Karena tinggal di daerah tujuan wisata, saya sering kali
berinteraksi dengan para turis mancanegara yang berasal dari berbagai negara
dari berbagai belahan benua. Dalam interaksi tersebut, tak jarang kami berada
bersama-sama, satu meja, di rumah makan, baik secara disengaja, dengan janji,
atau secara kebetulan karena berada di tempat yang sama, pada waktu yang sama.
Dari pengalaman makan bersama tersebut, ada hal menarik yang
selalu saya perhatikan, dan selalu mengganggu pikiran saya setelah keluar dari
rumah makan, yaitu bahwa mereka, para turis mancanegara itu, selalu
menghabiskan makanan yang ada di piring mereka, sampai tandas, tak tersisa
remah-remah apapun kecuali sisa-sisa endapan kuah yang belum kering. Hal ini
membuat saya kikuk, malu, dan merasa bersalah karena di piring saya selalu
tersisa remah-remah; tulang ikan, sisa sambal, atau potongan sayur nangka yang
tak bisa saya makan.
Tentang sayur nangka ini saya punya cerita tersendiri. Sejak
saya kecil, saya perhatikan, jika ibu memasak sayur nangka, dia selalu membuang
core-nya (bagian tengah seperti batang tempat biji nangka menempel), dan
hanya biji dan jeraminya yang dimasak. Kata ibu saya, bagian itu tak baik
dimakan. Hal ini juga selalu diingatkan ibu pada anak-anaknya jika memasak
sayur nangka. Peringatan ini tertanam dalam jiwa saya. Itulah sebabnya jika
makan sayur nangka yang tidak dibuang core-nya di rumah makan, dan
celakanya memang selalu tidak dibuang, saya selalu menyisakan core
tersebut di piring saya, sehingga piring saya tak bisa bersih seperti piringnya
si bule. Apalagi jika saya makan ikan, yang tak mungkin saya makan sama
tulang-tulangnya.
Tapi bukan itu saja yang membuat piring saya tak bisa
bersih. Kadang-kadang, saya mengambil sambal terlalu banyak dan tak mampu
menghabiskannya, juga kuah yang tak mampu saya habiskan karena saya lebih
menyukai makanan tak berkuah.
Lalu, bagaimana piring si bule bisa bersih dan tandas,
apakah dia memakan core sayur nangka yang ada di piringnya? Jawabnya
tentu saja ‘ya.’ Tapi bagaimana dengan tulang dan kepala ikan? Tentu saja para
turis tersebut tidak memakannya, apalagi jika ikan tersebut disayur, bukan
digoreng.
Tapi yang ingin saya ceritakan di sini adalah makanan yang
bisa dimakan sampai tuntas, bukan makanan bertulang, seperti ikan, ayam, atau
daging.
Kita, orang Indonesia, sering kali menyisakan makanan yang
kita masukkan di piring kita di rumah makan, padahal sisa makan tersebut masih
bisa dimakan.
Mungkin kita berpikir itu adalah hak kita karena makanan itu
sudah kita beli. Tapi bukan itu yang dipikirkan para bule.
Masalahnya adalah sumber daya alam.
Sumber daya alam berupa makanan adalah terbatas. Mungkin
sampai saat ini, sumber daya makanan yang tersedia di alam masih cukup untuk
memberi makan semua manusia di muka Bumi ini. Tapi siapa tahu apa yang akan
terjadi nanti. Jika kita menggunakan sumber daya alam berupa makanan itu secara
boros, bukannya tidak mungkin suatu saat nanti akan ada orang yang tidak
kebagian makanan. Dan menyisakan makanan di piring, karena sudah kenyang, tidak
mampu lagi menghabiskan makanan tersebut adalah bentuk pemborosan. Jika Anda
tidak mampu menghabiskan makanan di pring Anda, jangan mengambil makanan
berlebihan.
Pikirkan bahwa di luar sana mungkin ada yang tidak kebagian
makanan. Bayangkan jika ada pengunjung rumah makan lain yang tidak kebagian
makanan karena persediaan makanan di rumah makan tersebut sudah habis, padahal
banyak sisa-sisa makanan pengunjung lain yang terbuang di tempat sampah.
Dalam hal ini pikiran si bule memang lebih maju. Ketika
berada di rumah makan, mungkin kebanyakan kita masih berpikiran bahwa adalah
hak kita untuk menghabiskan, atau tidak menghabiskan, makanan yang sudah kita
beli, sedangkan mereka, para bule itu, sudah memikirkan tentang pentingnya
mempertahankan sumber daya alam yang berkesinambungan.
0 comments:
Post a Comment