsep CBSA yang elok secara teoritis
dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak
deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional.Sayangnya, banyak sekolah
kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas
lantaran siswa berdiskusi. Di sana-sini
ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah.
Akhirnya penolakan CBSA bermunculan.
Kurikulum
1984 kemudian diganti dengan Kurikulum 1994. Kurikulum 1994 merupakan hasil
upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975
dan 1984. Sayang, perpaduan antara tujuan dan proses belum berhasil. Sehingga
banyak kritik berdatangan, disebabkan oleh beban belajar siswa dinilai terlalu
berat, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Materi muatan lokal
disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah
kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan
kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam
kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat.
Kejatuhan rezimSoeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999.
Tapi perubahannyalebih pada menambal sejumlah materi. (www.sarjanaku.com)
Dan
tambal sulam tersebut terus berlanjut. Pada tahun 2004, pemerintah
memberlakukan kurikulum baru yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
tapi belum tuntas pemahaman guru akan kurikulum tersebut kemudian pemerintah
menggantinya lagi dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun
2006. Dan ketika guru-guru belum sempat memahami kurikulum ini sepenuhnya, dan
belum sempat dijalankan, pemerintah sudah berencana menggantinya lagi dengan
kurikulum baru pada tahun 2013 dengan uji coba di beberapa sekolah. Saya khawatir
kurikulum tahun 2013 ini nanti akan bernasip sama dengan Kurikulum 1984, hanya
cocok untuk sekolah-sekolah tertentu, tetapi tidak cocok secara nasional.***
1 comments:
perubahan kurikulum dengan dalih perbaikan,..ya,,,semoga hal itu terwujud dan itak hanya menjadikan peserta didik sebagai kelinci percobaan...
Zainul Mufidah FIAI
Post a Comment